Review Film Mulan: Film Aksi yang Kurang Greget
Film Mulan sudah tayang di Disney Plus mulai 4 September 2020. Film ini rencananya diputar di bioskop, namun karena terhadang wabah Covid-19, ditunda lama dan kini dapat disaksikan di aplikasi berbayar. Padahal film ini sudah diiklankan di mana-mana akan tayang premier di bioskop.
Di Jakarta misalnya, iklan film Mulan banyak terpampang di lokasi premium. Di wilayah bundaran Senayan ada billboard besar film Mulan terpampang di dinding salah satu pusat perbelanjaan di wilayah itu.
Film ini menuai kontroversi dan terancam diboikot di beberapa negara Asia termasuk Hong Kong, Korea Selatan, dan Thailand karena komentar Liu Yifei, pemeran utama Mulan, yang mendukung aksi brutal kepolisian Hongkong.
Terlepas dari itu, karena ini judulnya Review Film, penilaian saya terhadap film ini akan mengabaikan aspek politis yang kontroversial tersebut.
Kalau saya ditanya: "Apa komentar singkat Anda setelah menonton film Mulan?" Maka, saya akan menjawab: "Bagus, cukup bagus, bagus banget, lumayan bagus..hahhaa". Yang mana yang betul? Ya itu sudah betul, soalnya yang ditanya adalah komentar singkat.
Jadi intinya, film Mulan ini, menurut pendapat saya (tentunya boleh setuju boleh tidak, namanya pendapat kan subjektf) kurang pas jika dikategorikan sebagai film "Aksi (Action)". Film ini lebih cocok masuk dalam kategori film "Drama". Dari skala 1 sampai 10, penilaian saya hanya mentok di angka 6. Itu sudah bagus, di IMDB sebagai pusat rating film, bahkan tidak sampai segitu. Film Mulan di IMDB hanya mendapat rating 5.7.
Alur cerita film yang disutradarai Niki Caro ini mudah ditebak. Hal itu tidak aneh, karena film ini merupakan remake dari versi asli film kartun tahun 1998. Banyak juga film lain dengan judul yang hampir sama, karena memang cerita Mulan ini adalah cerita legenda.
Baca Juga: Captain Fantastic: Film tentang Cinta, Keluarga, dan Kritik terhadap Agama
Saya malah menilai versi lain dari film Mulan lebih bagus daripada film Mulan yang digarap Disney ini. Misalnya film "Mulan: Rise of a Warrior (Hua Mulan)" karya sutradara Jingle Ma dan Wei Dong tahun 2009 atau film "Unparalleled Mulan" tahun 2020 lebih greget alur ceritanya. Tidak lurus seperti film Mulan yang menggunakan pengantar bahasa Inggris.
Secara umum, film ini menceritakan Mulan sebagai anak perempuan yang menyamar menjadi laki-laki dan ikut berperang menggantikan ayahnya yang sudah tua. Dan, akhirnya ia menampakkan identitas aslinya sebagai perempuan yang ternyata bisa juga menaklukkan kepala pemberontak kekaisaran dari suku Rouran yang dibantu oleh penyihir.
Sudah begitu saja ceritanya. Tidak kurang tidak lebih. Tidak ada bumbu percintaan atau perseteruan di antara kawan prajurit yang justru di film "Unparalleled Mulan", alur percintaan dan pengkhianatan dari temannya ini sebagai unsur cerita yang menjadi lebih menarik.
Aktris Yifei Liu berperan sebagai Mulan cukup baik. Aktris China yang lama menetap di Amerika ini memainkan Mulan namun kurang mampu menguasai aksi bela diri ala China yang biasanya kalau kita melihat film-film beladiri asal negeri tirai bambu sangat seru.
Aktor lain pemeran film Mulan adalah Donnie Yen sebagai Commander Tung, Jason Scott Lee sebagai Bori Khan, Yoson An sebagai Cheng Honghui, Gong Li sebagai Xianniang, dan Jet Li berperan sebagai Kaisar. Pengaturan plot cerita dari masing-masing pemeran ini tidak ada yang kontras dengan peran Yifei Liu.
Justru penyihir wanita yang agak kontras dengan Mulan, yang lainnya hanya semacam figuran saja. Jet Li pun berperan sebagai kaisar hanya beberapa scene, tidak terlalu gimana-gimana dalam film ini. Ending film ini pun terasa garing, seperti makanan basi yang sudah berhari-hari dan dihangatkan kembali, tidak enak ujungnya. Tidak sedramatis seperti yang dibayangkan.
Di balik kritik terhadap film itu, namun tetap film ini layak untuk ditonton tetapi jangan mengharapkan sesuatu yang wah, nanti Anda akan kecewa. Anggap saja nonton film ini untuk mengisi waktu luang.
Namun yang terpenting adalah, ada pesan moral yang hendak diusung oleh film yang meghabiskan budget 200 juta dollar ini. Yaitu kesetaraan gender. Bahwa perempuan pun dapat berperang secara gigih sebagaimana laki-laki. Tidak selamanya perempuan harus tamat karirnya di saat dipersunting oleh laki-laki, ia pun mampu membawa pedang dan bahkan bisa lebih kuat daripada laki-laki.
Baca Juga: Review Film Fifty Shades of Grey: Ketika Moral adalah Relatif
Pesan ini begitu kuat dan diperkaya oleh banyak adegan yang mendukung hal itu. Misalnya hanya Mulan yang mampu mencapai bukit teratas dalam latihan mengangkat ember kayu berisi air. Dengan mengerahkan kekuatan Chi, Mulan mampu menapaki ribuan tangga di saat teman-teman prajurit laki-laki tidak sanggup lagi melakukannya.
Tidak hanya itu, Mulan juga yang seorang diri berhasil mengalahkan pasukan Bori Khan dengan cara meruntuhkan bukit es. Namun, ia kemudian harus rela diasingkan karena ternyata ia adalah perempuan. Di sinilah kampanye keseteraan gender dimulai. Mengusung tema feminisme yang menekankan buruknya patriarkhi yang masih menilai perempuan sebagai makhluk hina.
Hal tersebut didukung oleh dialog antara Mulan dengan penyihir. Di mana penyihir menceritakan bagaimana ia menjadi jahat karena mengalami perlakuan dari masyarakat yang serupa.
So, karena film ini endingnya menurut saya kurang menggigit, maka dalam review ini pun, saya cukupkan sekian...:v :v :v **