Perkenalkan namaku Karsa. Berasal dari salah satu kampung di Majalengka, Jawa Barat. Aku di Jakarta bukan sebagai orang kantoran yang ke mana-mana berpakaian rapi, atau pedagang yang setiap hari mengantongi uang. Pekerjaanku adalah tukang gali. Ya, hanya sebagai tukang gali yang tidak tetap penghasilannya.
Setiap pagi setelah sembahyang shubuh dan bersahur aku berjalan bergerombol dengan teman-teman menuju wilayah Lebak Bulus. Bukan untuk menuju tempat pekerjaan, tetapi harus mangkal di wilayah itu, menunggu panggilan dari para mandor atau orang-orang yang butuh jasa galian.
Apa saja yang bisa digali, jalan, parit, sumur, atau bahkan untuk pondasi bangunan. Pekerjaan ini kulakukan karena ajakan dari teman-teman sekampung yang memang di kampung susah untuk mencari uang. Mau bertani tetapi tidak punya sawah. Ada memang tanah sedikit, tetapi cukup untuk sepetak rumah bambu saja.
Awal ke Jakarta pada tahun 2005 awalnya sebagai kuli kasar bangunan. Gedung-gedung mewah itu di sekitar Pondok Indah? Oh aku harus berbangga hati karena ikut terlibat dalam pembangunannya, meskipun setelah jadi tidak pernah menengok ke dalam. Bukan kelasku untuk masuk ke sana.
Aku hanya mewujudkan bangunan itu dengan memanggul batu-bata. Tidak lebih dari itu. Apartemen Rasuna Said tempat menetapnya para orang asing? Oh aku pun harus berbangga hati, karena ikut juga membantu bangunan itu terwujud. Turun-naik tangga untuk menggotong besi. Tidak lebih dari itu. Jejak-jejakku ada di bangunan-bangunan yang kini berdiri sombong.
Ramadan tahun ini adalah bulan puasa keenam saya di Jakarta. Namun, untuk tahun ini, aku sudah 6 bulan lebih tidak menengok anak-istri di rumah. Meskipun kangen pada keluarga, tapi kupendam dalam-dalam dan biarlah nanti di lebaran mungkin bisa berjumpa dengan mereka.
Sudah tiga tahun aku jalani sebagai tukang gali. Karena tukang gali dari Majalengka di Jakarta dikenal banyak dipakai di berbagai proyek. Cangkul dengan pegangan pendek, itulah ciri dari tukang gali Majalengka.
Kenapa pendek, bukankah terlalu bungkuk jika mencangkul? Betul, tetapi karena bungkuk maka di saat mencangkul tenaga lebih besar keluar. Tetapi, tak jarang kebanyakan membungkuk karena mencangkul pinggangku sering sakit. Bahkan di malam hari, terasa seperti copot. Tapi tidak pernah kurasa, sudah biasa dengan capek, sudah biasa dengan sakit, nanti juga sembuh sendiri.
Hari ini kebetulan aku mendapat pekerjaan di wilayah Cinere Depok, menggali parit untuk proyek PLN. Sudah satu tahun ini sering sekali mendapat pekerjaan di wilayah itu. Entah mengapa, karena gali-menggali apakah untuk kabel Telkom dan Telkomsel, kabel PLN, dan pipa-pipa dari perusahaan air minum sering ganti-ganti dan tidak pernah padam.
Aku bahagia karena berarti pekerjaanku tidak sepi. Namun, warga seringkali protes karena pekerjaan galian itu. Tak jarang yang tidak mengizinkan di depan tokonya untuk digali. Terpaksa harus melapor ke mandor.
Biarlah mereka yang mengurus, tapi ini menjadikanku harus lembur untuk menggali parit di malam hari. Di saat orang lain tidur lelap, diriku terus menggali, menggali dengan si cangkul pendek andalan, menggali lagi, hingga fajar tiba.
Canda tawa di saat istirahat dengan teman-teman sesama penggali dijadikan sebagai penawar capek.
“Ujang, kamu nemu harta karun gak tadi pas masuk terowongan galian?”, tanyaku pada Ujang, pemuda desa yang tak lulus sekolah tapi punya tenaga besar.
“Boro-boro harta karun, ular tanah yang ada tadi.”
“Ya itu harta karunnya, persis kayak kulit kamu, hitam kayak ular…hahahahaha”…Kami tertawa bersama.
Makan malam pun disantap bareng seadanya. Malam ini kami agak makan enak karena dibelikan oleh mandor yang agak baik hati. Meskipun jarang sekali mendapat mandor seperti itu.
Banyaknya membentak jika tidak selesai, dikasih pengertian malah sewot katanya kami sok tahu, menggurui, tapi kami tidak berani membantah, padahal rasakan saja sendiri bagaimana kerasnya mencangkul tanah kering yang bercampur dengan batu. Tapi, itulah resiko pekerjaan.
Malam ini adalah malam kedua puluh puasa, harapanku untuk dapat pulang makin besar. Bukan untuk bermalas-malasan di rumah, tetapi hanya sekadar melepas rindu dengan anak keduaku yang baru lahir 9 bulan lalu. Terbayang jelas bagaimana bentuk kakinya yang mungil.
Di setiap hendak tidur aku selalu sebut nama bayiku itu. Oh, indahnya punya anak yang lucu. Tanpa adanya anak, aku tidak mau bekerja seperti ini. Mending aku menjadi butuh tani saja ke orang lain. Tapi, buruh tani hanya jika musim tanam dan panen saja.
Tidak apalah pikirku aku dengan pekerjaan ini. Meskipun harus rela tidur dari mesjid ke mesjid. Temanku ada juga yang ikut tidur di terminal, atau ketika lembur kami layaknya para pengemis yang tidur meskipun hanya 1 jam di kolong jembatan. Atau di atas koran di saat menunggu sang mandor tiba.
Di malam puasa ini, dengan ditemani secangkir kopi, di sela tatapanku pada parit galian, aku hanya bisa berdoa dan berujar dalam hati: “Tunggu bapak pulang nak, semoga uangnya cukup untuk membeli beras, susu, dan baju barumu di lebaran”.**[harja saputra]