Anakku yang pertama perempuan berkulit cokelat. Hitam sih maksudnya, seperti warna kulit bapaknya. Semasih duduk di TK kulitnya putih ikut ke mamahnya tapi mungkin karena evolusi gen, menginjak SD warna kulit berubah. Tak hanya warna kulit, tapi perawakan badan pun berubah. Awalnya kecil, imut-imut, entah dikasih makan apa sama ibunya, lambat-laun berubah jadi tinggi-besar. Sebagai bapak yang tiap hari ketemu, bahkan sering pangling (asing) dengan pertumbuhan badannya.
“Ini anak, bapaknya kecil, kok anaknya segede gaban..hahhaa. Nak..nak..kamu ikut siapa sih itu badan”.
“Biarin..yang penting sehat”, timpalnya.
Alma Zahra Saputra namanya, 12 tahun. Sekarang mau masuk SMP. Meskipun secara fisik mengalami banyak perubahan karena sedang dalam tahap pertumbuhan, tapi ada yang tidak berubah dari anak perempuan tercintaku ini. Apa itu? Dia seorang “provokator” handal. Bukan calon provokator lagi, karena kalau calon itu masih potensial, sedangkan ini sudah aktual. Memang itu sifat aslinya: inisiator, pelopor, pengerah massa, pokoknya jobdesc dari seorang provokator deh (memang provokator ada jobdesc-nya ya?)
Kok bisa disebut provokator? Sewaktu masih TK, ibu guru di kelasnya menjulukinya dengan: “Si Preman Aisyiyyah” (karena sekolahnya dulu di salah satu TK Aisyiyyah Depok). Bukan predikat penghargaan, tapi julukan yang selalu ibu guru sebutkan kalau ditanya mengenai perkembangan anak yang hobi ngoceh itu.
Sebagai bapak, pemilik saham tunggal pada anak itu, saya menjadi penasaran: kenapa kok bisa disebut preman? Benar-benar penasaran. Suatu hari sebelum berangkat kerja saya sempatkan untuk mengintip aktivitasnya di kelas.
“Woalaaaah..pantesan disebut preman. Itu anak cewek tapi tingkah lakunya laki banget. Jangan-jangan tertukar nih malaikat kasih nyawa”, dalam hati saya berujar sendiri.
Tak aneh bagi saya sebagai orang tuanya. Karena memang Alma ini wajah asli wanita tapi mentalnya laki: pemberani. Dalam intipan itu saya sempat melihat adegan Alma berdiri, tolak pinggang, mata melotot, mulut maju beberapa centimeter, dan teriak ke teman laki-lakinya:
“Apa luu..apa luuu..berani ambil mainanku? Ayo sini kalau berani..”
Segera dilerai oleh gurunya. Anak laki-laki yang diajak berantem oleh Alma ternyata tak berani melawan.
“Nak..nak..kalau sifat yang jelek dari orang tua mbok ya tak usah nurun. Ini yang jelek-jeleknya malah turun semua..hahhaha”, itu kalimat yang sering saya lontarkan kalau melihat sang provokator berulah.
Cerita lain. Pada saat pemotretan untuk foto perpisahan. Ibu gurunya mengatur semua anak agar berpose manis: senyum, tak boleh berulah, pose formal. Waktu itu pakaiannya adalah baju polisi. Yang paling susah diatur ya sang provokator itu. Makanya di foto perpisahan TK, hanya Alma yang berpose bebas sendiri. Dengan kedua tangan di dada, kepala miring ke kiri, rambut ia atur sendiri biar terlihat ‘macho’, topi polisi dipake agak miring, mata melotot, mulut monyong, pokoknya pasang tampang galak banget.
Terus di mana provokatornya? Masih belum kelihatan dari deskripsi di atas? Begini..
Sifat pemberani itulah yang menjadikan Alma sebagai provokator handal. Sejak di SD ia inisiator segala macam kegiatan kelasnya. Dengan bersekolah di SD Negeri, hal inilah yang justru membuat Alma semakin tumbuh sifat provokatornya. Waktu itu kasusnya: guru jarang masuk, meskipun masuk hanya kasih tugas, menerangkan semaunya, PR banyak. Protes dong Alma.
“Apaan guru kayak gitu. Tak usah jadi guru saja kalau gitu. Ayo kita protes ke pak kepala sekolah teman-temaaan..!”, teriak sang provokator ke teman-temannya. Waktu itu Alma duduk di kelas 3. Ada beberapa teman laki-lakinya yang tidak ikut, karena mungkin takut dimarahi kalau ikut protes itu.
“Ah cemeeeen..segitu aja takut. Laki-laki kok penakut”, ledek Alma.
Pernah suatu waktu anak yang hobi renang ini pulang dengan mulut manyun. Ditanya sama ibunya: “Kenapa manyun?” Tak menjawab. Ditanya lagi, tetap tak menjawab. Cara ampuh yang bisa membuat dia bicara hanya satu: makanan. Ya, makanan. Sang provokator sangat doyan makan. Setelah makan barulah ia cerita. Ia kesal teman-temannya nyontek pada saat ulangan. Ia sendiri yang tidak nyontek. Karena dari sejak awal saya sebagai bapak bertitah padanya:
“Daripada nilai jelek dapat nyontek, ya mending nilai bagus dan tidak nyontek”
Proteslah dia: “Mending nilai jelek tapi tidak nyontek kali?”
“Itu sih biasa. Kalau tidak nyontek dan nilai kamu jelek berarti kamu tidak belajar. Alasan saja nanti: gapapa nilai jelek yang penting gak nyontek. Nggak bisa. Tidak nyontek itu wajib, nilai bagus juga harus”, jelas saya.
“Yang penting hidup itu jujur. Kalau dapat nilai bagus karena tidak jujur nilainya percuma”, prinsip ini yang terus ditanamkan padanya.
Nah, karena ia kesal banyak teman-temannya yang nyontek, ia laporkan hal itu ke gurunya. Bahwa si A, si B, si C, si D..dan banyak lagi nama-nama temannya yang ia laporkan. Segera bisa ditebak apa yang terjadi. Jelas: dimusuhi oleh teman-temannya. Inilah yang membuat dia kesal. Dibiarkan saja sama saya sih. Toh itu proses dirinya untuk belajar. Terbukti, karena ia mudah untuk bergaul, sudah akur lagi dengan teman-temannya. Dan, manfaat dari pengaduannya, pasangan duduk di kelas oleh gurunya diubah semua: agar tidak ada lagi yang nyontek.
Di dunia maya, ia pun provokator ulung. Pernah sebagai owner salah satu Fanpage Coboy Junior (CJR), karena dia memang sangat ngefans CJR. Biarkan saja, toh saya jadi yakin: bahwa dia secara orientasi seksual berarti normal. Wajar anak cewek suka band cowok.
Fanpage yang ia bikin banyak penggemar, baru 2 bulan sudah mencapai 7000 likes. Karena itu tadi: jiwa pengerah massanya selalu muncul, baik di dunia nyata maupun di dunia maya. Sebagai orang tua, saya selalu meluangkan waktu untuk memantau apa saja aktivitasnya di dunia maya. Sering nyengir-nyengir sendiri karena melihat tingkah dan celotehannya di status FB maupun di FP-nya. Patut saya acungkan jempol pada caranya mempersuasi orang-orang untuk me-like fanpage miliknya.
“CJR is the best deh.. Ayo siapa yang suka CJR like FP CJR ini dan ajak teman-temanmu yaaa..jangan biarkan kalah oleh FP girl band-girl band yang nyanyinya cuma lipsing..”, tulisnya.
Lihat status itu. Ia mencoba mempersuasi massa dengan cara melemparkan konflik: jatuhkan dulu lawan-lawannya kemudian tarik orang ke tujuan. Provokator banget. Responnya sudah jelas: pro-kontra. Pokoknya rame banget di kolom komentarnya. Anak-anak ABG umur baru belasan ngomongnya sering tidak pakai saringan, tapi saya lihat sang provokator ini kalaupun ada yang menyerang dirinya di kolom komentar, dijawab tidak dengan arogan. Meskipun setelah ia jawab, pasti di depan layar komputer mulutnya manyun, ngoceh-ngoceh ke ibunya. Tipikal cewek.
Namun tragedi datang pada Fanpage itu. Waktu itu sang provokator sudah duduk di kelas enam. Suatu hari ia nangis. Ditanya sama ibunya. Dengan terisak-isak ia menjelaskan:
“Itu FP CJR-ku dicuri orang”.
“Lho kok bisa. Emang kenapa?”, tanya ibunya.
“Ga tahu. Aku ownernya malah ditendang dari admin”.
Sang provokator terus nangis dan sampai sore wajahnya cemberut. Hingga sepulang saya kerja, masih saja pasang muka kusut. Kemudian ditanya kenapa dia begitu. Diceritakanlah oleh ibunya.
“Hahahahaa..selamat datang di dunia yang keras nak”, ujar saya singkat sambil mengelus rambutnya.
“Iiihh bukannya dibantuin lihat atau balikin dia supaya bisa masuk lagi ke FP-nya, ini malah diketawain”, ibunya kesal juga.
“Lho biar dia belajar bahwa merekrut orang sebagai admin di FP atau di manapun tidak boleh sembarangan. Kalau yang sudah ya sudah saja. Toh cuma Fanpage doang”, sambil saya melirik ke arah sang provokator yang makin cemberut.
Ternyata betul. Beberapa hari kemudian ia bikin lagi beberapa Fanpage baik tentang CJR maupun yang lain. Sejak peristiwa itu sampai sekarang belum ada lagi terlihat keluhan mengenai FP-nya. Tak tahu juga sih, apa dia mulai belajar bagaimana merekrut orang sebagai partner atau tak mau lagi bilang karena seakan tak dibela. Namun di saat saya cek aktivitasnya di papan dashboard admin salah satu FP-nya (akun FB miliknya dulu saya yang bikin, jadi paswordnya tahu), ia kini lebih men-drive para partnernya dengan tegas.
Itu beberapa kelakuan provokatifnya. Lalu, tibalah suatu hari yang mencengangkan. Tak lama setelah hari kelulusan, aktivitasnya sehari-hari selain main sama adiknya, Nadra Zaki Saputra, seringnya nongkrong di depan monitor komputer.
Suatu hari di saat sedang cek FB, HP sang provokator berbunyi. Segera diangkat:
“Saya dari program Rangking 1 Tr***TV. Bisa saya bicara agak lama? Ibunya ada?”, ujar seseorang di seberang sana. Segera ia berikan HP itu ke ibunya.
“Iya bu, ini anak ibu, Alma Zahra Saputra pernah apply online mendaftarkan kelasnya untuk ikut acara Rangking 1. Daftarnya sih sudah sejak Januari lalu. Tapi pas Juni saya telepon, tak ada yang angkat. Sekarang saya telepon lagi untuk konfirmasi kesiapan mereka”, jelas orang yang menelepon.
Ibunya panik, tergopoh-gopoh, senang campur tak percaya ditelpon oleh Tr***TV. Ternyata oh ternyata sang provokator “berulah” lagi: berinisiatif sendiri mendaftarkan kelasnya ikut program edukasi di TV. Tanpa kasih tahu orang tua. Murni inisiatif sendiri. Gurunya pun tidak tahu dan tidak pernah memerintah. Segera saya cek nomor telponnya, benar bukan penipuan. Kasak-kusuk pun dilakukan: Sang provokator segera menghubungi teman-temannya, dan ibunya menghubungi guru sekolah.
Bukan soal acara TV-nya sebenarnya. Masuk TV bagi saya sebagai orang tua bukan prestasi yang “sesuatu banget” hanya “sesuatu saja”. Tapi effort dan inisiatifnya itu yang perlu diapresiasi. “Memprovokasi” dan mengerahkan massa, kasak-kusuk untuk suatu tujuan adalah talenta yang juga harus ada di dunia ini. Setiap anak punya bakat masing-masing. Tinggal orang tua yang harus mengarahkan dan memantaunya.
Untuk anakku tercinta, “Tetaplah sebagai sang “provokator” nak, we proud of you..!”.**[harjasaputra]