Aktualisasi Diri Mahasiswa Perguruan Tinggi Keagamaan dalam Perspektif Budaya
Bulan Oktober merupakan bulan yang bersejarah bagi bangsa Indonesia, di antaranya adanya hari nasional “Sumpah Pemuda” sebagai salah satu tonggak sejarah di mana pemuda sebagai generasi bangsa menjadi barisan terdepan dalam menentukan nasib suatu bangsa tanpa ada sekat perbedaan suku, agama, maupun kelompok.
Sumpah pemuda berisi gagasan universal, yang berisi ikrar dari semangat kebersamaan, nasionalisme, dan budaya bersama bangsa Indonesia sebagai cikal-bakal dari kemerdekaan bangsa Indonesia.
Kenapa sumpah pemuda tercetus? Salah satunya karena ada “kesadaran kolektif” waktu itu yaitu agar Indonesia bangkit menjadi bangsa yang merdeka sehingga bisa menentukan nasibnya sendiri. Kata kuncinya adalah “Kesadaran Kolektif”. Hal ini menarik untuk dibahas kaitannya dengan budaya dan peran mahasiswa dalam mewujudkan hal tersebut.
Kita ambil beberapa contoh sehingga nanti akan tampak dengan jelas arah dan kaitan antara budaya dan aktualisasi diri mahasiswa, khususnya bagi mahasiswa Perguruan Tinggi Keagamaan.
Jepang, macan Asia berhasil mengalahkan dominasi Amerika di sektor ekonomi, teknologi, dan ilmu pengetahuan. Jepang berhasil karena ada kesadaran kolektif, lebih tepatnya memiliki “rasa sakit hati” nasional sejak Hiroshima dan Nagasaki dibom atom oleh sekutu tahun 1945.
Hanya butuh waktu 35 tahun untuk Jepang bangkit. Pada tahun 1980 Jepang telah bangkit dan menguasai sektor-sektor penting ekonomi dunia. Kebangkitan Jepang dikenal dengan “Restorasi Meiji”, yang diambil dari nama Kaisar Jepang saat itu yaitu “Kaisar Meiji”, yang melakukan usaha besar untuk menjadikan Masyarakat Jepang bukan menjadi Negara yang terisolasi dari keterpurukan pasca Bom Atom tersebut.
Langkah yang ditempuh Jepang adalah pendekatan kultural atau pendekatan budaya yang disebut dengan semangat “Bushido”, yaitu sikap rela mati untuk kemajuan Negara Jepang dan untuk pemimpin tertinggi mereka. Pendekatan kultural lainnya adalah budaya kerja keras.
Penduduk Jepang sangat aib jika bangun kesiangan. Sektor ekonomi digerakkan oleh kelas menengah yang terkenal pantang menyerah. Jepang juga fokus pada pengembangan ilmu pengetahuan khususnya bidang riset.
Selain Jepang, Amerika dan Eropa sebagai negara maju dan menjadi pusat peradaban dunia di bidang ilmu pengetahuan saat ini juga dapat dijadikan contoh. Predikat tersebut tidak diperoleh begitu saja, akan tetapi mengalami sejarah panjang. Pergulatan historis dalam menumbuhkan nilai-nilai budaya pada masyarakatnya, terutama penekanan untuk menguasai ilmu pengetahuan.
Ilmu pengetahuan dibela mati-matian meskipun harus berhadapan dengan dominasi agama yang mengekang ilmu pengetahuan saat itu. Cofernicus berani dihukum mati oleh pihak gereja hanya untuk mempertahankan temuannya di bidang sains.
Negara lain yang memiliki “musuh bersama” dan bangkit dari keterpurukan dengan modal budaya adalah Iran. Iran yang saat ini tumbuh pesat di bidang ilmu pengetahuan, juga tumbuh dari budaya kultural. Ia mewarisi budaya Persia yang sudah sejak lama mencintai ilmu pengetahuan. Filsafat—sebagai bapaknya Ilmu Pengetahuan—nyaris mati di dunia Islam lain, tetapi tidak di Iran.
Kunci lainnya adalah adanya “musuh bersama nasional” yaitu Amerika. Iran cerdik dalam menumbuhkan siapa musuh yang harus mereka lawan. Amerika dijadikan musuh bersama dan ditekankan kepada setiap generasi. Sehingga meskipun Iran diembargo tetapi tidak berdampak apapun pada sektor ekonomi.
Iran malah tumbuh pesat di bidang ilmu pengetahuan, mereka termasuk salah satu negara yang menguasai teknologi nano, teknologi nuklir, mampu membuat mobil sendiri, dan banyak lagi. Embargo dari Amerika dijadikan sebagai modal awal untuk bangkit, karena mereka menemukan momentum kesadaran kolektif untuk bangkit.
Indonesia, sebagai negara dengan sumber daya alam melimpah harus menata ulang pranata-pranata sosial jika ingin bangkit. Harus ada “musuh bersama” sehingga dapat dijadikan momentum kesadaran kolektif seluruh elemen bangsa. Apa yang harus dijadikan musuh bersama oleh bangsa kita? Tidak mungkin Amerika, karena negara ini bersifat terbuka. Tidak mungkin pula negara lain dijadikan musuh.
Musuh bersama sejati negara kita adalah “Kebodohan”. Para pendiri bangsa ini sudah sangat tepat dalam merumuskan sistem negara. Demokrasi adalah pilihan tepat. Namun belum didukung oleh Sumber Daya Manusia yang tepat. Semangat untuk mencerdaskan bangsa juga sudah tercantum dalam undang-undang.
Kebodohan tidak hanya diukur oleh tingkat pendidikan. Negara telah tepat mengalokasikan anggaran untuk sektor pendidikan 20% dari total anggaran APBN. Total APBN kita di tahun 2016 sebesar 2095 triliun dan tahun 2017 direncanakan sebesar 2070 triliun. Jika dua puluh persennya digunakan secara tepat maka harapan untuk bangkit sangat besar. Tetapi apa kenyataannya?
Daya serap dari program-program Kementerian Pendidikan dan Kementerian Agama terutama di Direktorat Jenderal Pendidikan Islam sebagai lembaga eksekutor APBN masih rendah. Anggaran tidak dapat digunakan sebagaimana mestinya. Kementerian Pendidikan dan Kementerian Agama kadang kebingungan dalam mengelola anggaran yang begitu besar.
Pada tahun 2015, terdapat sisa anggaran di Kementerian Agama sebesar 6.6 triliun dan yang terbesar sisanya adalah di Direktorat Jenderal Pendidikan Islam yang jumlahnya mencapai 3.9 triliun. Itu artinya, untuk sektor pendidikan keagamaan yang dikelola oleh Kementerian Agama belum dimanfaatkan secara maksimal, tidak mampu menyerap anggaran secara baik.
Output dari itu sudah dapat diduga, yaitu kebodohan masih belum dijadikan sebagai “musuh bersama”, pendidikan masih tertinggal dari bangsa lain.
Kultur bangsa kita perlu ditingkatkan ke arah penguasaan ilmu pengetahuan. Jangan pernah bermimpi untuk bisa bangkit jika tidak menguasai ilmu pengetahuan. Lihat saja misalnya berbagai ketidaktepatan pengambil kebijakan. Presiden sesungguhnya telah tepat dalam merumuskan garis-garis kebijakan.
Anggaran pendidikan dibesarkan, pajak diminta ditinjau ulang, infrastuktur diinstruksikan untuk ditingkatkan. Hanya saja tidak didukung oleh eksekutor yang cerdas.
Di sinilah relevansi antara aktualisasi diri mahasiswa perguruan tinggi keagamaan dengan budaya. Peradaban suatu bangsa dibangun di atas pondasi budaya yang berkembang dan dijaga secara konsisten oleh anggota dari bangsa tersebut. Ada kesadaran kolektif yang menjadi budaya bersama yang menjadi ciri khas suatu bangsa sehingga membuat bangsa tersebut bangkit dan maju.
Arah aktualisasi diri mahasiswa harus diarahkan ke arah bagaimana memupuk kesadaran kolektif sebagai cerminan dari budaya bangsa untuk memerangi kebodohan. Memerangi kebodohan harus dijadikan sebagai “musuh bersama” sehingga misi pendidikan nasional dapat tercapai. Peran mahasiswa sangat berarti dalam mensukseskan misi ini.
Selain adanya kesadaran kolektif yang harus dipupuk oleh para mahasiswa, juga diperlukan banyak faktor pendukung agar tujuan itu berhasil, di antaranya:
Pertama, penghayatan terhadap ideologi masing-masing agama yang berbasis pada upaya menciptakan kerukunan antar-umat beragama.
Agama dan budaya adalah ibarat keping mata uang yang saling mendukung: agama melahirkan budaya dan budaya pun mempengaruhi praktek keberagamaan seseorang.
Penghayatan terhadap suatu agama secara personal dibebaskan dan dijamin kebebasannya oleh konstitusi kita, namun jika berkaitan dengan pengungkapan di muka publik harus didasarkan pada upaya menciptakan kerukunan dan toleransi di antara sesama umat beragama. Ini harus menjadi budaya bagi kehidupan keberagamaan di Indonesia.
Kedua, perlu adanya penguatan kelembagaan. Penguatan kelembagaan yang dimaksud menyangkut berbagai aspek, termasuk di dalamnya nilai-nilai, budaya, dan perilaku sosial dari para SDM-nya.
Nilai-nilai luhur agama dan budaya harus mampu dipraktekkan oleh para SDM di seluruh satuan kerja secara umum di lingkungan Kementerian Agama RI.
Ketiga, perlu adanya perbaikan sistem pengawasan di lingkungan Kementerian Agama RI, sehingga sistem check and balances dapat tercipta secara baik. Pengawasan yang seimbang bukan saja dari pihak Inspektorat Jenderal, tetapi juga pengawasan dan kesadaran yang muncul dalam diri atau yang dikenal dengan sistem “pengawasan melekat”.
Nilai-nilai agama merupakan benteng kuat yang dapat dijadikan sebagai modal bersama untuk mengarah ke tujuan tersebut.
Keempat, konsisten pada budaya kerja dan nilai-nilai atau prinsip-prinsip luhur yang disepakati bersama. 5 (lima) nilai yang menjadi pedoman kerja di Kementerian Agama RI, yaitu: (1) Integritas (2) Profesionalitas (3) Inovasi (4) Tanggung Jawab, dan (5) Keteladanan harus benar-benar menjadi budaya bersama yang dipraktekkan secara konsisten di lingkungan Kementerian Agama RI.
Budaya adalah nilai-nilai dan kesepakatan yang berasal dari konsensus bersama anggota masyarakat atau anggota dari suatu kelompok. Budaya merupakan faktor penting dalam membangun suatu peradaban. Seperti contoh pada budaya Jepang, Amerika, Eropa, dan bangsa-bangsa lain yang telah disebutkan di atas, budaya merupakan jawaban atas pertanyaan: “Dari mana kita mulai untuk membangun peradaban bangsa?”
Pertanyaan ini penting dan merupakan pertanyaan filosofis yang sangat fundamental. Jika jawaban ini disepakati, maka arah untuk membangun peradaban suatu bangsa akan menemukan titik terang dan arah yang jelas.
Jawaban dari pertanyaan tersebut adalah “dari budaya”. Dari berbagai hal yang telah disebutkan di atas, yaitu adanya kesadaran kolektif, budaya yang baik, dan berbagai faktor pendukung lainnya, merupakan langkah dan poin penting dalam memantapkan aktualisasi diri para mahasiswa perguruan tinggi keagamaan untuk membangun peradaban bangsa.
Tanpa adanya komitmen bersama dan tanpa adanya budaya yang konsisten dijalankan secara bersama-sama oleh seluruh elemen bangsa di atas, maka aktualisasi diri mahasiswa akan kehilangan arah ditelan oleh arus globalisasi dan gemerlapnya modernisasi yang terlalu menyilaukan sehingga kadang membutakan nurani manusia.**