Benarkah Indonesia saat ini adalah negara yang sangat intoleran? Pertanyaan mendasar yang harus dijawab oleh semua orang. Karena ini terkait fenomena sosial yang masyarakat Indonesia rasakan sehari-hari. Jawaban atas itu tentu akan berbeda-beda. Apalagi kalau dijawabnya dengan jawaban “kualitatif”. Jawaban ini juga yang disampaikan misalnya oleh Romo Franz Magnis dalam surat protesnya kepada ACF terkait rencana penganugerahan World Statesman Award” pada akhir Mei kepada Presiden RI SBY. Kritikan Franz sangat keras dengan nada tinggi. Di antaranya dengan menggunakan kalimat: This is a shame, a shame for you. (untuk melihat surat lengkap Romo Franz Magnis linknya di sini).
Benarkah Indonesia saat ini adalah negara yang sangat intoleran? Pertanyaan mendasar yang harus dijawab oleh semua orang. Karena ini terkait fenomena sosial yang masyarakat Indonesia rasakan sehari-hari. Jawaban atas itu tentu akan berbeda-beda. Apalagi kalau dijawabnya dengan jawaban “kualitatif”. Jawaban ini juga yang disampaikan misalnya oleh Romo Franz Magnis dalam surat protesnya kepada ACF terkait rencana penganugerahan World Statesman Award” pada akhir Mei kepada Presiden RI SBY. Kritikan Franz sangat keras dengan nada tinggi. Di antaranya dengan menggunakan kalimat: This is a shame, a shame for you. (untuk melihat surat lengkap Romo Franz Magnis linknya di sini).
Tulisan ini bukan untuk menyanggah pernyataan Romo Franz Magnis, bukan juga untuk membela pemerintah, karena saya tidak punya kapasitas untuk itu. Tapi, ketika saya baca polemik ini, jadi teringat pada status Facebook saya jauh-jauh hari sebelum masalah ini muncul. Karena ada relevansinya, yaitu masalah toleransi di Indonesia dari aspek data riil. Bukan berdasarkan penilaian individu.
Dulu saya pernah menulis status FB bunyinya begini: “Jangan bicara toleransi kalau belum tahu jumlah rumah ibadah di Indonesia. Ini bocorannya…bla..bla (data itu yang akan saya tampilkan di sini, lihat tabel di atas.).
Data itu saya peroleh langsung dari Istana Negara, dari salah seorang anggota Dewan Pertimbangan Presiden (Wantimpres) yang menangani bidang Hubungan Antar Agama pada tanggal 4 April 2013, untuk keperluan wawancara penelitian yang dilakukan oleh dosen saya.
Mari kita lihat, saya ambil perbandingan antara mesjid dan gereja, yang seringkali dipertentangkan:
1. Jumlah mesjid 255,147. Dengan jumlah muslim 207 juta lebih berarti rasionya satu masjid digunakan oleh 812 orang (1:812).
2. Jumlah pemeluk Kristen Protestan adalah 16.528.513 (6,96 %) dengan jumlah gereja 50.565 (15,15 %) atau 1:327,
3. Jumlah pemeluk Katolik adalah 6.907.873 (2,91 %) dengan jumlah gereja 11.191 (3,35 %) atau 1:617
Dari data itu, jumlah masjid di Indonesia adalah terbesar di dunia, di Saudi saja cuma ada 20 ribuan saja.
Jumlah gereja di Indonesia adalah terbesar kedua di dunia setelah Amerika (338 ribu gereja). Inggris hanya 37 ribu dan Jerman hanya 30 ribu (data ini saya peroleh dari berbagai sumber yang tersebar di banyak situs online resmi pencatatan statistik dunia). Bisa dibuktikan melalui pencarian Google.
Menurut Masykuri Abdillah (Anggota Wantimpres bidang Hubungan Antar Agama), jika dibandingkan dengan di negara-negara Barat, jumlah (prosentase) rumah ibadah milik kelompok agama minoritas di Indonesia jauh lebih besar daripada di negara-negara itu, termasuk Amerika Serikat dan Inggris sebagai negara Barat yang paling mendukung multi-kulturalisme.
Data-data di media menunjukkan, bahwa di Inggris umat Islam berjumlah sekitar 2,8 juta jiwa dan memiliki masjid sekitar 1.400 atau 1: 2.000, di Amerika Serikat umat Islam berjumlah sekitar 6,2 juta jiwa dan memiliki masjid sekitar 2100 atau 1:2.952, sedangkan di Jerman umat Islam berjumlah 4,300,000 dan memiliki masjid sekitar 159 atau 1: 27.044. Meski AS sangat mendukung kebebasan beragama, dalam kenyataannya, pendirian rumah ibadah bagi kelompok minoritas tidak lebih mudah daripada di Indonesia.
Laporan The Pew Research Center pada 27 September 2012 lalu menyebutkan secara rinci 53 lokasi yang diusulkan pendirian masjid tetapi belum memperoleh izin karena mendapatkan resistensi dari warga masyarakat. Bahkan website The American Muslim pada 12 Oktober 2012 menyebutkan jumlah yang jauh melebihi 53 masjid, termasuk yang diganggu atau diserang.
Kesulitan pendirian rumah ibadah bagi non-Muslim di sejumlah negara Timur Tengah, pendirian masjid di negara-negara Eropa Selatan dan Eropa Timur umumnya juga mengalami kesulitan. Di Italia, misalnya, jumlah umat Islam mencapai 1,3 juta jiwa, tetapi sampai kini hanya diperbolehkan berdiri 3 buah masjid (atau 1:433.333), dan inipun bertempat di pinggir kota yang jauh dari pemukiman penduduk. Di negara ini agama Islam belum bisa diakui resmi sebagai sebuah agama, walaupun proposal untuk pengakuan ini sudah lama diajukan. Bahkan sampai kini masih ada sejumlah negera Eropa yang tidak memperbolehkan sama sekali pendirian masjid, seperti Slovakia dan Slovenia.
Sementara di Yunani dan Denmark, usulan pendirian masjid sudah lama diajukan, tetapi baru disetujui oleh pemerintah dan parlemen pada 2012, walaupun kini masih ditolak oleh kalangan gereja. Hanya saja, kesulitan umat Islam dalam mendirikan masjid itu tidak disertai dengan protes atau aksi-aksi demonstratif seperti yang banyak terjadi di Indonesia. Memang di negara-negara tersebut diperbolehkan menjadikan suatu ruangan atau bagian dari bangunan sebagai tempat ibadah, dan ini dianggap sebagai bukti adanya kebebasan beragama. Di Indonesia, penggunaan ruangan atau bangunan untuk beribadah yang tidak berbentuk rumah ibadah sebenarnya juga menjadi jalan keluar, jika usulan pendirian rumah ibadah belum memenuhi persyaratan, sesuai dengan PBM (Peraturan Bersama Menteri) pasal 18. Hanya saja, sebagian kelompok agama tetap menuntut izin pendirian rumah ibadah atas nama kebebasan beragama.
Adapun tingkat toleransi warga Indonesia terhadap perbedaan agama ternyata tidak jauh berbeda dengan yang terjadi di banyak negara demokratis lainnya. Pada Juni 2012 lalu, misalnya, CSIS mengadakan survei tentang tingkat toleransi umat beragama di Indonesia. Hasilnya sebanyak 59,5 persen responden tidak berkeberatan bertetangga dengan orang beragama lain. Sekitar 33,7 persen lainnya menjawab sebaliknya. Terkait dengan soal pembangunan rumah ibadah agama lain di lingkungannya, sebanyak 68,2 persen responden menyatakan lebih baik hal itu tidak dilakukan, dan hanya 22,1 persen yang tidak berkeberatan.
Kondisi tersebut sebenarnya masih sedikit lebih baik daripada kondisi di AS, sebagaimana survei yang dilakukan oleh Pew Research Center (PRC) pada 2010. Jumlah orang Amerika yang memiliki pendapat tidak suka/nyaman terhadap Islam (unfavorable opinion of Islam) sedikit mengalami kenaikan menjadi 38 persen (tahun 2005, 36 persen), sementara yang memiliki pendapat suka/nyaman (favorable opinion) mengalami penurunan menjadi 30 persen (tahun 2005, 41 persen). Sedangkan dalam hal pendirian masjid, 51 persen warga AS tidak setuju pendirian masjid, dan hanya 34 persen yang menyetujuinya. Padahal jumlah masjid di negara ini masih sedikit, yakni 1 masjid untuk 2.952 orang dibandingkan di Indonesia yang jumlah gerajanya sangat banyak, yakni satu gereja (Protestan) untuk 327 orang.
Di Indonesia, kesulitan pendirian rumah ibadah bukan saja pada kelompok minoritas nasional (Gereja dan lain-lain) tapi juga di beberapa daerah pendirian masjid pun susah, yaitu ketika muslim menjadi minoritas di tempat itu.
Jadi, pada kondisi tertentu, semua pemeluk agama adalah minoritas. Ada baiknya saya kutip di bawah ini tulisan yang saya ambil di link ini:
“Pada saat dan tempatnya, semua kita adalah minoritas. Paling tidak kalau sudah sampai ke soal pembangunan tempat beribadah. Pada pertemuan tentang peran polisi dan masyarakat sipil dalam melindungi kebebasan beragama yang berlangsung di Surabaya akhir Februari 2013, seorang peserta dari Muhammadiyah mengeluh.
Menurutnya setiap kali kata minortas muncul, yang dimaksudkan selalu umat Kristiani, Budhis, Hindu, dan aliran kepercayaan. Ini minoritas-minoritas yang sudah terkenal.
Sebenarnya Muhammadiyah di banyak tempat di Surabaya adalah minoritas. Mereka mengalami hal serupa yang dihadapi minoritas terkenal di atas: kesulitan membangun tempat ibadah. Dia pun bercerita tentang masjid Muhammadiyah yang tak bisa dibangun di lingkungan mayoritas warga Nahdlatul Ulama (NU) di Surabaya. Peserta lain, perwira dari Polda Jatim, mengiyakan betapa peliknya sengketa pembangunan masjid Muhammadiyah dimaksud”.
Toleransi adalah pilar kehidupan sosial yang harus terus dijaga, tak ada tawar-menawar lagi. Kasus-kasus intoleransi, seperti yang terjadi pada beberapa kelompok minoritas, memang selalu ada dan terdengar oleh kita. Tapi ini bukan berarti dapat digeneralisasi bahwa masyarakat Indonesia secara global tidak toleran. Karena data-data di atas berbicara lain. Di sini, semua orang harus setuju bahwa intoleransi itu harus ditiadakan. Toleransi harus ditingkatkan. Hal ini tugas dari semua orang, baik para tokoh agama, pemerintah, maupun masyarakat umum. Bukan dengan cara saling menyalahkan.**[hs]
Dipublikasikan juga di Kompasiana di Link Ini.