Tukang pos memiliki aktivitas mengantarkan pesan, apakah itu surat atau barang, dari banyak orang kepada penerimanya. Tidak boleh dikurangi atau ditambahkan. Tidak ada tindakan apapun terhadap pesan yang diterima oleh tukang pos selain mengantarkan pesan tersebut kepada si penerima. Jika tukang pos memiliki gerak aktif, dalam arti ikut campur tangan terhadap pesan yang diterimanya, maka ia bukan lagi disebut tukang pos.
Seorang penulis, termasuk di dalamnya blogger, juga memiliki kegiatan yang sama dengan tukang pos dalam hal menyampaikan pesannya. Hanya berbeda dari karakteristiknya. Maka, jika blogger hanya bersifat menyerap informasi dari luar, apalagi hanya membuat duplikasi dari link-link yang sudah ada, maka tidak ada bedanya dengan tukang pos. Tidak ada campur tangan sama sekali terhadap pesan yang diterimanya tersebut. Ini sah-sah saja, sebatas mencantumkan sumbernya, namun peran dari penulisnya menjadi terbenam.
Wartawan yang sebatas memberitakan apa yang terjadi, apa yang dilihat, dan apa yang didengarnya, sesungguhnya posisinya sama dengan tukang pos. Sah-sah saja, dan memang seperti itulah tugasnya. Namun, bagi wartawan yang tidak mau menjadi sebatas tukang pos (pengantar pesan kepada pembaca), akan memberitakan dengan cara berbeda. Ia berangkat bukan dari realitas tapi dari frame berpikir terlebih dahulu lalu mencari realitas yang mendukung pemikirannya, lantas disampaikan. Ada peran aktif imajinasi dan nalar di dalam proses penyampaian pesannya. Seperti pernah ditulis oleh Saputra yang lain (Adian Saputra) contohnya adalah pemberitaan mengenai meninggalnya J.F Kennedy, dimana si wartawan mencoba jalan lain dengan cara mewawancarai penggali kubur Kennedy. Arus besar pemberitaan waktu itu adalah mencari faktor-faktor yang menyebabkan kejadian itu, kronologisnya, dan hal-hal yang informatif as ussual.
Penulis blog bisa memilih dari dua alternatif tersebut dalam menginformasikan kejadian dari realitas yang disaksikan atau dialaminya. Bisa menceritakan apa adanya sebagaimana halnya wartawan biasa, atau mencari sudut pandang berbeda dalam mewartakan realitas tersebut. Jadinya bukan reportase dong, tetapi opini karena bercampur dengan pendapat pribadi? Tidak. Tetap mewartakan dalam bentuk reportase tetapi dengan frame selektif yang lahir dari imajinasi dan nalar dari penulisnya. Misalnya, jangan jauh-jauh, saya ambil dari tulisan saya saja. Ketika ke NTB dan bos saya yang kebetulan anggota dewan diajak berkunjung ke satu mesjid. Saya anggap itu bukan berita untuk menginformasikan kegiatan kunjungan bos saya. Meskipun, awalnya ada niat untuk memberitakan, misalnya sebelum diajak melihat mesjid itu ada kegiatan mengisi sosialisasi UUD 1945, atau kegiatan menjadi guru SD sebentar padahal dirinya seorang Doktor. Tapi, niat untuk memberitakan lalu muncul ketika terjadi obrolan yang tidak formal pada saat berkunjung ke mesjid di Lombok Timur. Muncul obrolan seputar sejarah mesjid, bahwa mesjid itu dibangun oleh tiga pemeluk agama seperti yang ditulis dalam reportase saya yang pernah dimuat di Kompas, Kompasiana Freez edisi ketiga.
Sebagai seorang blogger, saya menangkap momen itu sebagai suatu hal yang layak diwartakan. Artinya ada daya nalar dan imajinasi selektif yang menjadi patokan dalam memilih yang mana yang layak, bergerak ke hal yang tidak biasa. Karena ada faktor keunikan berita. Memang penilaian unik atau tidaknya menjadi relatif tergantung persepsi dari penulis. Kepekaan ini bisa diasah jika kita sering membaca berita-berita atau tulisan yang menarik. Kita bisa mengambil benang merah dari bacaan itu bahwa yang menarik, yang cocok buat diwartakan kepada banyak orang dan memiliki interest tinggi adalah tipe ini atau tipe itu. Jam terbang dalam menulis juga menentukan. Bukan maksudnya saya memiliki jam terbang tinggi, tetapi sebagai pengkhayal memang jam terbangnya lumayan tinggi.
Tipe penulis tukang pos dan penulis imajinator inilah yang membedakan wartawan yang satu dengan lain, blogger yang satu dengan yang lain dalam mewartakan suatu peristiwa. Ini bukti lain bahwa imajinasi lebih berharga daripada ilmu pasti. Imajinasi dalam menulis adalah menggabungkan khayalan yang terkesan tidak mungkin digabung dengan realitas yang benar-benar terjadi di luar, maka akan melahirkan informasi yang nyata dan unik.
Banyak blog yang dibuat hanya sebagai kotak pos. Menjadi sarang dari banyak informasi yang terjadi di sekitar kita atau tentang suatu ilmu. Cukup bermanfaat jika kita butuh informasi sesuatu. Tetapi untuk mencari informasi yang nyata dan unik agak susah. Padahal mungkin kasusnya sama tetapi jika informasi nyata dikemas dengan imajinasi akan berbeda bentuknya. Lagi-lagi, memang ini masalah selera. Tidak bisa dipaksakan juga harus seperti itu.**[harja saputra]
Tulisan ini semula dimuat di Kompasiana dan menjadi Headline: http://media.kompasiana.com/new-media/2011/09/17/pewarta-dan-blogger-jenis-tukang-pos-vs-imajinator/