Jalan hidup Jojo benar-benar mengalir begitu saja, maklum karena terlahir di keluarga yang apa adanya, keluarga yang hanya tahu bagaimana mempertahankan hidup, bukan keluarga yang pandai merencanakan hidup. Sudah bisa bertahan hidup saja bagi mereka sudah syukur. Kalau ditanya apa cita-citanya dari kecil ke Jojo, ia pasti tidak akan bisa jawab. Karena menurutnya, waktu kecil ia hanya tahu bagaimana caranya menyiasati getirnya hidup, masalah cita-cita biarlah nanti ada yang mengatur. Jojo hanya memiliki prinsip hidup, yang penting jika ada keinginan dan berusaha dengan sungguh-sungguh hasilnya terserah nanti.
“Kenapa terserah nanti? Bukannya kalau berusaha dengan sungguh-sungguh pasti akan tercapai?” Tanya saya pada Jojo.
“Sudah saya bilang, hidup itu misteri, hanya Tuhan yang tahu jalan hidup kita, kita hanya bisa menebak-nebak. Berusaha keras pasti dapat, itu teori lama. Ada teori baru lagi yang bisa menggugurkan itu”, jawabnya
“Apa itu?” sergahku penasaran.
“Teori itu tidak mencantumkan waktu. Itu kesalahan fatalnya. Banyak yang sudah berusaha keras lama tapi tetap sengsara tuh”, jawab Jojo.
Betul juga kalau dipikir-pikir. Ah, tapi tidak tahulah yang pasti itu yang saya dengar.
Saya pun sempat bertanya pada Jojo, apakah dirinya merencanakan untuk kerja di DPR seperti sekarang? Menurutnya tidak. Apakah ada keinginan untuk menduduki suatu jabatan tertentu nantinya, misalnya jadi anggota Dewan? Menurutnya tidak. Atau ingin jadi presiden mungkin? Jojo malah tertawa dan berkata: “Orang macam kita, tidak usah banyak bermimpi, mimpi pun bagi kita harus terukur. Tidak usahlah kita ingin jadi ini ingin jadi itu, nanti tersiksa oleh keinginan. Bercita-cita jadi orang baik saja sudah, tidak pernah menyakiti orang lain. Itu saja target hidup saya.”
Saya menanyakan hal itu kepada Jojo, sebetulnya hendak mengambil jalan pintas untuk mengetahui apa motif dia setiap hari menatapi gedung kura-kura hijau DPR. Tapi usaha saya sia-sia, misteri itu masih belum terjawab.
Jojo lalu mengisahkan pengalaman hidupnya di bidang pekerjaan. Setelah tamat kuliah, ia ditawari bekerja di kampus tempatnya kuliah di lab komputer, karena waktu itu lab tidak ada yang menangani. Hitung-hitung berbakti ke kampus katanya. Gaji yang ia terima tidak seberapa, hanya cukup untuk makan keluarganya saja. Meskipun demikian, ia tidak pernah malas dalam bekerja, dilakoni setiap hari, karena memang dari kecil sudah terbiasa bekerja, jadi tidak asing lagi untuk bekerja giat. Sampingannya masih tetap ia geluti, masih menjadi juru ketik dari para mahasiswa yang menyelesaikan skripsi.
Kemudian Jojo ditawari bekerja di sebuah kampus di Jakarta Selatan. Ia masuk kerja di situ karena ditawari oleh mantan dosennya, bukan karena sengaja melamar dengan menenteng ijazah. Karena ijazahnya belum sempat diambil, bahkan sampai saat ini kata Jojo ijazahnya masih di kampus. Saya bertanya, kenapa tidak diambil? Masih belum perlu katanya.
Di tempat ini, dikarenakan kampus, Jojo belajar banyak hal. Karena bagi Jojo bekerja itu bukan hanya bagaimana bekerja, berangkat pagi pulang sore, harus ada yang bisa dipelajari untuk pengembangan diri. Jojo banyak mengenal dosen-dosen senior sehingga banyak mengambil pemahaman-pemahaman baru, ilmu-ilmu baru, yang ia simpan betul di kepalanya. Tidak usah lagi mengendap-endap masuk untuk mengikuti seminar seperti pada waktu ia kuliah. Bahkan Jojo kerap terlibat jadi panitia untuk seminar-seminar besar yang mendatangkan tokoh-tokoh luar negeri. Dulu sewaktu masih mahasiswa Jojo sering menjadi peserta nakal yang enggan bayar kalau ada seminar karena tak ada uang, kini ia lebih sering sebagai panitia. Ia undang semua teman-temannya yang mau hadir, karena ia merasakan betul ilmu yang diperoleh dari seminar beda jauh dengan ilmu yang diperoleh di bangku kuiah. Ia mengibaratkan, 1 hari ikut seminar itu sama saja ilmunya dengan 1 tahun kuliah, karena yang berbicara adalah para profesional, para senior yang menyampaikan poin-poin penting yang dikemas secara runtun, logis, dan terbuka. Tidak seperti di kuliah yang hanya sifatnya teori-teori yang sudah tidak berlaku diajarkan, penyampaiannya kaku, dan terkadang dosennya tidak demokratis.
Jojo bekerja di kampus itu selama 3 tahun dan keluar di tahun keempat karena berniat untuk usaha sendiri. Awalnya rektor kampus itu keberatan melepas Jojo, tapi karena keinginan keras Jojo untuk merubah nasib, akhirnya dilepas juga. Meskipun tanpa pesangon sepeser pun, malah kasbon sebesar 300 ribu masih ditagih. Tapi namanya juga hutang harus tetap dibayar.
Lalu Jojo bersama teman akrabnya, sebut saja namanya Anto, mendirikan sebuah EO untuk pameran-pameran dan konser musik. Loncatan pekerjaan yang menurutnya luar biasa, dari dunia keilmuan di kampus ke dunia hiburan. Bukan Jojo namanya kalau tidak tertantang untuk menaklukkan dunia baru.
Lagi-lagi itu semua berkat bantuan dari Pak Bagir. Jojo dan temannya diperbolehkan menempati sebuah kantor kecil di wilayah Pejaten Pasar Minggu. Kantor itu awalnya ditempati oleh yayasan sosial milik Pak Bagir, tapi lalu pindah ke kantor baru yang lebih luas. Kebetulan masih tersisa 6 bulan masa kontraknya. Di kantor itu project pertamanya adalah menjadi EO untuk pameran kopi bermitra dengan teman yang mendapat proyek dari Kementerian Pertanian. Tapi tidak mendapat apa-apa, dibayar pun hanya untuk transportasi. Karena Jojo masih awam betul dengan lika-liku bisnis yang terkadang kejam. Kalau tidak pintar-pintar maka akan dipintari oleh orang lain. Apa boleh buat ia tak mempermasalahkan itu, pikirnya mungkin masih belum rejekinya.
Lalu Jojo dan Anto menggagas untuk membuat event sendiri tanpa kerjasama dengan orang lain. Ia menyebar proposal ke berbagai perusahaan untuk sponsor acara. Konsep acaranya bagus: Edutainment, kegiatan edukasi yaitu debat siswa atau semacamnya tapi diselipi muatan-muatan hiburan. Targetnya adalah para siswa SMA. Kesiapan dari berbagai SMA ternama di Jakarta dan Bogor sudah ditandatangani. Kesiapan dari media-media pendukung, dari mulai TV, radio dan majalah sudah ditandatangani. Tinggal masalah pendanaan. Semua itu dikerjakan oleh hanya 2 orang saja, Jojo dan Anto, karena memang masih belum mampu bayar karyawan lain.
Perkiraan Jojo event ini akan banyak dilirik oleh sponsor karena event besar di berbagai sekolah dan disiarkan di berbagai media. Jojo pun menjual motor, harta satu-satunya hasil jerih payah bertahun-tahun kerja selama menjadi juru ketik skripsi untuk membiayai operasional kantor. Ia jual, karena harus membayar karyawan satu-satunya dan untuk transportasi kesana-kemari menyebarkan proposal. Sebagai gantinya, untuk berangkat kerja terpaksa ia meminjam motor temannya. Dengan ikhlas temannya tersebut mempersilahkan menggunakan motor untuk dipakai. Tapi namanya juga pinjam, kalau satu-dua kali mungkin masih ikhlas meminjamkan, tapi kalau lama-kelamaan mungkin ada perasaan terganggu juga. Kami pun sudah merasa tidak enak sebenarnya karena sering meminjam motor itu, tapi tidak ada alternatif lain. Gelagat merasa terganggu itu jelas sudah terbaca oleh Jojo, dan untuk menjaga perasaan teman, lalu ia tidak berani lagi meminjam.
Dia juga melayangkan proposal ke pihak Diknas karena berkaitan dengan event pendidikan. Tapi apa daya, para sponsor umumnya tidak berkenan memberikan fresh money untuk event tersebut. Banyaknya hanya menawarkan barter produk. Mungkin karena kami EO baru. Dari diknas pun tidak ada kabar, dihubungi tidak pernah jelas keputusannya. Akhirnya Jojo pun harus menyerah pada kenyataan. Terbengkalailah rencana itu. Prediksi awal event itu akan menghasilkan uang jadinya meleset. Motor pun sudah terlanjur melayang. Memang dasar Jojo, kemauan kuat tapi tanpa modal, namanya nekat kuadrat.
Tapi Jojo masih belum putus harapan. Meskipun event edutainment gagal, siapa tahu event lain bisa menghasilkan. Lalu ia diajak untuk bergabung oleh salah satu teman untuk membuka usaha baru. Masih bersama Anto ia akhirnya bergabung dan mengembalikan kunci kantor yang ditempati ke kantor Pak Bagir. Lalu mereka menempati kantor di samping Kampus Unas Pasar Minggu. Awalnya tempat itu dikontrak untuk yayasan kajian pemikiran-pemikiran Islam untuk para mahasiswa di Unas. Kantornya lumayan luas, garasi dibuat untuk usaha rental komputer, dalamnya kantor EO, dan kantor yayasan. Apapun pekerjaan itu yang pasti Jojo butuh mengasih makan untuk anak-istrinya. Dilakoni secara tekun pekerjaan itu. Sering bolak-balik melayani para mahasiswa yang merental komputer, mengetik skripsi, dan membuat konsep untuk EO.
Setelah 1 bulan kerja di situ, tawaran yang disampaikan ke pihak Telkomsel mendapat sambutan baik, dipercaya menangani event besar di Palembang, kali ini event konser musik. Benar-benar gila. Tidak punya pengalaman di konser musik sama sekali, lalu langsung menangani event besar. Band yang didatangkan ke Palembang tak tanggung-tanggung, grup Element, yang waktu itu sedang booming. Sekali lagi Jojo menunjukkan kenekatannya. Prinsip Jojo simpel, apa sih yang tidak bisa dipelajari, pokoknya yakin saja. Akhirnya berangkatlah ke Palembang bersama Anto.
Teknis event itu dari awal hanya dihandel oleh 2 orang, Jojo dan Anto saja. Meskipun ada temannya yang lain yang bertugas melobi pihak Telkomsel ikut juga tapi hanya mengawasi jalannya event. Dua orang itulah yang menyiapkan semua persiapan dari mulai panggung, artis, usher, sound system, dan tetek bengek lainnya. Jojo bertugas sebagai Show Director, tugas yang luar biasa menantang baginya. Modalnya hanya nekat dan belajar cepat. Tidak sempat ia membaca buku-buku tentang show, semuanya dikerjakan berdasarkan intuisi.
Event berjalan sesuai rencana, spektakuler 1000 orang lebih penontonnya, meskipun resikonya Jojo dan Anto tidak tidur selama 2 hari, meskipun ada kesalahan kecil pada saat closing, balon di atas panggung tidak bisa turun, karena ikatannya terlalu kuat. Maklum, baru pertama kali menghandel show musik, kesalahan kecil seperti itu masih wajar. Dari segi acara terhitung sukses.
Tapi, pada saat pembayaran, masalah muncul, pembagiannya dirasakan tidak rata, capeknya minta ampun hampir setengah mati, tapi hanya dikasih 1 juta rupiah sementara kontraknya 260 juta lebih. Alasannya karena harus membayar bunga pinjaman untuk modal acara yang dibayar di muka, sementara pembayaran dari telkomsel setelah event. Bubarlah akhirnya EO itu. Lagi-lagi, Jojo hanya berpikir ambil hikmahnya saja, nasib mungkin belum berpihak padanya. Masalah capek, kata Jojo, itu sudah biasa. Ditidurkan juga hilang rasa capeknya.
Daun rupanya masih terus terantuk batu, karena air membawanya ke tempat curam dan berkelok-kelok. Menyisiri parit dan mengukir angin. Masih jauh perjalanan daun ke tempat landai apalagi ke laut tenang. Mudah-mudahan daun itu tetap utuh, tidak tenggelam dibawa derasnya arus sungai.
Karena menemui jalan buntu untuk usaha sendiri, akhirnya Jojo kembali ke kampus yang dulu ia kerja. Untungnya masih bersedia menerima. Karena dulu keluarnya juga ia tidak bermasalah, murni keinginan pribadi. Selama 1,5 tahun Jojo kembali bekerja di kampus itu. Lantas ada pergantian kepemimpinan, rektor lama diganti oleh rektor baru. Gejolak terjadi, satu per satu kawan sekerjanya ditendang dari kantor tanpa alasan jelas. Mencermati gejolak itu, Jojo berpikir daripada dikeluarkan ia tidak mau. Ia memilih untuk mengundurkan diri, yang menurutnya lebih terhormat daripada dikeluarkan. Ia pamit dengan alasan mendapat pekerjaan di tempat lain. Lagi-lagi tidak dapat pesangon. Karena katanya yang mengundurkan diri tidak ada pesangon. Ah, apalah arti dari semua itu pikir Jojo. Ia akhirya keluar dari kampus itu dengan terhormat, tanpa dikeluarkan seperti teman-temannya.
Ada saja jalan bagi Jojo untuk mendapat pekerjaan pengganti, karena memang ia bekerja dengan sungguh-sungguh dan tidak pernah ada cacat hukum maupun cacat sosial (malas, nilep uang, dan sebagainya). Lalu bekerja di sebuah Ormas. Tapi cuma kuat 1 tahun, karena deskripsi tugas tidak jelas. Semua pekerjaan dikerjakan olehnya. Menangani event-event besar, seminar, dan sebagainya ia sudah pengalaman, sehingga setiap ada event Jojolah yang dipercaya menangani itu. Bukan hanya itu, hal-hal kecil, kerusakan komputer, dan pekerjaan-pekerjaan lain diurusi juga olehnya. Maklumlah lembaga sosial. Jojo juga tidak menuntut banyak karena mengerti karakteristik lembaga sosial yang bukan profit oriented.
Setelah dari ormas ia kemudian bekerja di salah satu penerbit buku. Bekerja sebagai IT, untuk jaringan dan maintenance komputer. Sesekali ia juga meresensi buku, menulis transkrip ceramah, untuk diterbitkan di majalah. Skillnya makin terasah. Meskipun kalau ditanya jurusan apa kuliahnya, ia tidak pernah jawab, atau jawab seenaknya saja, hari ini ditanya jurusan anu, seminggu kemudian dijawab jurusan itu, nanti dijawab jurusan yang lain. Pandai berbohong juga pikir saya si Jojo ini. Tapi sempat saya tanyakan kepada dia, dijawabnya jurusan kuliah itu tidak penting. Di manapun kuliah tetap sama, kalau tidak mau belajar ya ketinggalan, kalau mau belajar ya bisa apapun. Bener juga kata saya, apa dia bermaksud menyindir saya, tidak tahu juga.
Jojo dikenal multitalented, kalau di teorinya dikenal dengan istilah multiple intelligence, bisa segala macam dan tahu segala macam. Ia lumayan mengerti di bidang IT karena berbekal pengalaman kerjanya selama 4 tahun lebih di kampus yang dulu sebagai IT, meskipun ia sendiri tidak sekolah di bidang IT. Skillnya itu ia peroleh hanya dari hobi ngotak-ngotak komputer dulu sewaktu kuliah. Tak jarang ia harus diomeli oleh pihak kampus sewaktu kuliah karena sering membuat komputer rusak untuk dijadikan bahan praktek belajarnya. Tapi itulah Jojo–sudah berapa kali saya sebutkan kata-kata ini, ah biarlah diulang-ulang terus juga. Bermodal rasa keingintahuan yang tinggi, otaknya yang lumayan encer, tapi tidak punya fasilitas. Jadinya nekat dalam segala hal.
Ia juga lumayan ngerti teknik menulis. Baik menulis reportase, opini, maupun tulisan ilmiah. Tulisan reportase dan opini ia pelajari dari dosen jurnalistik yang juga membimbingnya secara pribadi (dulu wartawan di Majalah Tempo sekarang jadi wartawan senior di SCTV dan dikenal sebagai “wartawan perang”). Dari bakatnya menulis Jojo pernah menjuarai lomba menulis 2 kali: pertama pada saat SMA (lomba cerpen) dan kedua di saat kuliah, juara 1 tingkat nasional lomba menulis ilmiah populer yang diselenggarakan salah satu lembaga jurnalistik di Bandung.
Terlebih lagi kebiasaannya sejak kecil yang biasa menulis di atas angin seperti saya kisahkan di awal, membuatnya terbiasa dengan tulisan reportase meskipun bukan di atas kertas. Di saat ia menulis di atas angin, ia berarti harus mereportasekan pelajaran yang diterimanya untuk dirinya sendiri, dengan metode yang mudah dimengerti oleh dirinya sendiri. Saya pun belum tahu metodenya seperti apa hingga ia bisa mengingat dari tulisan angin. Metode yang super aneh dan menjadi tanda tanya besar bagi saya. Sementara keahlian menulis ilmiahnya karena berbekal pengalaman mengerjakan ketikan-ketikan dari para mahasiswa yang menulis skripsi.
Meskipun demikian, Jojo mengakui, dirinya hanya “tahu banyak” tetapi “tidak banyak tahu”. Maksud apa lagi dari ungkapan Jojo itu? Tahu banyak, banyak tahu, pusing saya. Dia yang terlalu pintar atau saya yang terlalu bodoh.
“Iya saya ini hanya tahu banyak, semua hal saya pelajari, karena prinsipnya bagi saya semua bisa dipelajari. Tapi namanya manusia punya keterbatasan, tidak mungkin menguasai semua hal. Dengan kata lain, saya hanya perenang bukan penyelam. Namanya perenang itu di permukaan dan permukaannya luas karena tujuannya horizontal, kalau penyelam kan ga horizontal tapi vertikal, ke kedalaman. Fokus di satu titik dan going deeper”, kata Jojo. Satu lagi pelajaran berharga bagi saya yang saya peroleh dari Jojo.
Bahasa Inggrisnya juga lumayan, bukan karena kursus seperti anak lain. Karena boro-boro kursus, bisa sekolah sampai kuliah saja sudah syukur, itu pun disertai banyak penderitaan, bagaimana bisa kursus. Itu karena sewaktu kerja 4 tahun di kampus bosnya hanya bisa komunikasi dengan bahasa Inggris, karena bukan orang Indonesia. Sehingga memacu Jojo untuk belajar sendiri bahasa Inggris, kalau bicara meskipun grammarnya mungkin tidak pas, tapi lumayan lancar. Tapi sudah lama ia tidak bicara Inggris lagi sejak ia keluar dari kampus itu, apalagi di DPR sangat jarang kajian-kajian yang melibatkan teks english, bahan rapat semuanya teks Indonesia. Tapi minimal jika harus membaca referensi Inggris tidak terlalu blank.
Ia bahkan beberapa kali diminta oleh bosnya menjadi guide untuk tamu dari luar negeri, sekadar mengantar belanja elektronik, mengantar ke pertemuan-pertemuan, dan acara lain. Bahasa Arabnya juga lumayan bagus. Itu karena dari dulunya mesantren. Jadi kalau ada orang Arab yang ngata-ngatain dia di jalan, dia pahamlah. Intinya, hampir semua kemampuan dia pelajari sendiri (otodidak).
Terakhir, ia “terdampar” di DPR sebagai Tenaga Ahli, berkat ajakan dari salah seorang anggota Dewan yang ia kenal baik. Pasti Anda menebak Pak Bagir lagi. Bukan, dia sudah lama tidak berhubungan dengannya sejak nomor HPnya ganti. Karena dia juga tidak mau terus-terusan dibebani hutang jasa olehnya. Meskipun Jojo yakin kalau minta pekerjaan kepadanya pasti diusahakan tapi kata Jojo, tidak baik terlalu mengandalkan jasa dari orang lain. Kalau bisa cari sendiri kenapa harus mengandalkan orang lain. Meskipun tugas manusia harus saling membantu, tetapi yang lebih wajib adalah membantu diri sendiri. Luar biasa.**[harja saputra]
Bersambung ke episode berikutnya (Klik Di Sini)…!
Dimuat juga di Kompasiana dan menjadi Headline: http://edukasi.kompasiana.com/2011/07/08/dari-anak-jalanan-kini-dia-di-gedung-dpr-2/