Foto di atas sekilas seperti di Tanah Abang? Bukan, foto itu diambil di dekat Masjid al-Haram, Mekkah. Tepatnya di samping Zamzam Tower yang sekarang banyak berdiri megah hotel-hotel bintang lima. Setiap pagi setelah shalat Shubuh, banyak para pedagang yang menggelar dagangannya di jalan-jalan yang menuju masjid al-Haram. Kebanyakan pedagangnya wanita berkulit hitam.
Para pedagang di tanah suci umumnya bisa berbicara dengan banyak bahasa, termasuk bahasa Indonesia. “Ayo murah..murah..dua puluh riyal..dua puluh riyal”, seru para pedagang sambil melempar baju-baju, kerudung, dan gamis ke udara untuk menarik perhatian. Jika mereka melihat pengunjung adalah orang Turki, mereka pun menawarkan dalam bahasa Turki.
Harga yang ditawarkan oleh para pedagang di Pasar Kaget umumnya lebih murah daripada yang ditawarkan di toko-toko. Ghamis yang di toko sekitar 60 riyal di pasar kaget bisa setengah harga: 20 hingga 30 riyal. Merek dan kualitas kainnya sama. Logis, karena mereka tidak harus sewa toko dan biaya lainnya.
Fenomena menarik bagi saya adalah ketika para pedagang lari berhamburan ketika para ‘askar (kalau di kita Satpol PP) datang dengan mobil patrolinya. Meskipun sedang melayani transaksi dengan pembeli, para pedagang ini bergegas lari dengan menjinjing barang dagangan yang dibalut kain. Menghindar jauh dari ‘askar.
Setelah para ‘Askar berlalu, para pedagang ini pun menggelar kembali dagangannya. Begitu juga ketika mobil Askar terlihat dari kejauhan mereka pun akan lari lagi. Ternyata bukan hanya di kita kejar-kejaran antara pedagang kaki lima dengan satpol PP, di Arab Saudi juga berlaku hal yang sama. Namanya juga dunia di mana-mana sama.
Di Madinah, setelah shalat Shubuh di sekitar Masjid Nabawi akan banyak sekali para pedagang di Pasar Kaget yang menjajakan dagangan. Umumnya mereka berjualan pakaian, accesories seperti gelang, kopiah, dan makanan. Di Madinah jumlah pedagangnya lebih banyak daripada yang saya lihat di sekitar Masjid al-Haram. Umumnya mereka berjualan dari setelah shubuh hingga sekitar jam 09 pagi. Setelah itu digantikan oleh para pedagang resmi yang mulai membuka toko-tokonya.
Para ‘Askar di Madinah pun sama, mereka akan berpatroli untuk membubarkan para pedagang ilegal. Hanya, saya lihat di Madinah ‘Askarnya tidak “sekejam” di Makkah. Mereka umumnya berpatroli dengan mobil dan hanya berkeliling, tidak sampai mengejar para pedagang. Namun, tetap saja para pedagang ketika melihat mobil patroli akan lari menjauh. Sementara di Mekkah, ‘Askarnya lebih ‘sangar’ ke para pedagang. Mereka lebih agresif mengejar para pengasong dan pedagang pasar kaget.
Orang Indonesia terkenal di Arab Saudi karena hobi jajan dan royal. Makanya hampir semua pedagang di Saudi bisa bahasa Indonesia, meskipun hanya sebatas kata “harga-harga dalam rupiah” dan kata “ayo mampir, murah, bagus”. Sesekali mereka merayu pengunjungnya dengan sebutan, “Anda ganteng, cantik, dan sebagainya” agar jualan mereka dibeli.**[harjasaputra.com]