Faktor-faktor yang Mempengaruhi Loyalitas Konsumen
Loyalitas konsumen dalam bentuk loyalitas sikap (attitudinal loyalty) terkait erat dengan kepuasan (satisfaction), nilai produk (value), resistensi untuk berubah ke merek lain (resistence to change), afektif (perasaan/emosi) terhadap merek (brand affect), kepercayaan terhadap merek (brand trust), dan ekuitas merek (brand equity) (Taylor et al, 2004: 217).
Daftar Isi
Kepuasan
Kepuasan pelanggan secara bahasa berasal dari bahasa Latin, satis yang artinya cukup (enough) dan bisa juga berarti berbuat (to do or make). Maka, kepuasan dalam arti terhadap produk adalah apa yang menjadikan pelanggan merasa cukup dengan apa yang mereka peroleh atau merasa lebih dari apa yang mereka harapkan. Lawan dari kepuasan adalah ketidakpuasan (dissatisfaction), yang memiliki arti sebaliknya, yaitu pelanggan tidak merasa puas atas apa yang mereka peroleh. Tidak adanya kesesuaian antara apa yang diharapkan dengan apa yang didapatkan (Gerson, 2004:6-8).
Pengertian secara umum mengenai kepuasan atau ketidakpuasan konsumen merupakan hasil dari adanya perbedaan antara harapan dan kinerja yang dirasakan oleh pelanggan. Di dalam lingkungan yang kompetitif, indikator yang dapat menunjukkan kepuasan adalah apakah konsumen akan membeli kembali produk tersebut di waktu yang akan datang
Oliver berpendapat bahwa kepuasan merupakan kesesuaian antara harapan dan kenyataan yang diperoleh dari produk (Oliver, 1997:65). Hal itu sama seperti pendapat Gerson di atas, bahwa kepuasan dalam arti terhadap produk adalah apa yang menjadikan pelanggan merasa cukup dengan apa yang mereka peroleh atau merasa lebih dari apa yang mereka harapkan. Sedangkan menurut pendapat lain definisi kepuasan adalah perasaan seseorang yang senang atau kecewa setelah seseorang membandingkan kinerja yang dihasilkan oleh produk dengan yang diharapkannya (Kotler, 2005: 36).
Salvador pernah meneliti mengenai kepuasan konsumen dikaitkan dengan harga pelayanan. Hasil penelitian itu menyebutkan bahwa harga produk memang penting menurut konsumen tapi bukan elemen krusial yang mempengaruhi keputusan konsumen (Salvador et al, 2006: 40).
Dengan demikian, dari teori-teori di atas, diperoleh kesimpulan bahwa kepuasan adalah kesesuaian antara harapan dan kenyataan yang diterima oleh konsumen dari produk yang dibeli atau jasa yang digunakan.
Nilai
Nilai adalah selisih antara kualitas/harapan yang didapatkan oleh konsumen dengan jumlah biaya yang digunakan dalam mendapatkannya (Lasser et al, 1995: 19).
Nilai ini bisa berasal dari produk, pelayanan, sistem atau sesuatu yang bersifat emosi. Kalau pelanggan mengatakan bahwa nilai (value) adalah produk yang berkualitas, maka kepuasan terjadi kalau pelanggan mendapatkan produk yang berkualitas. Kalau value bagi pelanggan adalah kenyamanan, maka kepuasan akan datang apabila pelayanan yang diperoleh benar-benar nyaman. Kalau value dari pelanggan adalah harga yang murah, maka pelanggan akan puas kepada produsen yang memberikan harga yang paling kompetitif. Sedangkan kalau value dari pelanggan adalah pelayanan yang diperoleh benar-benar nyaman (Swastha Dh dan Irawan, 1992: 2).
Menurut Kotler (2005: 37), definisi nilai pelanggan adalah selisih antara jumlah nilai pelanggan dengan jumlah biaya pelanggan. Jumlah nilai pelanggan adalah sekelompok manfaat yang diharapkan dari produk dan jasa. Jumlah biaya pelanggan adalah sekelompok biaya yang digunakan dalam menilai, mendapatkan, menggunakan dan membuang produk atau jasa.
Value (nilai) secara praktis dapat diartikan sebagai faedah (utility). Seperti disebutkan oleh Swastha Dh dan Sukotjo (2002: 179) bahwa faedah (utility) adalah: “Kekuatan dari suatu produk atau jasa untuk memuaskan kebutuhan.”
Perusahaan dalam kegiatan pemasarannya dapat menciptakan empat macam faedah, yakni (Swastha Dh dan Sukotjo, 2002: 180):
- Faedah waktu (time utility), dapat diciptakan dengan menyediakan produk/jasa pada saat konsumen membutuhkan untuk membeli/ mengkonsumsi.
- Faedah tempat (place utility), merupakan faedah yang diciptakan dengan menyediakan produk/jasa pada tempat yang strategis apabila konsumen bermaksud melakukan transaksi untuk membeli/mengkonsumsi produk/jasa perusahaan.
- Faedah milik (ownership utility), diciptakan dengan mempersiapkan pemindahan hak milik dari penjual kepada pembeli.
- Faedah informasi (information utility), diciptakan dengan memberikan informasi tentang produk/jasa perusahaan. Jadi, konsumen akan lebih memahami suatu produk yang ditawarkan oleh perusahaan sehingga lebih mudah dalam mengambil keputusan dalam pembelian produk/jasa.
Dengan demikian, value (nilai) dapat disimpulkan sebagai suatu atribut produk/jasa yang membedakannya dari produk/jasa yang lain, sehingga dirasakan memberikan manfaat bagi konsumen.
Resistensi untuk beralih
Resistensi adalah sikap emosional dan psikologis konsumen terhadap merek produk. Resistensi merupakan sikap lanjutan dari adanya nilai yang sesuai seperti disebutkan di atas. Resistensi lebih ke arah sikap bertahan pada satu merek meskipun terdapat merek lain atau merek baru yang menjanjikan, namun dikarenakan merek tertentu yang ia telah buktikan maka muncul resistensi dalam diri konsumen (Pritchard et al, 1999: 334).
Resistensi adalah lawan dari loyalitas. Di mana hilangnya komitmen dan kepercayaan kepada produk (Gilliland dan Belo, 2002: 123).
Sama dengan pendapat di atas, Taylor mengatakan bahwa resistensi dapat diartikan sebagai hilangnya komitmen sebagai kunci utama dari loyalitas (Taylor et al, 2004: 219).
Dari pendapat-pendapat para ahli di atas, dapat disimpulkan bahwa resistensi untuk tidak beralih kepada produk/jasa lain, adalah munculnya komitmen dalam diri konsumen sehingga terbentuk emosi untuk tetap menggunakan produk/jasa yang telah dibeli atau digunakannya.
Afek (Perasaan/Emosi)
Afek (Affect) adalah sekumpulan tindakan yang melibatkan mental termasuk emosi, mood, dan tindakan. Perasaan atau emosi terkait dengan sikap terhadap suatu hal sehingga menimbulkan rasa dalam bentuk penilaian: suka/tidak suka, sayang/benci, ingin/takut, dan sebagainya. (Bagozzi et al, 1999: 184). Hal itu sesuai dengan apa pendapat Oliver yang mengatakan bahwa afektif terkait juga dengan masalah kepuasan (Oliver, 1997: 88). Matilla dan Einz pernah meneliti bahwa sikap afektif muncul dari hasil identifikasi konsumen terhadap elemen service yang berhubungan secara langsung dengan emosi mereka (Matilla dan Einz, 2002: 109).
Dengan demikian, afek dapat disimpulkan sebagai sikap atau emosi dalam bentuk penilaian suka/tidak suka dan sebagainya yang turut mempengaruhi kepuasan konsumen.
Kepercayaan
Kepercayaan (trust) adalah adanya sikap percaya konsumen terhadap produk. Kepercayaan berkaitan dengan pengalaman dan pembuktian terhadap apa yang diperoleh dari merek tertentu. Kepercayaan merupakan tahapan terhadap pembentukan ekuitas merek (Mooreman et al, 1992: 315).
Fukuyama mendefinisikan kepercayaan sebagai, “harapan yang muncul dalam sebuah komunitas yang berkaitan dengan norma, kejujuran, kerjasama, dan norma-norma lain” (Fukuyama, 1995: 26). Morgan dan Hunt mengatakan bahwa kepercayaan merupakan alat hipotesis dalam membangun komitmen (Morgan dan Hunt, 1994: 16).
Dari pendapat-pendapat di atas dapat dikatakan bahwa kepercayaan berkaitan dengan norma, kejujuran, dan sebagainya yang dialami oleh konsumen setelah berinteraksi dengan organisasi atau layanan dari produk/jasa.
Ekuitas Merek
Merek adalah nama, istilah, tanda, simbol, atau desain, atau kombinasi semuanya, yang dimaksudkan untuk mengidentifikasi barang atau jasa seseorang atau sekelompok penjual dan untuk membedakannya dari barang atau jasa pesaing (Kotler, 2005: 82).
Sedangkan ekuitas merek, seperti telah disebutkan, bahwa ekuitas merek merupakan suatu aset. Yaitu efek yang ditimbulkan oleh pengetahuan nama merek terhadap tanggapan konsumen atas produk tersebut. Ekuitas merek mengakibatkan pelanggan memperlihatkan preferensi terhadap suatu produk dibandingkan dengan yang lain kalau keduanya pada dasarnya identik. Sejauh mana pelanggan bersedia membayar lebih tinggi untuk merek tertentu tersebut merupakan ukuran ekuitas merek (Kotler, 2005: 86).
Ekuitas merek juga dapat diartikan sebagai nilai dari suatu merek, didasarkan atas tingginya brand loyalty, kesadaran, kualitas, kekuatan, adanya paten, yang memberi kekuatan pada suatu merek. Ekuitas merek merupakan kumpulan dari adanya persepsi merek pada benak konsumen, mulai dari adanya kesadaran merek (brand awareness), penerimaan merek (brand acceptability), pembedaan merek (brand preference), akhirnya timbul brand loyalty, tidak mau berganti dengan merek lain (Alma, 2005: 158).
Dengan demikian, ekuitas merek adalah kumpulan dari persepsi yang dimiliki oleh konsumen terhadap suatu merek dikaitkan dengan kualitas dari produk merek tersebut yang akhirnya menimbulkan loyalitas terhadap merek.
Loyalitas Konsumen
Kotler dan Armstrong (2004: 189) berpendapat bahwa loyalitas adalah perilaku konsumen dalam bentuk kesetiaan terhadap produk. Loyalitas konsumen terkait erat dengan kepuasan konsumen. Konsumen yang puas besar kemungkinan akan melahirkan loyalitas, dikarenakan telah terpenuhinya harapan dan kenyataan yang didapat dari produk/jasa yang dibeli atau dikonsumsinya.
Di dalam lingkungan yang kompetitif, indikator yang dapat menunjukkan loyalitas adalah apakah konsumen akan membeli kembali produk tersebut di waktu yang akan datang. Hal itu dapat dilihat dari pendapat Oliver (1999: 34) yang mendefinisikan loyalitas konsumen sebagai: “…a deeply held commitment to rebuy or repatronize a preferred product/service consistently in the future.”
Diungkapkan oleh Aaker (1997:56), bahwa loyalitas kesikapan (attitudinal loyalty) terhadap merek adalah ukuran dari kesetiaan konsumen terhadap suatu merek atau keterkaitan seorang pelanggan pada sebuah merek. Loyalitas kesikapan terhadap merek dari kelompok pelanggan seringkali merupakan inti dari ekuitas merek. Apabila para pelanggan tidak tertarik pada merek dan membeli karena karekteristik produknya, harga dan kenyamanan dengan sedikit mempedulikan merek, maka berarti kemungkinan ekuitas mereknya kecil.
Sebaliknya, apabila para pelanggan melanjutkan untuk membeli merek tersebut walaupun dihadapkan pada pesaing yang menawarkan karakteristik produk yang lebih unggul dari segi harga dan kepraktisannya, berarti ada nilai yang sangat besar pada ekuitas merek. Apabila loyalitas kesikapan terhadap merek meningkat, maka kerentanan kelompok pelanggan dari serangan kompetitor dapat dikurangi.
Aaker (1997:57) membedakan tingkatan loyalitas merek menjadi lima tingkatan, dari yang terendah sampai yang tertinggi, dan yang tertinggi bisa diidentifikasi sebagai loyalitas kesikapan. Tingkatan loyalitas merek tersebut adalah:
- Tingkat dasar adalah pembeli yang tidak setia sama sekali atau tidak tertarik untuk membeli merek.
- Tingkat kedua adalah para pembeli yang puas pada produk atau minimal tidak mengalami ketidakpuasan.
- Tingkat ketiga adalah pembeli yang puas namun mereka menanggung biaya peralihan (switching cost), yaitu biaya dalam waktu, uang, atau resiko yang berkenaan dengan tindakan beralih merek.
- Tingkat keempat adalah pembeli yang sungguh-sungguh menyukai merek.
- Tingkat paling atas adalah kelompok pelanggan yang setia. Pada setiap pasar selalu terdapat sejumlah konsumen dengan tingkat loyalitas yang berbeda-beda. Merek terkait erat dengan dimensi-dimensi yang lain secara kualitatif karena loyalitas merek terkait erat dengan pengalaman menggunakan suatu merek. Sehingga loyalitas merek tidak akan terjadi jika tidak melakukan pembelian dan tidak mempunyai pengalaman dalam menggunakannya.
Baldinger dan Rubinson (1996) berpendapat bahwa loyalitas konsumen mencakup dua hal: loyalitas perilaku (behavioral loyalty) dan loyalitas sikap (attitudinal loyalty) sebagai konseptualisasi dari loyalitas yang murni bersifat perilaku (purely behaviourally based). Adapun Morgan (2000) menyebutkan bahwa istilah “loyal” dapat diinterpretasikan ke dalam cara yang berbeda, yaitu loyalitas sikap (attitudinal loyalty) berkenaan dengan “what I feel” (apa yang saya rasakan) dan loyalitas perilaku (behavioral loyalty) berkenaan dengan “what I do” (apa yang saya perbuat).
Upaya pengukuran loyalitas merek menurut Aaker (1997:63-68) antara lain:
- Pengukuran sikap (attitude), merupakan cara langsung untuk mengetahui loyalitas merek dengan mengetahui pola-pola pembelian yang biasa dilakukan oleh konsumen. Pengukuran yang dapat digunakan adalah tingkat pembelian ulang, persentase pembelian, dan jumlah merek yang dibeli.
- Pengukuran biaya untuk beralih merek (switching cost),
merupakan analisis biaya untuk beralih merek, metode ini dapat memberikan informasi mengenai kesediaan konsumen untuk menanggung biaya perpindahan merek, dan dapat dijadikan dasar terciptanya loyalitas. Apabila konsumen memerlukan pengeluaran yang mahal dan memiliki risiko yang besar, hal itu akan mengakibatkan tingkat perpindahan yang rendah karena switching cost yang ditanggungnya tinggi. - Pengukuran tingkat kepuasan, merupakan alat yang penting untuk mendeteksi tingkat loyalitas konsumen. Melalui pengukuran dapat diketahui masalah yang dihadapi pelanggan dan alasan pelanggan beralih ke merek lain.
- Rasa suka terhadap merek, tingkat loyalitas keempat adalah rasa suka. Apakah para pelanggan "menyukai" perusahaan tersebut? Adakah perasaan-perasaan hormat atau persahabatan terhadap perusahaan atau merek tersebut? Adakah perasaan kehangatan terhadap merek tersebut? Suatu pengaruh yang positif bisa menghasilkan rintangan bagi para kompetitor. Akan jauh lebih sulit untuk bersaing melawan rasa suka dibandingkan bersaing melawan rasa suka dibandingkan bersaing dengan suatu produk dengan karakteristik-karakteristik yang spesifik.
- Pembeli yang komit. Pada tingkatan ini pembeli merupakan pelanggan yang setia. Mereka memiliki sesuatu kebanggaan sebagai pengguna suatu merek dan bahkan merek tersebut menjadi sangat penting bagi mereka dipandang dari segi fungsinya maupun sebagai suatu ekspresi mengenai siapa sebenarnya mereka. Pada tingkatan ini, merupakan aktualisasi loyalitas kesikapan (attitudinal loyalty).
Pustaka
Aaker, D. A. (1997). Manajemen Ekuitas Merek. Jakarta: Mitra Utama.
Alma, B. (2005). Manajemen Pemasaran dan Pemasaran Jasa. Bandung: Alfabeta.
Bagozzi, R.D., Gopinath M., and Nyer, P.U. (1999). “The Role of Emotions in Marketing,” Journal of the Academy of Marketing Science, Vol. 27, h. 184-206.
Baldinger, A.L and Rubinson, J. (1996). “Brand Loyalty: The Link between Attitude and Behavior,” Journal of Advertising Research, Vol. 36, h. 22-3.
Fukuyama, F. (1995). Trust. New York: The Free Press.
Gerson, R.F. (2004). Mengukur Kepuasan Pelanggan. Jakarta: PPM.
Gilliland D.I., and Belo, D.C. (2002). “Two Sides to Attitudinal Commitment: The Effect of Calculative and Loyalty Commitment on Enforcement Mechanisms in Distributions Channels,” Journal of the Academy of Marketing Science, Vol. 30, h. 24-43.
Irawan, H. (2002). 10 Prinsip Kepuasan Pelanggan, Jakarta: Elexmedia Komputindo.
Keller, K.L. (1998). Strategic Brand Management: Building, Measuring, and Managing Brand Equity, Upper Saddle River, New Jersey: Prentice Hall.
Kotler, P. and Armstrong, G. (2004). Dasar-dasar Manajemen Pemasaran, Jakarta: Indeks.
Kotler, P. (2005). Manajemen Pemasaran, Edisi 11. Jilid II. Jakarta: Indeks.
Lasser W.M.B. and Sarma, A. (1995). “Measuring Customer-based Brand Equity,” Journal of Consumer Marketing, Vol.12, h.11-19.
Matilla, A.S. and Einz, C.A. (2002). “The Role of Emotions in Service Encounters,” Journal of Service Research, Vol.4, h.268-277.
Mooreman, C., Zaltman, G. and Despande, R., (1992). “Relationship between Providers and Users of Market Research: The Dynamics of Trust within and between Organizations,” Journal of Marketing Research, Vol.29, h.314-328.
Morgan, R.M. and Hunt, S.D. (1994). “The Commitment-trust Theory of Relationship Marketing,” Journal of Marketing, Vol.58, h.20-38.
Morgan, R.P. (2000). “A Consumer-oriented Framework of Brand Equity and Loyalty,” International Journal of Market Research, Vol.42, h.65-78.
Oliver, R.L. (1997). Satisfaction: A Behavioral Perspective on the Consumer. New York: McGraw Hill Inc.
Oliver, R.L. (1999). “Whence consumer loyalty?” Journal of Marketing, Vol. 63, Special Issue, h. 33-44.
Pritchard, M.P., Havitz, M.E. and Howard, D.R. (1999). “Analyzing the Commitment-loyalty Links in Service Contexts,” Journal of the Academy of Marketing Science, Vol.27, h.333-348.
Romaniuk, J. (2006). “Comparing Prompted and Unprompted Methods for Measuring Consumer Brand Associations, Journal of Targeting, Measurement and Analysis for Marketing, Vol. 15, h.3-10.
Salvador, C., Rebolloso, E., Ramires, B.F. and Canton, M.D.P. (2006). “Service Price components and their relationship with customer satisfaction, Journal of Revenue and Pricing Management, Vol.6, h.40-45.
Swastha Dh.B. and Irawan, (1992). Manajemen Pemasaran Modern, Yogyakarta: Liberty.
Taylor, S.A., Celuch, K. and Goodwin, S. (2004). “The Importance of Brand Equity to Customer Loyalty.” Journal of Product & Brand Management, Vol.3, h.217-227.
Yamit, Z. (2001). Manajemen Jasa. Jakarta, Penerbit: Ekonosia.