Perkawinan campur antar dua kebudayaan yang berbeda selalu menjadi topik menarik. Terutama bila berarti pertemuan kebudayaan Barat dan Timur. Hal ini dikarenakan adanya anggapan stereotif bahwa “Wanita Timur Hot” (Kompas, Kolom Kita, 14 Juni 2008). Di masa globalisasi, kawin campur biasa terjadi. Dunia semakin kecil, orang makin bebas bergerak di luar lingkup negaranya. Tak sedikit pria Australia sengaja datang ke Filipina hanya untuk memperoleh istri. Atau wanita Indonesia yang dipinang pria dari berbagai belahan dunia, seperti pria Amerika, Inggris dan pria Barat yang lain. Wanita muda Indonesia semakin banyak berpaling ke pria Prancis, Inggris, Jerman, atau AS lewat agen jodoh internasional.
Masalah yang Muncul dari Pernikahan Antarbangsa
Wanita Asia memiliki anggapan diri yang berbeda dari para wanita Barat, demikian hasil riset yang dilakukan terhadap wanita di 12 negara Asia. Wanita Asia menganggap diri mereka menggairahkan, liar, kasar, nakal, bersemangat, kuat dan bahkan suka menggoda, mereka juga tidak merasa merana atau tertekan.
Namun, secara umum persepsi Barat mengenai wanita Asia adalah mungil, lembut, lemah gemulai, cantik, penyayang, penurut, dan dapat dipercaya. Ada juga anggapan buruk, bahwa wanita Asia mudah didapatkan, bahkan “dibeli” karena terdesak kebutuhan ekonomi, atau seperti wanita Filipina yang seolah semuanya wanita bar dan hostes, padahal kenyataannya tak sedikit wanita Filipina mempunyai pendidikan tinggi, atau wanita Indonesia yang mampu mengharmonisasikan keadaan sekitarnya. Wanita Hong Kong dan China yang cerdik atau jing ling. Wanita India, meskipun berbaju “sari” bisa mengerjakan apa saja. Wanita Jepang, penurut dan sangat setia, dan wanita Singapura yang positif dan aktif (Kompas, Kolom Kita, 14 Juni 2008).
Sementara, pria warga negara asing (WNA) umumnya dicitrakan kaya, gagah dan tampan. Namun, itu semua adalah pandangan stereotif yang belum tentu benar adanya. Hanya pandangan sekilas yang berupa stigma terhadap kebudayaan Barat yang sedang mengalami kemajuan.
Kasus yang banyak muncul, seperti disebutkan di atas, adalah adanya “benturan karakter” dari pasangan yang berbeda kultur. Karakter pria Inggris misalnya, dan wanita Asia (termasuk Indonesia) sangat berbeda dengan karakter wanita Inggris. Samovar (1995) mengatakan bahwa wanita Barat lebih independen dibanding wanita Asia, sehingga hal ini jika pria Barat menikah dengan wanita Asia, wanita Asia selalu ikut atas kemauan pria Barat. Kasus yang sering muncul adalah berpindahnya wanita Asia ke negeri suaminya, yang tentu saja menimbulkan gegar budaya bagi wanita Asia tersebut.
Dalam proses Komunikasi Antar Bangsa, unsur-unsur yang sangat menentukan ini bekerja dan berfungsi secara terpadu bersama-sama seperti komponen, karena masing-masing saling membutuhkan dan berkaitan. Tetapi dalam penelaahan, unsur-unsur tersebut dipisah-pisahkan agar dapat diidentifikasi dan ditinjau secara satu persatu (Mulyana, 2001).
Unsur-unsur sosial budaya tersebut adalah (Mulyana, 2001):
1) Sistem keyakinan (belief)
2) Nilai (Value)
3) Sikap (Attitude/Behavior).
4) Pandangan hidup tentang dunia (Worldview).
Pengaruh keempat unsur kebudayaan tersebut pada makna untuk persepsi terutama pada aspek individual dan subjektifnya. Kita semua mungkin akan mlihat suatu objek atau peristiwa sosial yang sama dan memberikan makna objektif yang sama, tetapi makna individualnya tidak mustahil akan berbeda. Misalnya orang Amerika dengan Arab sepakat menyatakan seseorang wanita berdasarkan wujud fisiknya. Tetapi kemungkinan besar keduanya akan berbeda pendapat tentang bagaimana wanita itu dalam makna sosialnya. Orang Amerika memandang nilai kesetaraan antara pria dengan wanita, sementara orang Arab memandang wanita cenderung menekankan wanita sebagai ibu rumah tangga (Mulyana, 2004:188).
Gudykunst (1990:35) memberikan contoh sebagai berikut:
“Perhatikan kunjungan seorang asing—yang menganut budaya bahwa kontak mata selama berkomunikasi adalah tabu di Amerika Utara. Bila si orang asing berbicara kepada penduduk Amerika Utara dengan menghindari kontak mata, maka ia akan dianggap menyembunyikan sesuatu atau tidak berkata benar”.
Contoh dari Gudykunst di atas dapat terjadi dalam semua konteks komunikasi: dapat muncul dalam komunikasi dua-orang, wawancara, kelompok kecil, atau dalam kategori lainnya.
Faktor Penghambat Komunikasi Antar Budaya
Perbedaan-perbedaan budaya bersama-sama dengan perbedaan-perbedaan lain dalam diri seorang individu (misalnya kepribadian individu, umur, jenis kelamin, dan penampakan fisik) dapat memberikan kontribusi pada sifat permasalahan yang melekat dalam komunikasi antar budaya. Menurut Lewis dan Slade (dalam Natalia, Jurnal Scriptura, 2005:66), ada tiga perbedaan yang paling mendasar dalam proses komunikasi antar budaya yaitu:
1. Kendala bahasa
2. Perbedaan nilai dan
3. Perbedaan pola perilaku kultural.
Ketiga hal ini bisa mengakibatkan kemacetan dalam proses komunikasi antar budaya. Namun selain itu, ada pula beberapa faktor penghambat lain seperti:
1. Etnosentrisme, merupakan tingkatan dimana individu-individu menilai budaya orang lain sebagai inferior terhadap budaya mereka (Rogers & Steinfatt dalam Natalia, 2005:66).Tanpa memandang siapa individu yang terlibat dan bagaimana budayanya, etnosentrisme selalu muncul sebagai penghambat terjalinnya komunikasi antar budaya yang efektif. Perlu diketahui, etnosentrisme itu biasanya dipelajari oleh setiap individu dalam keadaan tidak sadar, namun selalu diekspresikan dalam keadaan sadar, sehingga perlu adanya kewaspadaan terhadap perilaku etnosentrisme tersebut.
2. Stereotip, adalah generalisasi tentang beberapa kelompok orang yang sangat menyederhanakan realitas (Rogers & Steinfatt dalam Natalia, 2005:67). Sikap seperti ini seringkali nampak ketika seseorang menilai orang lain pada basis kelompok etnis tertentu, dan selanjutnya dibawa pada penilaian terhadap pribadi individu tersebut. Maka dari itu, sebenarnya ketika seseorang sedang melakukan kontak antar budaya dengan individu lain, pada dasarnya seseorang tersebut sedang berkomunikasi dengan identitas etnis dari individu tersebut. Yang menjadi permasalahan utama dalam proses komunikasi antar budaya adalah ketika individu-individu yang terkait yang notabene berbeda budaya itu memfokuskan secara destruktif stereotip negatif yang mereka pegang masing-masing, sehingga persepsi mereka tidak akan berubah.
3. Prasangka adalah sikap yang kaku terhadap suatu kelompok yang didaasrkan pada keyakinan atau pra konsepsi yang keliru, juga dapat dipahami sebagai penilaian yang tidak disadari. (Rogers & Steinfatt dalam Natalia, 2005:55). Berdasarkan penilaian tadi, sikap prasangka telah membuat seseorang memasang pagar pembatas terhadap orang lain dalam pergaulan dan justru seseorang akan cenderung menjadi emosional ketika prasangka terancam oleh hal-hal yang bersifat kontradiktif. Itu sangat menghalangi seseorang untuk dapat melihat kenyataan secara akurat.Biasanya sikap prasangka diekspresikan melalui komunikasi.
Dari uraian tentang stereotip dan prasangka, perbedaan utama diantara keduanya adalah jika prasangka merupakan sikap (attitude), namun kalau stereotip merupakan keyakinan (belief). Tapi, keduanya sama-sama dapat menjadi positif maupun negatif. Baik stereotip maupun prasangka akan mempengaruhi persepsi seseorang ketika melakukan kontak antar budaya dalam berbagai cara.
Dalam prakteknya, terhadap beberapa pasangan pernikahan beda bangsa, perbedaan ketiga hal tersebut memang nyata terlihat, tetapi kendala-kendala tersebut sudah diketahui sejak awal, sehingga mereka berusaha saling mendukung dan saling percaya jika ada masalah yang terjadi di antara mereka. Seperti diutarakan oleh Istri salah satu pasangan (A), bahwa di antara mereka memiliki prinsip, dari adanya perbedaan itu mereka mengetahui bahwa di depan mata mereka terdapat masalah, yaitu ada perbedaan. Maka, mereka melakukan saling percaya agar dari perbedaan tersebut tidak akan ada masalah.
Berbeda halnya jika tidak ada perbedaan. Mereka berpikir tidak akan ada masalah. Seperti yang terjadi pada saudaranya. Mereka berpikir bahwa tidak ada perbedaan di antara mereka, tetapi pada kenyataannya mengalami banyak perbedaan dan akhirnya berpisah.
Penghambat komunikasi yang terjadi dalam lintas-budaya, seperti dikemukakan oleh istri salah satu pasangan pernikahan beda bangsa (B), bahwa sebelum ketemu suaminya yang sekarang, ia pernah mempunyai pacar yang juga orang berbeda bangsa. Namun hubungan tersebut gagal, karena di antara kedua belah pihak tidak mencoba saling mengerti.
Dia masih belum bisa mengerti mengenai bagaimana budaya Asia khususnya Indonesia. Ia mengatakan, dan ini sesuai dengan teori steretotip di atas, bahwa seharusnya, ketika kita mencoba mengerti value dari budaya lain, maka dengan sendirinya kita harus terlebih dahulu melepaskan value yang diyakini, lalu mencoba mengerti budaya tersebut. Namun, hal ini yang tidak dimiliki oleh pacarnya dulu, sehingga ia gagal sebelum kemudian saya mengenal suaminya yang sekarang.
Suaminya bersikap dalam masalah budaya yang berbeda dengan sikap yang berbeda. Dia dapat mengerti dan bahkan mengikuti budaya Indonesia, misalnya ketika masuk rumah harus melepaskan sepatu, ketika makan harus menawari orang lain, dia tidak pernah berkata kenapa begini, kenapa begitu, sehingga perbedaan budaya tersebut bukan masalah baginya.**[harjasaputra.com]
———————
Referensi:
Mulyana, Deddy dan Rakhmat, Jalaluddin. Komunikasi Antarbudaya. Bandung: Rosdakarya, 2001.
Gudykunst, W. B., Matsumoto, Y., Ting-Toomey, S., Nishida, T., Kim, K., & Heyman, S. (1996). The influence of cultural individualism-collectivism, self-construals, and individual values on communication styles across cultures. Human Communication Research, 22 (4), 510-543.