Teori tentang Halusinasi
Pengertian
Halusinasi adalah pengalaman panca indera tanpa ada rangsangan (Stimulus) misalnya penderita mendengar suara-suara/bisikan-bisikan di telinganya padahal tidak ada sumber dari suara/bisikan itu (Prof. Dr. dr. H. Dadang Hawari, Psi, 2001). Sedangkan pengertian halusinasi pendengaran itu sendiri adalah klien mendengar suara dan bunyi yang tidak berhubungan dengan stimulus nyata dan orang lain tidak mendengarnya. (Stuart and Sundeen, 1995).
Halusinasi adalah persepsi subyektif untuk sesuatu yang timbul tanpa stimulus dari lingkungan luar (Wilson and Knelis, 1996)
Halusinasi adalah persepsi tentang suatu stimulus di mana sebenarnya stimulus itu tidak ada (Rankis and Headcock, 1993)
Halusinasi adalah persepsi yang tidak sesuai dengan kenyataan yang ada atau stimulasi eksternal yang tidak adequat. (Atkinson and All, 1996).
Halusinasi adalah penilaian sensori yang muncul di bawah stimulasi internal yang tidak memiliki dasar realita (Craven and Hirnle, 2000).
Halusinasi adalah persepsi sensorik yang salah atau pengalaman persepsi yang dilakukan tidak sesuai dengan realita yang ada (Videback, 2001).
Dari beberapa definisi di atas dapat disimpulkan bahwa halusinasi adalah suatu keadaan di mana seseorang tidak dapat berorientasi terhadap realita, karena adanya persepsi sensori yang salah ditafsirkan tanpa adanya stimulus eksternal yang nyata.
Psikopatologi Halusinasi
Proses terjadinya halusinasi dibagi menjadi 4 (empat) tahap menurut (Stuart and Sundeen, 1995)
Tahap I : Kenyamanan – ansietas tingkat sedang. Halusinasi biasanya menyenangkan, dengan karakteristik : Orang yang berhalusinasi mengalami emosi yang terus menerus seperti cemas, kesepian, rasa bersalah, takut serta mencoba mengurangi untuk memusatkan pemikiran pada kenyataan untuk mengurangi kecemasan. Orang mengetahui bahwa pikiran dan sensori yang dialaminya dapat dikendalikan jika ansietas bisa diatasi (non psikotik).
Tahap II : Menyalahkan – ansietas tingkat berat. Secara umum halusinasi menjijikan, dengan karakteristik : Pengalaman sensori menjijikan dan menakutkan, orang yang berhalusinasi mulai kehilangan kontrol dan cenderung menjaga jarak dari sumber yang dipersepsikannya, individu mungkin merasa malu karena pengalaman sensorinya dan menarik diri dari orang lain.
Tahap III : Mengendalikan – ansietas tingkat berat. Pengalaman sensorik menjadi penguasa, dengan karakteristik : Orang yang berhalusinasi menyerah untuk mencoba menghadapi pengalaman halusinasi dirinya. Isi halusinasi dapat berupa permohonan. Individu mungkin mengalami kesepian jika pengalaman sensorik itu berakhir (Mild Psikotik).
Tahap IV : Menaklukkan – ansietas tingkat panik. Secara umum halusinasi menjadi rumit dan saling terkati dengan delusi, dengan karakteristik pengalaman sensorik mungkin mengancam jika individu tidak mengikuti perintah. Halusinasi dapat berlangsung dengan beberapa hari/jam, tidak ada intervensi terapeutik (psikotik berat).
Komplikasi
Halusinasi yang tidak terkontrol akan menyebabkan keadaan yang lebih buruk, seperti tejradinya amuk atau perilaku kekerasan. Dan kemungkinan dapat melukai diri sendiri atau bahkan orang lain. Dengan demikian diperlukan asuhan keperawatan yang intensif dan komprehensif. Perawat mempunyai peran yang sangat penting dalam membantu klien mencapai tingkat kesehatan jiwa yang optimal. Tindakan yang dapat dilakukan perawat di antaranya membantu klien mengontrol halusinasinya, mengatasi penyebab halusinasi, dan mencegah terjadinya akibat – akibat lanjut dari halusinasi. Selain itu perawat dapat memberikan keterampilan untuk mempersiapkan klien kembali ke keluarga dan masyarakat.
Perilaku
Pada klien halusinasi rspon perilaku yang muncul dapat dilihat dari 5 dimensi, yaitu fisik, emosional, intelektual, sosial dan spiritual. (Rawlins dan Heacok, 1993).
Dimensi fisik, dilihat dari dimensi fisik, bahwa halusinasi dapat meliputi kelima indra, namun lebih sering adalah indra pendengaran, halusinasi dapat ditimbulkan dari beberapa kondisi fisik seperti kelelahan yang luar biasa, menggunakan obat-obatan, demam hingga delirium, intoksikasi alkohol dan kesulitan untuk tidur dalam waktu yang lama, maka perilaku fisik yang tampak pada klien menurunnya perhatian terhadap keberhasilan dan perawatan diri, karena telah berfokus pada halusinasi.
Dimensi emosional, halusinasi karena perasaan cemas yang berlebihan tidak dapat diatasi dan sebagai suatu hal yang menakutkan, yang dapat menyebabkan klien berbuat suatu hal yang menakutkan, yang dapat menyebabkan klien berbuat sesuatu terhadap ketakutan itu.
Dimensi intelektual, halusinasi terjadi sebagai usaha seseorang untuk berubah realitas, yang sifatnya untuk melindungi keutuhan dirinya. Hal ini menunjukkan adanya penurunan fungsi ego untuk mempertahankan kontak dengan realitas. Sekalipun pada awalnya halusinasi, merupakan usaha-usaha dari ego untuk melawan input yang menekan, namun suatu hal yang menimbulkan kewaspadaan yang dapat mengambil seluruh perhatian klien dan tidak jarang akan mengontrol semua perilaku klien.
Dimensi sosial dan spiritual, hubungan interpersonal yang tidak memuaskan dapat menghasilkan halusinasi sebagai koping yang digunakan untuk mengurangi kecemasan akibat kehilangan kontrol diri, harga diri maupun interaksi sosial, sehingga akibatnya klien cenderung memperlihatkan perilaku yang mengisolasi diri dari lingkungan sekitarnya.
Faktor Presipitasi
Dapat bersumber dari internal maupun eksternal. Adapun hal-hal yang harus dikaji mengenai faktor prespitasi antara lain:
Biologis. Gangguan biologis yang dapat mencetuskan terjadinya halusinasi meliputi gangguan dalam umpan balik yang mengatur proses informasi dan abnormalitas pada mekanisme pintu masuk otak.
Stress lingkungan. Dalam hidup individu selalu berinteraksi dengan lingkungan. Kadangkala dalam interaksi tersebut ditemukan stresor yang berakibat terjadinya gangguan perilaku.
Gejala pemicu. Hal ini erat kaitannya dengan kesehatan dan kondisi lingkungan serta sikap perilaku.
Berikut ini akan disajikan secara berurutan ketiga faktor tersebut.
Kesehatan, yaitu erat kaitannya dengan kurang gizi, kurang tidur, keletihan, infeksi, obat sistem saraf, dapat juga karena gangguan proses informasi, kurang tidur, ansietas berat, abnormalitas alam perasaan.
Lingkungan, yaitu rasa bermusuhan dengan lingkungan, perumahan yang tidak sehat, kehilangan kemandirian dalam hidup akibat tekanan terhadap penampilan, perubahan aktivits sehari-hari, stress akibat tidak ada pekerjaan, gangguan dalam hubungan interpersonal, kesepian, isolasi, tekanan pekerjaan dan kemiskinan.
Sikap atau perilaku, konsep diri rendah, yaitu perasaan “Kasihan Saya”.
Keputusasaan, kurang percaya diri, kehilangan motivasi karena gagal, kurang kendali moral, tidak terpenuhi kebutuhan spiritual, perilaku agresif, perilaku amuk, pengelolaan pengobatan yang kurang dan lain-lain.*