“Where are you from guys?”, tanya salah seorang pemuda Turki, ketika saya dan tiga orang teman jam 01.00 malam sedang berbincang-bincang di depan sebuah rumah makan di Istanbul. Biasa, sudah sekian hari tidak makan nasi, malam itu kami mencari rumah makan yang menyajikan menu nasi.
“Indonesia, the biggest moslem country same as your country”, jawab salah seorang teman saya.
“Nice. I am moslem too. We have experience hundreds years under ottoman kingdom, under syariat government. Now we are here no problem about moslem or not moslem. Because Islam is in our heart not in others”, tambah pemuda Turki itu.
Perbincangan dengan pemuda Turki itu sepertinya mewakili banyak pandangan masyarakat Turki: masyarakat yang berada di negara berpenduduk 97 persen Moslem (ada yang mengatakan 99 persen Moslem) tetapi dari segi budaya, pemerintahan, dan banyak hal sangat sekuler. Ada pemisahan antara agama dan negara. Agama lebih dihayati pada aspek personal, pada aspek hati, bukan pada pelembagaan agama. Dari berbagai perbincangan dengan masyarakat Turki yang kami kunjungi, yaitu di Ankara, Istanbul, Cappadocia, Konya, dan selama perjalanan ke tempat-tempat tersebut, mayoritas memiliki pandangan sama.
Hal tersebut memiliki landasan yang kuat dari pengaruh ajaran sufi Jalaluddin Rumi yang juga berasal dari Turki dan menjadi idaman bagi masyarakat di sana. Cerita di bawah ini banyak disampaikan dan beredar pada masyarakat Turki, setidaknya begitu menurut penuturan pemandu wisata kami, Ramazan, yang berasal dari Turki:
“Suatu ketika Jalaluddin Rumi sedang berbincang-bincang dengan Syamsudin Tabrizi, seorang darwish yang menjadi sahabat dekatnya di tepi sebuah kolam. Darwish itu bertanya pada Rumi: ‘Apa yang sangat berharga bagi Anda?’ Dijawab oleh Rumi, ‘Buku-buku saya karena dari situ saya mendapatkan banyak keterangan ilmu dan kearifan’, sambil menunjukkan beberapa buku kepada sangh darwish itu. Syamsudin Tabrizi lalu mengambil buku-buku yang ditunjukkan oleh Rumi dan menjatuhkannya ke kolam yang penuh dengan air. Rumi pun menangis dan bertanya, ‘Kenapa Anda tega berbuat demikian?”. Darwish Syamsudin Tabrizi lalu mengambil lagi buku yang sudah dilempar ke dalam kolam, dan ajaibnya tidak basah sama sekali. Setelah itu ia berkata, “Ilmu bukan datang dari buku, tetapi bersemayam dalam hati”.
Banyak cerita-cerita Rumi yang diajarkan di masyarakat Turki yang semuanya bermuara pada pentingnya hati (tulisan khusus tentang makam dan museum Jalaluddin Rumi akan saya paparkan di tulisan terpisah).
Turki adalah negara sekuler itu nyata. Turki memiliki sejarah panjang selama ratusan tahun berada di bawah pemerintahan yang menerapkan syariat, yaitu di kekaisaran Turki Utsmani (Ottoman). Sejak Kemal Attaturk berkuasa, pemerintahan dan budaya Turki berubah drastis menjadi sekuler. Undang-undang, pemerintahan, bahkan bahasa yang diambil dari bahasa Arab semuanya diubah menjadi khas Turki. Selama Kemal Attaturk berkuasa, bahkan adzan pun tidak diperbolehkan berbahasa Arab, harus dengan bahasa Turki. Al-Quran semuanya berbahasa Turki. Sekolah-sekolah keagamaan dihilangkan. Pokoknya semua yang berbau agama ditumpas habis. Itu semua memiliki bekas yang luar biasa dalam perubahan peradaban Turki sekarang. Jilbab pun dilarang.
Pengaruh dari itu, kini kalau Anda berjalan-jalan di hampir semua wilayah kota di Turki, dari segi pakaian masyarakat Turki tidak jauh berbeda dengan masyarakat Eropa, terutama bagi para wanitanya. Saya pengamat yang baik kalau masalah ini..eheeem.
Jalan-jalan dan tata-ruang gedung-gedung di kota-kota Turki kalau diperhatikan tidak jauh dari ciri khas Eropa. Jalan-jalannya luas, trotoar pun luas, bersih dan tertata rapi. Taman-taman banyak tersedia untuk berkumpul para anak muda dan masyarakat ketika musim panas.
Namun kemudian, sejak pemerintahan Erbakhan dan terutama pada pemerintahan Erdogan, perlahan-lahan simbol-simbol Islam dikembalikan. Adzan saat ini sudah berbahasa Arab. Al-Quran pun dikembalikan ke bahasa Arab. Jilbab sudah diperbolehkan digunakan. Namun tetap, ciri khas negara sekuler masih tampak nyata pada kehidupan sehari-hari Turki.
Foto Mustafa Kemal Attaturk banyak dipajang di tempat-tempat umum, di rumah-rumah, dan di banyak tempat. Bagi masyarakat Turki, Kemal Attaturk adalah pendiri bangsa yang berani mengubah haluan dan peradaban Turki sehingga sangat diagung-agungkan. Kemal Attaturk tidak memiliki anak karena ia sadar betul, rakyat Turki sudah terbiasa dengan pemerintahan kekaisaran yang turun-temurun. Masyarakat tentu akan memilih anaknya sebagai penerus, dan hal tersebut akan bertentangan dengan ide republik yang diusungnya.
Bagaimana nasionalisme di Turki? Ini yang terutama dan sangat terlihat pada budaya Turki. Nasionalismenya sangat tinggi. Di setiap tempat tinggi, di bukit-bukit, bahkan di kios-kios kecil selalu ditancapkan bendera Turki. Di banyak tempat strategis bendera Turki banyak berkibar. Bahkan saking tingginya nasionalisme Turki, bahasa Turki adalah favorit mereka. Sangat jarang saya temui di tempat-tempat wisata masyarakat Turki yang fasih bahasa Inggris. Di Cappadocia misalnya, di mana banyak turis-turis asing ke tempat itu, para penjual di kios-kios hanya mengerti bahasa Turki. Bahasa Inggris hanya mengerti sedikit. Itu pun jarang. Di Konya, negeri asal Mulana (di sana ejaannya Mevlana) Jalaluddin Rumi, juga begitu. Kecuali di lokasi wisata Istana King Suleiman (Topkapi), Haghia Sophia, banyak yang mengerti bahasa Inggris lebih baik dibanding di tempat-tempat lain.
Satu hal yang harus menjadi perhatian, sesuatu yang perlu untuk ditiru: salah satu faktor keberhasilan Turki membentuk peradabannya adalah fokusnya pada pembangunan pendidikan. Sekolah dasar (SD) hingga SMP adalah wajib, dalam arti yang benar-benar wajib. Sekolah SD di sana 4 tahun, SMP 4 tahun, dan SMA 3 tahun (CMIIW). Siapa saja orang tua yang melarang anak-anaknya sekolah akan ditangkap dan dipenjarakan. Semua buku-buku siswa dari tingkat SD hingga SMA gratis. Terdapat lebih dari 300 univeritas di Turki dan biaya pendidikannya pun murah, berkisar kalau dirupiahkan hanya kurang dari 1 juta rupiah per semester.
Program pendidikan ini adalah salah satu program presiden Erdogan yang dinilai oleh masyarakat Turki sangat berharga dari pemerintahan Erdogan. Dengan pendidikan masyarakat menjadi lebih peduli pada kebersihan, penguasaan pada teknologi, dan banyak lagi pengaruhnya pada pembangunan di Turki. Kalau masyarakatnya berpendidikan rendah tidak mungkin sadar kebersihan. Turki pada 20 puluh tahun belakang berbeda kondisinya: sampah di mana-mana dan kotor, tetapi dengan pendidikan yang merata masyarakat menjadi sadar pada kebersihan dan lebih ‘berperadaban’.
Selain itu, program pembangunan SDM yang patut diapresiasi. Di Turki, setiap keluarga tidak ada batasan anak. Minimal tiga orang. Dan, terdapat tunjangan bagi anak. Pemerintah menambahkan tunjangan anak pada gaji ayahnya: untuk setiap anak diberikan tunjangan sebesar 50 sampai 100 Lyra (1 lyra 5500 rupiah = 300-550 ribu rupiah/anak). Maka, pengaruh dari itu adalah kini di Turki jumlah penduduk kaum muda atau usia produktif adalah 70 persen dibanding usia non produktif. Lebih banyak kaum mudanya dibanding usia tua. Lapangan pekerjaan pun terbuka lebar dari kebijakan ekonomi yang membuka diri (ekonomi sekuler).
Pola interaksi masyarakat Turki hampir sama dengan di Indonesia: masyarakatnya senang saling-sapa, ramah, dan sosialnya tinggi. Ketika kita kebingungan mencari sesuatu, selalu ada saja orang Turki yang menghampiri untuk memberikan bantuan. Ketika saya di hotel misalnya, tas saya yang saya taruh di kursi dibawa oleh teman saya ke mobil tanpa memberi tahu. Saya bingung ke mana tas saya. Lalu ada orang Turki yang memberi tahu bahwa tas saya sudah dibawa teman saya. Begitu juga ketika tas seorang teman saya ketinggalan di rumah makan, penjaga rumah makan dengan berlari-lari mengejar teman saya dan mengantarkan tas itu. Luar biasa.
Ada satu hal lagi yang perlu saya sampaikan, adalah mengenai penghormatan pada wanita. Laki-laki Turki sangat tabu mengganggu wanita. Meskipun para wanita menggunakan pakaian seseksi apapun, mereka tidak akan berani menganggu. Melihat wajar tetapi untuk mengganggu bagi mereka sangat tabu. Tidak seperti di Arab Saudi, misalnya, sedikit saja terlihat paras cantik (meskipun dengan menggunakan jilbab) banyak laki-laki Arab yang tidak sungkan mengganggu (dalam arti sexual harrasment). Kembali lagi, ini masalah pengaruh pendidikan mungkin.
Penghormatan pada wanita yang lain adalah dalam jumlah mahar. Di Turki, mahar (mas kawin) minimal 90 gram emas. Belum termasuk pemberian gelang, cincin, dan perhiasan lainnya. 90 gram emas adalah murni mahar untuk si calon pengantin yang akan diperistri. Itu fungsinya sebagai proteksi bagi wanita tersebut: jika kemudian bercerai atau suaminya meninggal, maka ia masih mampu melanjutkan hidupnya dari mahar itu. Kalau di kita? Hmmmmmm…sepertinya perlu juga di sini diterapkan hal tersebut.
Itulah sekilas pandangan mengenai Turki. Untuk hal-hal khusus, seperti masalah agama, haji, dan obyek-obyek wisata menarik lainnya akan saya publish pada tulisan khusus berikutnya.**[harjasaputra]
Galeri Foto:
{gallery}turki{/gallery}