Categories: Riset

Analisis Perlakuan Pajak untuk Reklame Berjalan

Illustrasi: flickr.com

Pajak merupakan salah satu sumber penerimaan negara yang sangat penting artinya bagi pelaksanaan dan peningkatan pembangunan nasional yang bertujuan untuk meningkatkan kemakmuran serta kesejahteraan masyarakat, oleh karena itu perlu dikelola dengan baik agar masyarakat dapat ikut berperan aktif di dalamnya sesuai dengan kebutuhan dan kemampuannya. Pajak digunakan untuk membiayai pengeluaran negara baik pengeluaran rutin maupun pengeluaran pembangunan. Dari segi ekonomi pajak merupakan pemindahan sumber daya dari sektor privat (perusahaan) ke sektor publik. Pemindahan sumber daya tersebut akan mempengaruhi daya beli atau kemampuan  belanja sektor privat.

Pajak merupakan salah satu sumber penerimaan negara yang sangat penting artinya bagi pelaksanaan dan peningkatan pembangunan nasional yang bertujuan untuk meningkatkan kemakmuran serta kesejahteraan masyarakat, oleh karena itu perlu dikelola dengan baik agar masyarakat dapat ikut berperan aktif di dalamnya sesuai dengan kebutuhan dan kemampuannya. Pajak digunakan untuk membiayai pengeluaran negara baik pengeluaran rutin maupun pengeluaran pembangunan. Dari segi ekonomi pajak merupakan pemindahan sumber daya dari sektor privat (perusahaan) ke sektor publik. Pemindahan sumber daya tersebut akan mempengaruhi daya beli atau kemampuan  belanja sektor privat.

Pajak Daerah dan pajak nasional merupakan suatu sistem perpajakan Indonesia, yang pada dasamya merupakan beban masyarakat sehingga perlu dijaga agar kebijakan tersebut dapat memberikan beban yang adil. Sejalan dengan sistem perpajakan nasional, pembinaan Pajak Daerah dilakukan secara terpadu  dengan pajak nasional. Pembinaan ini dilakukan secara terus-menerus, terutama mengenai objek dan tarif pajak, sehingga antara pajak pusat dan Pajak Daerah saling melengkapi.

Di antara jenis Pajak Daerah salah satunya adalah Pajak Reklame. Reklame itu sendiri berarti”Benda, alat, perbuatan atau media yang menurut bentuk susunan dan corak ragamnya untuk tujuan komersial, dipergunakan untuk memperkenalkan, menganjurkan atau memuji suatu barang, jasa atau orang ataupun untuk menarik perhatian umum kepada suatu barang, jasa atau orang yang ditempatkan atau yang dapat dilihat, dibaca, dan atau didengar dari suatu tempat oleh umum, kecuali yang dilakukan oleh Pemerintah” (Siahaan, 2005:324).

Dari sudut pandang perusahaan dalam menjalankan bisnisnya, reklame atau iklan memegang peranan yang penting di dalam rangkaian promosi, karena berkaitan dengan upaya untuk memperkenalkan produk kepada konsumen secara masal, yang dengannya dapat menjangkau sasaran secara lebih luas. Iklan berupaya untuk memikat konsumen melalui pemberian kesan-kesan baik yang mampu diingat dan dirasakan oleh konsumen. Jika konsumen telah kenal terhadap produk perusahaan, maka diharapkan akan memiliki minat untuk membeli produk tersebut. Logikanya, adalah tidak mungkin konsumen akan melakukan tindakan pembelian terhadap suatu produk jika ia tidak kenal terhadap produk yang akan dibelinya. Di sinilah kegiatan periklanan memegang peranan sangat berarti dalam kegiatan pemasaran perushaan, yaitu untuk meningkatkan volume penjualan.

Melalui iklan pula produsen mengharapkan agar brand yang mereka miliki dapat sampai pada benak konsumen, tentu saja iklan akan sangat membutuhkan media untuk dapat sampai pada konsumen. Media-media periklanan ini dapat berupa televisi, radio, selebaran poster, billboard, bahkan reklame berjalan yang dapat menjangkau konsumen sebagai target produk.

Dari sudut pandang pemerintah daerah sebagai pengumpul pajak, khususnya Pemerintah DKI Jakarta, pajak reklame adalah satu dari 10 jenis pajak daerah yang ditetapkan Pemprov DKI yang berfungsi untuk membiayai anggaran pembelanjaan daerah. Berdasarkan data Dinas Pendapatan Daerah (Dipenda), kontribusi pajak reklame terhadap total penerimaan pajak daerah dalam lima tahun terakhir berkisar 3%-5%. Pada tahun 2008, penerimaan pajak reklame ditarget Rp310 miliar atau 3,6% dari total target penerimaan pajak daerah Rp8,48 triliun. Penerimaan pajak reklame di kuartal I/2008 mencapai Rp64,4 miliar atau 21% dari target (Bisnis Indonesia, 25 April 2008).

Salah satu obyek pajak reklame adalah reklame berjalan termasuk pula pada kendaraan. Reklame berjalan memiliki keunggulan pada cakupan obyek yang melihatnya yang tidak hanya di satu sudut tempat. Dikarenakan berjalan maka targetnya lebih luas dibanding yang diam. Namun, pengenaan tarif pajak untuk jenis reklame berjalan adalah sama yaitu 25% dengan Dasar Pengenaan Pajak (DPP) berdasarkan pada nilai sewa Rp.5000/m2 per hari (Peraturan Daerah No. 2 Tahun 2004 Tentang Pajak Reklame di Wilayah Propinsi DKI Jakarta). Hal ini merupakan sesuatu yang tidak adil, dikarenakan pengenaan pajak diperlakukan secara sama namun benefit yang diperoleh oleh pajak reklame berjalan lebih besar daripada yang konvensional.

Pengertian Pajak Reklame

Reklame adalah benda, alat perbuatan atau media yang menurut bentuk susunan dan  corak ragamnya untuk tujuan komersial dipergunakan untuk memperkenalkan,  menganjurkan atau memujikan suatu barang, jasa atau orang, ataupun untuk  menarik perhatian umum kepada suatu barang atau jasa, orang yang  ditempatkan atau dapat dilihat, dibaca atau didengar dari suatu tempat oleh  umum, kecuali yang dilakukan oleh Pemerintah dan pengecualian lainnya sesuai dengan peraturan yang berlaku (Siahaan, 2005:324).

Pengertian reklame termasuk juga merek, simbol logo perusahaan yang merupakan tanda atau inisial atau lambang perusahaan yang dapat mudah dikenali orang (Penjelasan Peraturan Daerah No. 2 Tahun 2004 Tentang Pajak Reklame di Wilayah Propinsi DKI Jakarta). Adapun penjelasan jenis-jenis reklame adalah sebagai berikut:
1.    Reklame papan : tinplate, poster, wrapping, dan yang ditempel-tempel ke dinding, pagar, tiang dan lain sebagainya.
2.    Reklame Kain : bendera, krey, umbul-umbul dari bahan kain, karet, karung, dan lain-lain.
3.    Reklame kendaraan : Kapal laut, kereta api / KA, pesawat udara, dan sebagainya.
4.    Reklame yang berguna contohnya seperti gantungan kunci, kanting, dan lain sebagainya yang dibagikan secara cuma-cuma alias gratis.
5.    Reklame berjalan, termasuk pula pada kendaraan

1. Pajak Reklame Menurut Peraturan Daerah No.2 tahun 2004

Jenis-jenis pajak reklame menurut Peraturan Daerah No. 2 Tahun 2004 Tentang Pajak Reklame di Wilayah Propinsi DKI Jakarta adalah sebagai berikut:
a.    Reklame papan, billboard, megatron, videotron, large electonic display (LED).
b.    Reklame melekat / Sticker / Stiker
c.    Reklame kain
d.    Reklame selebaran
e.    Reklame berjalan termasuk pula pada kendaraan
f.    Reklame udara
g.    Reklame suara
h.    Reklame film
i.    Reklame peragaan.

Obyek Pajak Reklame adalah penyelenggaraan Reklame, kecuali :
a.    Reklame internet, televisi, radio, warta harian, mingguan, bulanan dan sejenisnya.
b.    Reklame yang diselenggarakan oleh pemerintah pusat dan pemerintah daerah.
c.    Reklame yang sidebar memberi manfaat / bermanfaat bagi yang menerima.
d.    Reklame partai politik / parpol dan organisasi kemasyarakatan / ormas.
e.    Reklame yang diselenggarakan perwakilan diplomatik, perwakilan konsulat, perwakilan PBB serta badan-badan khususnya badan atau lembaga organisasi internasional pada lokasi badan-badan dimaksud.
f.    Reklame tempat ibadah dan tempat panti asuhan.
g.    Reklame informasi kepemilikan tanah dan peruntukan tanah dengan luas tidak lebih dari 0,25 meter persegi di atas tanah tersebut.

Subyek Pajak Reklame adalah orang pribadi atau badan yang menyelenggarakan atau melakukan pemasangan reklame.
Wajib Pajak Reklame adalah orang pribadi atau badan yang menyelenggarakan  reklame.
Dasar pengenaan pajak reklame dihitung :
•    Nilai sewa reklame diperhitungkan dengan memperhatikan kawasan penempatan/pemasangan, jenis, jangka waktu penyelenggaraan, dan ukuran media reklame
•    Dalam hal reklame diselenggarakan oleh orang pribadi atau badan yang memanfaatkan reklame untuk kepentingan sendiri nilai sewa reklame dihitung berdasarkan besar biaya pemasangan, pemeliharaan, lama pemasangan, nilai strategis lokasi reklame, jenis reklame, ketinggian pemasangan dan ukuran media
•    Dalam hal reklame diselenggarakan oleh pihak ketiga nilai sewa reklame ditentukan berdasarkan jumlah pembayaran untuk satu masa pajak atau masa penyelenggaraan reklame dengan mempertimbangkan biaya pemasangan, pemeliharaan, lama pemasangan, nilai strategis lokasi reklame, jenis reklame, ketinggian pemasangan dan ukuran media.
Besarnya pajak reklame ditetapkan sebesar 25 % dari dasar pengenaan.

Dasar Pengenaan Pajak Reklame (DPP)  adalah berdasarkan Nilai Sewa Reklame yang berdasarkan : Lokasi penempatan reklame yang terbagi atas daerah protokol, ekonomi dan lingkungan (ditetapkan dalam keputusan gubernur), Jenis reklame, Jangka waktu penyelenggaraan, dan Ukuran media reklame.

Rumus Menghitung Pokok Pajak Reklame : Tarif X DPP (Dasar Pengenaan Pajak). Ketentuan Tarif Lain :
a.    Reklame rokok dan minuman alkohol ditambah 25% dari pokok pajak.
b.    Reklame yang menambah ketinggian sampai dengan 15 meter ditambah 20% dari pokok pajak 15 meter pertama.

2. Nilai Sewa Reklame

Nilai Sewa Reklame pada Pajak Reklame :
1.    Reklame kain : umbul-umbul, spanduk dan sejenisnya nilai sewa reklame sama dengan reklame papan.
2.    Relame tempel atau stiker / sticker : Rp. 5 per cm persegi atau sekurang-kurangnya Rp. 500.000 setiap penyelenggaraan.
3.    Reklame berjalan atau reklame kendaraan : Rp. 5.000 permeter persegi perhari.
4.    Reklame udara : Ro. 2.000.000 perperagaan maksimal 1 bulan
5.    Reklame suara : Rp. 1.000 per 15 detik
6.    Reklame film atau slide : Rp. 5.000 per 15 detik dengan suara dan Rp. 2.000 per 15 detik tanpa suara.
7.    Reklame peragaan : Rp. 12.000 perhari atau setidak-tidaknya minimal Rp. 400.000 untuk peragaan di luar ruangan yang bersifat permanen dan Rp. 200.000 untuk peragaan yang tidak permanen.
8.    Reklame indoor / dalam ruangan sama seperti reklame peragaan namun mendapat potongan 50%.
9.    Reklame papan, billboard, videotron, LED per 1 meter persegi perhari :
a.    Protokol A : Rp. 15.000
b.    Protokol B : Rp. 10.000
c.    Protokol C : Rp. 8.000
d.    Ekonomi kelas I : Rp. 5.000
e.    Ekonomi kelas II : Rp. 3.000
f.    Ekonomi kelas III : Rp. 2.000
g.    Lingkungan : Rp. 1.000

3. Analisis Perlakuan Pajak untuk Pajak Reklame Berjalan

Seperti telah dijelaskan sebelumnya, bahwa reklame berjalan memiliki keunggulan pada cakupan obyek yang melihatnya yang tidak hanya di satu sudut tempat. Dikarenakan berjalan maka targetnya lebih luas dibanding yang diam. Namun, pengenaan tarif pajak untuk jenis reklame berjalan adalah sama yaitu 25% dengan Dasar Pengenaan Pajak (DPP) berdasarkan pada nilai sewa Rp.5000/m2 per hari. Hal ini merupakan sesuatu yang tidak adil, dikarenakan pengenaan pajak diperlakukan secara sama namun benefit yang diperoleh oleh pajak reklame berjalan lebih besar daripada yang konvensional.

Untuk itu, harus dipertimbangkan solusinya mengenai perlakuan pajak atas pajak reklame berjalan sehingga dapat lebih memberikan sumbangan yang besar terhadap PAD, serta sesuai dengan prinsip keadilan. Selain itu, dari segi pengusaha iklan pun tidak mengalami diskriminasi antara pengiklan di media konvensional dengan media iklan yang berjalan. Selama ini, jika perlakuan pajak disamaratakan antara pajak reklame berjalan dengan yang konvensional, maka telah terjadi ketidakadilan dan sangat tidak sesuai dengan prinsip-prinsip keadilan seperti telah dikemukakan pada teori di atas.

Berikut ini adalah hasil wawancara dengan beberapa pengusaha yang memiliki usaha pemasangan reklame billboard.
Pengusaha 1 mengatakan:

“Billboard konvensional (bukan berjalan) memiliki keunggulan tersendiri, yaitu pada besarnya media yang digunakan sehingga kemungkinan untuk terbaca adalah lebih besar. Berbeda dengan reklame berjalan yang bersifat outdoor saja. Reklame berjalan memiliki kelemahan pada waktu, yaitu hanya pada waktu-waktu tertentu di saat jam-jam sibuk agar kemungkinan dilihatnya lebih besar. Sedangkan outdoor juga memiliki kelemahan hanya pada tempat-tempat keramaian tertentu. Namun, reklame berjalan umumnya dipilih oleh perusahaan (client) hanya untuk launching produk saja. Jika untuk media-media iklan produk yang sudah dikenal di masyarakat, umumnya perusahaan tidak memilih media reklame berjalan tetapi billboard.”

Dengan demikian, menurut pendapat pengusaha Billboard 1 di atas, billboard justru memiliki keunggulan daripada reklame berjalan, yaitu pada besarnya media yang digunakan sehingga nilai mewahnya terlihat serta umumnya perusahaan-perusahaan memilih billboard untuk mengiklankan produknya daripada reklame berjalan, yang hanya digunakan untuk launching produk baru.

Mengenai tata cara perhitungan pajak reklame, pengusaha 1 mengatakan:

“Tergantung dari ukurannya. Untuk ukuran kurang dari 6M itu dibayarkan ke kecamatan. Lebih dari 6M sampai dengan 24M ada di Suku Dinas.  Adapun yang lebih dari 24M melalui Dinas.”

Dalam masalah tarif pajak untuk billboard, ia mengatakan:

“Tergantung dari kelas jalannya. Itu biasanya kelas jalan mengalami perubahan sekitar 3 atau 5 tahun. Kelas jalan terbagi 3: Protokol A, Protokol B, dan Protokol C. Protokol itu ada 4: Rasuna Said, Gatot Soebroto, Sudirman, dan Thamrin”.

Ketika ditanya mengenai pandangan terhadap tarif yang dikenakan oleh Pemprov DKI Jakarta, ia mengatakan:

“Kalau diturunkan mungkin tidak mungkin karena itu tergantung dari kebijakan Pemprov DKI Jakarta. Setiap ada kenaikan tarif, ada arahan dari Pemprov untuk meningkatkan tarifnya. Umumnya disebarkan sebelum kenaikan melalui organisasi Asosiasi Media Luar Ruang Indonesia (AMLI). Asosiasi ini diundang dan disosialisasikan mengenai kenaikan tarif tersebut. Yang pernah saya ikuti adalah ketika ada kenaikan per 1 Juni 2006, yang pada saat itu ada kenaikan tarif.”

Mengenai tanggapan adanya ketidakadilan pengenaan tarif antara Reklame Berjalan dengan reklame billboard, di mana pada reklame Berjalan dikenakan tarif Rp.5000 per meter sedangkan Billboard dikenakan Rp.15.000 untuk di jalan protokol, ia mengatakan:

“Mungkin dilihatnya seperti ini. Bukan pada tarifnya tetapi pada proses pengurusannya. Proses pengurusan Reklame Berjalan lebih mudah, untuk reklame di kendaraan 1 hari sudah selesai. Untuk media karnaval paling lama 1 minggu, sementara untuk Billboard lebih lama dari itu.”

Dengan demikian, dari hasil wawancara dengan pengusaha 1 yang bergerak di bidang billboard (non bergerak) dapat dikatakan bahwa mengenai adanya perbedaan tarif antara reklame berjalan dan reklame konvensional bukan pada tarifnya itu sendiri yang dikeluhkan tetapi pada proses pengurusan izinya yang membutuhkan waktu yang lama. Tarif itu sendiri menurutnya hanya bisa diputuskan oleh pemerintah. Sosialisasi dilakukan melalui AMLI jika terdapat kenaikan tarif reklame.

Pendapat silang mengenai perbedaan tarif ini dilakukan juga terhadap pengusaha reklame bergerak, yaitu pengusaha 2, perusahaan spesialis media outdoor termasuk reklame bergerak.

Ia mengatakan:

“Keunggulan media reklame bergerak, khususnya kendaraan khusus yang berputar di jalan-jalan protokol, ada pada keunikannya yang dipadukan dengan teknologi modern, misalnya papan iklan dari produk dapat berganti dengan sistem slide yang unik sehingga memancing perhatian dari orang-orang yang di sekitarnya”.

Ketika dikonfirmasi mengenai adanya perbedaan tarif, seakan kurang adil antara media reklame bergerak dan konvensional, ia mengatakan:

“Betul, seperti yang dikatakan oleh pengusaha Warna-warni, reklame bergerak umumnya digunakan untuk launching produk meskipun banyak juga yang memasang iklan dari produk-produk yang sudah ternama. Hanya saja, jika dikatakan tidak adil karena adanya perbedaan tarif, harus dilihat dari waktu dan target yang bisa dijangkau. Media bergerak hanya berjalan di siang hari saja, tidak di malam hari sedangkan billboard 24 jam. Sehingga kalau disamakan justru tidak adil buat yang reklame bergerak. Selain itu, media ini hanya dipilih oleh perusahaan umumnya sebagai second choice, bukan pilihan utama dalam beriklan. Iklan utama ya televisi, billboard, di radio, koran. Iklan bergerak hanya dijadikan sebagai pendukung dari media-media tersebut. Bahkan tarif Rp.5000 / m2 seharusnya dikaji ulang karena misalnya untuk media bergerak yang di kendaraan umum, ketika melewati jalan-jalan yang tidak strategis jelas targetnya berkurang, jadi harus ada formula khusus yang lebih dapat mengakumulasi target dari media bergerak ini”.

Dari hasil wawancara dengan pengusaha reklame bergerak di atas, dapat disimpulkan bahwa masalah ketidakadilan tarif antara billboard dan reklame berjalan harus dipandang bukan sebagai ketidakadilan tetapi perbedaan pilihan yang membedakan juga harganya. Karena media bergerak dipilih oleh perusahaan umumnya sebagai pelengkap dari media-media lainnya.

Kesimpulan

Dari pendapat pengusaha billboard Mengenai adanya perbedaan tarif antara reklame berjalan dan reklame konvensional, keberatan bukan pada tarifnya itu sendiri yang dikeluhkan tetapi pada proses pengurusan izinya yang membutuhkan waktu yang lama. Tarif itu sendiri menurutnya hanya bisa diputuskan oleh pemerintah. Adapun dari hasil wawancara dengan pengusaha reklame bergerak, dapat disimpulkan bahwa masalah ketidakadilan tarif antara billboard dan reklame berjalan harus dipandang bukan sebagai ketidakadilan tetapi perbedaan pilihan yang membedakan juga harganya. Karena media bergerak dipilih oleh perusahaan umumnya sebagai pelengkap dari media-media lainnya.

DAFTAR PUSTAKA

Siahaan, Marihot P.  Pajak Daerah dan Retribusi Daerah, Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2005.
Peraturan Daerah No. 2 Tahun 2004 Tentang Pajak Reklame di Wilayah Propinsi DKI Jakarta.
Brotodihardjo, R. Santoso. Pengantar Ilmu Hukum Pajak, Bandung : Eresco, 2003.
Mardiasmo, Perpajakan, Yogyakarta: Andi Offset, 2001.
Davey, K.J. Pembiayaan Pemerintah Daerah, Terj. Amanullah dkk, Jakarta : UI-Press, 1988.
Abimanyu, Anggito. Evaluasi UU Nomor 34 Tahun 2000 Tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah, Jakarta: Pusat Pengkajian Ekonomi dan Keuangan BAPEKKI, 2005.
Devas, Nick. Keuangan Pemerintah Daerah di Indonesia,  Jakarta : Penerbit Universitas Indonesia.
Supriatna, Tjahja. Sistem Administrasi di Daerah, cetakan kedua. Jakarta: Bumi Aksara, 1996.
Peraturan Daerah No. 2 Tahun 2004 Tentang Pajak Reklame di Wilayah Propinsi DKI Jakarta.
Bisnis Indonesia, 25 April 2008.

Harja Saputra

Blogger | Serverholic | Empat Anak | Satu Istri | Kontak: me@harjasaputra.com

Lihat Komentar

  • terima kasih untuk artikel om harja, artikel ini menarik perhatian saya. dari artikel tentang pendapatan asli daerah tentang reklame berjalan, muncul pertanyaan om. sebuah mobil yang di pasang stiker pada kaca belakang itu perhitungan pajak nya akan menjadi rancu. sebagai contoh yang punya kendaraan tinggal di tangerang. lalu dia bayar pajak iklan berjalan nya d kota tangerang. sementara trayek nya dia meliputi daerah jabodetabek selama hari kerja, lalu pada saat lebaran dia mudik sampai k kota malang. nah pertanyaan saya apakah pajak yang di bayarkan kepada kota tangerang sudah mengcover untuk seluruh daerah perlintasan nya? atau kah si empunya kendaraan harus wajib membayarkan pajak untuk seluruh daerah perlintasan nya??? thx om