Namanya Jojo (nama laki-laki bukan Jojo wanita yang di Keong Racun), ia salah seorang Tenaga Ahli di DPR. Ruangannya kebetulan berdekatan dengan ruangan saya di Lantai 21. Jojo punya kebiasaan aneh, setiap jam 1 siang setelah makan ia pasti berdiri di jendela kaca menatap ke luar ke gedung kura-kura hijau, gedung yang biasa dipakai untuk rapat paripurna DPR dengan Presiden. Hampir setiap hari ia lakukan itu. Satu-dua hari saya melihatnya tidak penasaran. Tapi setelah kerja selama 3 bulan saya perhatikan, akhirnya saya penasaran untuk menanyakan kenapa ia punya kebiasaan itu, apa yang ia pikirkan sehingga selalu menatap gedung kura-kura itu. Akhirnya ia menceritakan semua alasannya.
Jojo lahir di sebuah desa, di wilayah Majalengka Jabar dari keluarga yang tidak mampu. Orang tuanya jangankan mampu menyekolahkan sampai menguliahkan anaknya, bermimpi pun mungkin tidak. Tapi itulah hidup kata Jojo, tidak ada yang tahu kemana arah dan bagaimana jalannya. Bagi Jojo, hidup itu misteri, ia mengibaratkan dirinya seperti daun yang mengikut saja ke mana arah air sungai membawanya, meskipun terkadang banyak terkantuk batu, terbawa gelombang, tetapi pada waktunya akan tenang di lautan.
Karena keluarganya tidak mampu menyekolahkan, Jojo harus membiayai sekolahnya sendiri tanpa mengandalkan orang tua dari sejak SD hingga kuliah. Pada saat masuk sekolah SD, ia terkadang iri melihat teman-temannya kalau berangkat minta uang jajan, sementara dirinya sejak kelas 1 SD boro-boro minta uang jajan, malahan pagi-pagi sekali ia harus berjalan jauh ke bandar pembuat manisan pepaya mengambil barang dagangan untuk dijual olehnya di sekolah. Setelah mengambil manisan pepaya, ia ke rumahnya sebentar, ganti baju dan berpamitan pada orang tua. Di punggungnya ia bawa tas kecil lusuh warisan dari kakaknya yang isinya hanya ada 1 buku tulis dan 1 pena.
Buku tulis yang ia kantongi jarang ia gunakan hingga awet sampai setahun. Karena Jojo punya kebiasaan unik, hobinya menulis bukan di buku tapi di angin, ya di angin. Orang tua Jojo sendiri yang mengatakannya kepada saya. Sejak kecil Jojo sebelum tidur sambil rebahan di kasur, dia selalu menggerak-gerakkan telunjuknya di udara, seakan menuliskan sesuatu. Ternyata kata Jojo ia menuliskan apa yang diajarkan di sekolah. Kebiasaan itu kata orang tuanya berlanjut sampai ia lulus SD. Ya, Jojo memang penuh keanehan. Bagaimana caranya menulis di udara yang berisi angin, apakah ia akan ingat apa yang dituliskannya. Itu karena di sekolah ia tidak mungkin bisa menuliskan semuanya karena hanya punya 1 buku, dan ia irit-irit betul buku itu dengan cara itu.
Sambil menggendong tas lusuh di punggung, di kepalanya juga dipikul baki manisan pepaya yang ia dagangkan di sekolah. Ya, ia sekolah sambil dagang. Karena selain dirinya ada beberapa temannya di kelas 2 dan kelas 3 yang melakukan hal sama. Di jam istirahat ia bukan mencari jajanan, malah ia melayani teman-temannya jajan. Namun, sebagaimana layaknya anak kecil, tidak terbersit garis penderitaan di mukanya, ia layani teman-temannya yang membeli manisan pepaya kepadanya dengan canda tawa.
Jojo pun punya keanehan dalam kebiasaan belajar. Selain dari tulisan-tulisan yang ditulis di angin yang harus ia hapal, Jojo pun mengandalkan dari mendengar. Jika ada ulangan di kelas, ia tidak mungkin membaca dari buku diktat karena tidak bisa beli. Buku diktat hanya dipinjamkan dari sekolah dan tak boleh dibawa pulang. Ia hanya mendengarkan teman-temannya kalau membaca buku, karena anak-anak umumnya membaca dengan keras, yang membuatnya bisa mencuri poin-poin penting yang hendak diulangkan. Kelas 1 ia bisa lalui dengan predikat juara ke-3.
Ritme hidup itu terus Jojo lakoni hingga lulus SD. Selama rentang enam tahun itu, aktivitasnya tetap sama, sekolah sambil berjualan. Bahkan di saat kelas 4 sampai lulus SD, ia berhenti jualan di sekolah karena bandar manisan pepayanya bangkrut. Akhirnya Jojo berjualan es mambo diajak oleh temannya yang juga satu sekolah dengan syarat tidak boleh berjualan di sekolah. Tidak ada jalan lain, meskipun tidak bisa jualan di sekolah Jojo mencoba menjual es itu di terminal sepulang sekolah. Dari rumah ke terminal itu ia harus jalan 2 kilometer. Tak ada malu atau segan, ia jalani dengan tabah. Jualan, main, dan belajar dijalani berbarengan. Di terminal itulah ia main, ia mencari uang buat biaya sekolah, dan belajar banyak hal, belajar kerasnya hidup.
Jualan es mambo hanya bertahan 1 tahun. Lagi-lagi karena bandarnya bangkrut karena katanya suaminya kawin lagi. Maka, dari tabungan yang ia simpan di celengan ayam dari hasil jualan selama 4 tahun, akhirnya dia belikan 5 pak rokok untuk dijual di terminal. Jojo beralih menjadi penjual asong rokok. Pembelinya para sopir angkot, penumpang, dan para calo.
Naas menimpu Jojo. Ia sempat dipukul hidungnya oleh calo angkot yang mabuk. Pasalnya karena calo itu ngutang rokok pada Jojo padahal utang yang lama pun belum dibayar, Jojo jelas tidak mau ngasih lagi. Calo itu marah dan memukul dengan tinju keras yang ia biasa pukulkan ke para sopir angkot yang menolak untuk dimintai uang. Bayangkan anak kecil kelas 5 SD dipukul oleh calo preman kekar. Tulang hidungnya retak dan sampai sekarang saya lihat bekasnya masih ada, tulang tengah hidungnya menonjol dari akibat pukulan calo preman itu. Seminggu Jojo tidak bisa jualan, tapi karena ia butuh untuk menabung bayar sekolah, ia berjualan rokok lagi.
Akhirnya Jojo bisa menamatkan sekolah SD-nya dengan predikat juara 1. Aneh memang, dari mana ia bisa belajar menyaingi teman-temannya yang mampu dan bisa belajar normal. Lagi-lagi, kata Jojo, itulah hidup asal benar-benar niat pasti ada jalan. Menulis tidak harus di buku dan menghapal tidak harus membaca. Luar biasa.
Menginjak SMP Jojo ingin melanjutkan sekolah sama dengan teman-temannya. Tapi untuk biaya masuk SMP tabungan Jojo tidak cukup. Ia memutar otak. Lalu Jojo ikut ayahnya bekerja di pabrik genteng Jatiwangi. Tugasnya cukup berat, badannya yang kecil harus mendorong gerobak besar berisi tanah yang ditarik oleh ayahnya untuk dicetak menjadi genteng. Meskipun ia tidak mengeluh dan ia lakoni sampai 1 minggu, tapi ayahnya tidak tega melihat anaknya mendorong-dorong gerobak berat. Lalu ia menghadap mandor dan minta pekerjaan yang cocok untuk anak-anak. Lalu ia diberi pekerjaan nyolet bersama anak-anak seumurnya. Nyolet adalah pekerjaan finishing dari proses pengovenan genteng glazuur. Genteng yang tidak rata terbakar, dicat dengan cat khusus agar genteng kelihatan sempurna tidak lecet.
Ia lakoni bekerja di pabrik genteng selama 3 bulan, karena kebetulan mandornya yang menyuruh Jojo untuk sekolah di sebuah Madrasah Tsanawiyah (MTs). Jojo dititipkan oleh mandor ke temannya seorang guru di MTs itu dan juga guru di salah satu pesantren. Jojo pun ditempatkan di pesantren untuk menginap sekaligus untuk ngaji. Jojo akhirnya bisa sekolah di MTs dan mesantren. Tapi karena ia tidak bisa bayar ke sekolah dan pesantren maka syaratnya sepulang sekolah diberikan tugas mengembala sapi. Hitung-hitung bantu-bantu katanya. Jojo menerima dengan senang hati yang penting bisa sekolah. Rutinitas itulah yang dilakoni Jojo selama 3 tahun, pagi sekolah di MTs, sepulang sekolah mengembalakan sapi, dan malamnya mengaji.
Karena kebiasaan menulis di anginnya selagi dari SD yang mengharuskan kuat hapalan, dengannya ia sudah terlatih untuk menghapal. Maka tak aneh jika Jojo setamatnya MTs sudah hapal al-Quran 4 juz (jumlah al-Quran 30 juz). Kalau hanya hapal tidak aneh, tapi Jojo juga bisa tahu ayat yang dibacakan seseorang itu surat keberapa dan ayat keberapa, meskipun tidak hapal semua juz al-Quran. Kata Jojo, ya karena kebiasaan menghapal di waktu kecil itulah, jadi di saat ia baca al-Quran yang sudah berapa kali ia baca tamat, Jojo bisa hapal letak urutan surat, ayat dan bunyi ayatnya.
Menginjak SLTA ia masih diterima di pesantren itu karena ada juga Madrasah Aliyah (MA)-nya. Tapi hanya 1 tahun karena ada kasus para pengurusnya terlibat jaringan NII. NII sudah sangat lama menguasai pesantren di wilayah Majalengka. Termasuk pada saat Jojo sekolah. Awalnya Jojo pun didekati oleh para guru yang terlibat NII, tapi karena nalarnya kuat ia tidak bisa terima dengan ajakan itu. Meskipun resikonya dikucilkan. Pesantren itu akhirnya bubar dan sekolahnya diambil alih oleh pihak lain.
Perjuangan masih terus berlanjut dilakoni oleh Jojo. Ia diajak oleh temannya yang satu pesantren untuk sekolah di Aliyah Bandung, di wilayah Padalarang. Akhirnya ia ke Bandung. Di Bandung Jojo bersekolah dan sepulang sekolah menjadi buruh sebagai tukang ojeg. Kebiasaan jarang menulisnya masih tetap, kalau berangkat sekolah buku tulis hanya diselipkan di saku celana belakang. Tapi ada perbedaan dalam kebiasaan membaca, di masa SMA ia senang membaca. Di sela menunggu penumpang di terminal ojeg ia sempatkan untuk membaca.
Jojo pun sama dengan remaja seusianya, pernah juga mengalami masa-masa “cinta monyet”, suka sama wanita, tapi naas cintanya ditolak. Karena ia hanya seorang tukang ojeg dengan motor butut pinjaman dari orang lain. Cinta pertamanya kandas di tengah jalan. Hidup mungkin masih belum berpihak pada Jojo.
Meskipun kehidupannya yang didera penderitaan dan cintanya kandas tak membuat Jojo patah semangat. Ia lakoni dengan sabar sampai lulus Aliyah dengan predikat siswa dengan nilai terbesar Ujian Negara. Guru-guru sendiri tak heran karena Jojo terkenal cerdas meskipun di sekolah sering tidur dan agak sering bolos karena harus mengejar setoran ojeg. Tapi itulah Jojo.
Menginjak kuliah, keinginannya sangat besar untuk kuliah karena melihat para penumpang yang ia bawa sewaktu ngojek ia bisa tandai. Kalau rumahnya di perumahan agak elit, kata Jojo, pasti kalau ditanya kuliah di mana umumnya menjawab kuliah di anu atau kuliah di itu. Berarti Jojo menyimpulkan kalau mau seperti itu caranya harus kuliah.
Jojo lantas pulang kampung ke Majalengka. Waktu itu, orang tuanya sudah beralih profesi yang semula kuli di pabrik genteng sekarang buka warung nasi goreng di pinggir jalan Jatiwangi. Jojo pun membantu ayahnya berjualan nasi goreng di malam hari. Sambil menunggu keajaiban tiba.
Benar saja keajaiban itu muncul, seorang chinese muallaf (namanya Pak Yanto) yang halaman tokonya dijadikan tempat jualan oleh ayahnya menawarkan untuk kuliah, katanya ada beasiswa kalau lulus tes di sebuah perguruan tinggi swasta di Depok. Masalah biaya hidup, kata Pak Yanto, dia bisa bantu. Tak pikir panjang, Jojo pun ke Depok dan diterima sebagai mahasiswa, karena tesnya bagi Jojo hanya pertanyaan-pertanyaan yang tidak sulit.
Jojo pun berkuliah di Depok dan biaya hidup ditanggung oleh Pak Yanto yang mengantarkannya ke Depok. Lalu menjelang semester 2 kabar baru terdengar oleh Jojo, usaha bisnis cetak foto Pak Yanto tidak seramai dulu lagi, karena tergusur oleh toko cetak digital besar yang membuka cabang baru dari Bandung. Jojo pun tak berani lagi menerima bantuan dari Pak Yanto. Kalau masalah penderitaan sudah biasa ia temui. Ia jalani dengan kesabaran dan berusaha mencari pekerjaan apapun. Dimulai menjadi tukang ketik dari para mahasiswa yang sedang menyusun skripsi. Hasilnya lumayan, bisa menyambung hidup.
Untuk mengisi waktu luang, ia sering menghadiri seminar-seminar dan kursus-kursus yang tentunya diakali agar tidak bayar. Jojo pernah ingin ikut kursus filsafat di YISC Al-Azhar. Nekat saja dia datang tanpa bawa uang. Akhirnya diperbolehkan ikut meskipun syaratnya harus mentranskripsikan kaset hasil kursus untuk dibagikan kepada para peserta di setiap sesi. Di situlah ia mengenal banyak orang. Di antaranya, karena ia bertugas sebagai pentranskrip kaset, maka harus mengkonfirmasikannya kepada pembicara. Salah satu pembicara rutinnya, mungkin tak asing lagi, Pak Bagir (dulu jabatannya Direktur Republika, sekarang Direktur penerbit buku terkenal dan telah merambah ke dunia perfilman, Laskar Pelangi salah satunya, dan dianugerahkan sebagai The Best CEO tahun 2008 dari Majalah SWA). Jojo harus bolak-balik kantor Republika untuk memperlihatkan hasil transkripsinya sebelum dibagikan. Sekretarisnya sampai heran, tamu lain nunggu panjang untuk ketemu Pak Bagir tapi Jojo yang kurus, berpakaian lusuh, melenggang begitu saja ketemu pak Direktur. Tak jarang ia sering dipanggil juga ke rumahnya sebelum mengisi kursus filsafat, untuk melihat makalah yang mau dibagikan. Hasil dari itu, Jojo dikasih hadiah banyak buku dari Pak Bagir yang langsung ditandatangani dan diberikan pesan-pesan motivasi khusus.
Jojo juga pintar menyiasati untuk hadir di seminar-seminar yang di brosurnya tersedia buku gratis untuk dibagikan. Ia pasti berupaya untuk hadir, apapun caranya. Entah dengan cara diam dulu di luar dan di sela-sela kesibukan para penjaganya mengatur tamu ia menyelinap masuk, atau cara lain yang Jojo sendiri yang tahu. Lagi-lagi, itulah Jojo.
Pada semester 5 ia mendapat kabar buruk, kampus menghapus beasiswa dengan argumentasi kekurangan biaya untuk operasional kampus. Jojo kelabakan, penghasilannya dari juru ketik tidak mungkin mampu membayar kuliah. Tapi, mukjizat datang lagi, Jojo mendapat orang tua asuh yang dermawan, Pak Irwan Iskandar, pengusaha sapi asal Bandung. Jojo iseng berpikir sepertinya sapi yang dulu digembala dan dikasih makan sewaktu kecil membalas jasanya, mendatangkan pengusaha sapi untuk membiayai kuliahnya. Jadinya, dari sapi ke sapi. Ah, apapun itu yang penting bisa kuliah.
Kuliah masih bisa berlanjut dengan kehidupan yang tidak terlalu menderita, bisa makan dari jasa mengetik dan kuliah sudah ada yang bayarin. Aman berarti menurut Jojo. Lalu tindakan nekat dilakukan Jojo, belum juga tamat kuliah, di semester 7 ia menikah. Entah apa pertimbangannya, yang pasti menurut dia mengalir saja, kalau harus nikah ya nikah, semua sudah ada garis tanganya. Sungguh fatalistik menurutku. Tapi itulah Jojo.
Ternyata pernikahan membuat Jojo lebih termotivasi. Dialah satu-satunya mahasiswa seangkatannya yang diwisuda dengan menggendong anak, sudah punya pekerjaan meskipun tidak tetap, bisa kebeli motor, dan kenalannya banyak orang-orang penting.
Ada beberapa dosen semasa ia kuliah yang Jojo amat senangi dalam menyampaikan kuliahnya. Kata Jojo, bukan berarti dosen yang lain tidak ia senangi, tetapi gradasi sukanya lebih besar kepada beberapa dosen tersebut. Salah satunya adalah Pak Bagir, ya direktur Republika dulu yang sering ia temui di kantornya dan memberikan banyak buku. Di kampusnya ia bertemu lagi dengan Pak Bagir. Tentunya beliau sudah mengenal Jojo dan menyapanya, “Eh kamu di sini ternyata”. Jojo hanya tersenyum. Ia tidak mau terlalu menunjukkan ke temannya kalau ia kenal baik dengan dosen senior itu.
Riwayat perjuangan jatuh bangun Jojo untuk mengenyam pendidikan yang layak tamat sampai di sini.
Masih ada yang penasaran kisah jatuh bangun Jojo dalam bidang pekerjaan, hingga kini bisa terdampar ke lantai 21 Gedung DPR? Dan alasan kenapa ia mempunyai kebiasaan menatapi gedung kura-kura hijau DPR? Pasti lebih seru lagi..simak kelanjutannya di sini.**[harja saputra]
Tulisan ini dimuat juga di Kompasiana dan menjadi Headlines: http://edukasi.kompasiana.com/2011/07/08/dari-anak-jalanan-kini-dia-di-gedung-dpr/