Film Eropa “Brimstone”, karya sutradara Martin Koolhoven, salah satu film rekomendasi yang layak ditonton. Dirilis Januari 2017, selain alur ceritanya apik, film ini juga sebagai pemenang di Golden and Platin Film, Belanda (2017) dan nominasi film terbaik di London Film Festival dan Venice Film Festival (2016).
Akting memukau si cantik Dakota Fanning dari awal film hingga akhir dengan berbagai latar cerita yang bikin penasaran seperti apa endingnya. Tak kalah dengan Dakota Fanning, aktor-aktor lain seperti Carice van Houten, Kit Harington, dan Guy Pearce bermain apik dalam film ini.
Pesan utama film Brimstone, kalau saya ringkas dalam sebuah kalimat kira-kira begini, bahwa benar adanya “Absolute power corrupts absolutely”, kekuatan yang absolut adalah puncak kekorupan. Apalagi dengan embel-embel kekuatan yang dipegangnya adalah kekuatan agama. Lengkaplah itu.
Film ini membagi alur cerita ke dalam tiga episode dengan menampilkannya tidak secara urut, menceritakan dari tengah terlebih dahulu, lalu ke awal cerita, dan yang terakhir adalah pembalasan. Alur ini yang membuat penonton merasa penasaran, karena alurnya unik tipikal film-film bagus Hollywood.
Dacota Fanning memerankan Joanna (yang kemudian berganti nama menjadi Liz) yang lari dari ambisi ayahnya, seorang pendeta. Sang ayah memiliki kelainan jiwa dan ambisi seksual menyimpang. Ia tertarik pada kecantikan anaknya sendiri dan rela mengejar ke manapun Liz berada.
Pendeta adalah wakil Tuhan sehingga selalu mendasarkan perbuatan penyimpangannya pada hal-hal sakral, doktrin perintah tuhan, melandaskan diri pada ayat-ayat yang ada di kitab suci, sehingga tidak ada yang berani menolak. Pada tahap ini saya sendiri tidak mau berspekulasi apakah betul di kitab suci bible diajarkan seperti yang demikian, tidak ke arah itu. It’s only a movie, tidak usah terlalu lebay menafsirkan terlalu jauh.
Dikarenakan ia memiliki kekuatan absolut maka dengan semena-mena memaksakan kehendaknya. Sang pendeta selalu menghukum istrinya dengan pukulan cambuk jika memprotes. Joanna melihat dengan mata kepala sendiri bagaimana perlakuan sang pendeta terhadap ibunya namun tak mampu berbuat apa-apa.
Terakhir, ibu Joanna menggantung dirinya di gereja di hadapan banyak orang karena merasa tidak kuat lagi dengan perlakuan sang pendeta.
Setelah kepergian ibunya itu, pendeta melampiaskan hasrat seksualnya pada sang anak tetapi dilawan. Joanna berhasil melarikan diri dan harus bertualang menjadi pekerja seks di rumah bordil di kawasan penambangan emas. Di situlah film ini mengambil setting pada awal alur ceritanya.
Perjuangan Joanna sangat berat ketika ia harus menjadi seorang prostitusi. Saya tidak akan menceritakan semua adegan detailnya. Namun penting disimak karena menampilkan bagaimana Joanna berjuang keras untuk menghidupi diri.
Petaka muncul di saat sang pendeta hadir ke tempat rumah bordil itu. Aksi tembak, darah, melarikan diri hingga Joanna harus memotong lidahnya sendiri untuk lari dari kejaran sang ayah adalah adegan yang sangat mengiris hati.
Ada satu kalimat penutup film ini yang sangat bagus, “Siksaan terberat bukan api neraka yang membakar, tetapi karena absennya rasa cinta”. Dalem banget itu.
Kalimat itu sejalan dengan keyakinan saya yang, meskipun susah untuk membuktikannya, bahwa neraka itu tidak berbentuk api seperti yang diceritakan, tetapi jauhnya kita dari sumber cinta, sumber cahaya, yaitu Allah sebagai Tuhan semesta alam. Ini sudah pembahasan metafisika, terlalu jauh untuk ulasan film.
Intinya, film ini layak ditonton karena menampilkan sisi kemanusiaan, keserakahan, kekuasaan absolut agama yang berujung pada penindasan dan penyimpangan. Kritik sosialnya sangat nyata. Daripada ribut-ribut masalah pilkada, bosan, mending nonton fim ini deh.**[harjasaputra.com]