Malam semakin larut. Jarum jam di tangan saya hampir menunjukkan pukul dua belas malam waktu Indonesia bagian tengah. Sepuluh orang termasuk saya masih berkumpul di sebuah rumah makan di dekat Bandara Shalahudin Bima, NTB. Asyik mengobrol tentang segala hal. Topik menarik yang membuat betah disertai dengan candaan adalah ketika seorang tokoh masyarakat bernama Pak Maliki, menceritakan pengalaman uniknya dengan berbagai argumentasi. Apa itu? Berdakwah di diskotik. Ini unik.
“Lihat saja para kyai, ustadz, dakwah hanya pada orang yang sudah baik. Buat apa? Orang sudah baik kok didakwahi. Itu pun susah minta ampun. Masuk telinga kanan, keluar telinga kiri. Lho orang-orang yang di diskotik itu, yang menurut mereka berada di jalan yang salah, justru itu yang harus didakwahi”, ujarnya.
Dakwah di diskotik ini awalnya saya kira bercanda. Tetapi ternyata serius, ia sempat dipanggil oleh dewan kehormatan sebuah organisasi massa gara-gara ketahuan sedang berada di sebuah diskotik, dibuktikan oleh foto dirinya bersama seorang wanita malam dengan posisi berdekatan. Ia menceritakan bagaimana dirinya disidang dan menjelaskan argumentasinya, yang akhirnya tidak jadi dipecat dari organisasi itu.
“Dakwah di diskotik itu begini. Karena diskotik itu berisik tidak mungkin kita teriak-teriak pakai pengeras suara di luar. Tidak akan terdengar oleh mereka yang ada di dalam karena pengaruh suara musik yang sangat keras di situ. Mau tidak mau kita harus masuk ke dalam. Ketika sudah masuk ke dalam pun, bagaimana kita bisa bersuara agar didengar oleh orang yang mau kita dakwahi? Ya kita harus berdekatan. Berdekatan pun jaraknya harus sangat dekat, bila perlu didekatkan mulut kita ke telinga wanita itu baru kedengaran”, tandasnya sambil mempraktekkan bagaimana ia waktu itu ketika tertangkap kamera sedang membisikkan sesuatu pada wanita. Ini semacam justifikasi, tapi logis juga kalau dipikir-pikir.
“Bila masih tidak terdengar juga, mau tidak mau wanita malam itu harus kita ajak ke tempat yang agak sepi. Ya ke kamar. Ajaklah mereka para wanita malam itu bercerita tentang dunia mereka. Inilah susahnya berdakwah pada para wanita malam. Harus berulang kali dilakukan. Itulah kenapa saya sering ke diskotik.”
“Pertama kali kita memperingatkan mereka pasti akan ditertawakan. Dibilangnya, “bang, kalau mau ceramah jangan di sini, di masjid aja di sana”. Sudah, jangan dipaksa kalau sudah begitu. Kedua kali pasti akan beda tanggapannya. Ketiga kali akan beda lagi: wanita malam itu akan mulai cerita tentang hidupnya, kenapa ia ada di sana, dan bagaimana keinginannya di masa depan. Bahkan, seringnya mereka menangisi apa yang sudah mereka perbuat. Tidak sedikit, setelah itu, mereka meninggalkan tempat itu. Ini nyata. Ini real. Bukan asal ngomong saya ini”, dengan berapi-api Pak Maliki menjelaskan.
“Lho bagaimana caranya berdakwah kalau kita tidak kuat menahan godaan, misalnya tak sengaja pegang tangan atau apa gitu?”, tanya temannya ke Pak Maliki.
“Ya ampun ente bagaimana sih. Diajarin di sekolah kan dulu, kalau khilaf atau merasa berdosa ya ucapkan istighfar. Astaghfirullah. Kita manusia, salah itu wajar. Manusia yang bijak bukan yang tidak pernah berdosa, tapi ketika merasa berdosa meminta ampun sama Tuhan”, jelasnya disambut dengan gelak tawa. Bukan menertawakan perkataannya, tapi mimiknya pada saat menjelaskan sambil tangannya memukul meja dan mempraktekkan bagaimana ia memegang tangan wanita malam.
Malam makin larut. Akhirnya pertemuan bubar menyisakan kantuk dan pikiran di benak saya. Kayaknya layak ditiru apa yang dikatakannya..hahhaha..tapi kok fokusnya ke wanita malamnya ya? Kan yang ada di situ banyak juga selain wanita malam, misalnya para pengunjung yang mayoritas laki-laki? Embuh ah…**[harjasaputra]