Ini kisah perjalanan yang unik. Bukan hanya terjadi pada Sabtu dan Minggu pekan kemarin (24-25/8) sebenarnya, tapi sudah sering terjadi. Hanya, pekan kemarin komposisinya mantap: berlima dalam satu mobil dengan empat keyakinan berbeda. Dua orang sunni, satu orang syiah, satu orang liberal, dan satu orang katolik (nama agama/keyakinan sengaja tidak diberikan huruf kapital untuk menunjukkan bahwa agama dalam hal tertentu tidak layak untuk ditonjolkan, yang layak dibesarkan adalah persatuan). Biasanya komposisinya tiga saja: sunni, syiah, dan liberal. Tiga keyakinan saja sebetulnya layak untuk diceritakan apalagi ini ditambah lagi satu lagi keyakinan yang berbeda.
Ceritanya, kelima orang ini berangkat ke Bandung untuk satu tujuan: pekerjaan yang kebetulan terkait dengan hobi mereka berlima, yaitu memotret. Awalnya mau menggunakan dua mobil, tapi biar seru pakai satu mobil saja. Bawaan peralatan di bagasi luar biasa penuh, bahkan jika ditotal-total harga peralatan yang dibawa setara dengan harga mobilnya.
Sepanjang perjalanan hingga kembali lagi ke Jakarta saling ledek masalah keyakinan sudah biasa, tak ada tendensi apa-apa, bahkan dibarengi ketawa-ketiwi. Saling ledek yang sering terjadi adalah pada saat makan. Si syiah jadi ajang bully:
“Dasar syiah, ini ayam tidak bersisik lho. Kok ente makan juga. Katanya yang tidak bersisik haram”, ledek salah seorang sunni ke si syiah.
“Endaaasmu itu lho..dasar sunni. Ayam bukan hewan yang hidup di air woi”, jawab si syiah disambut dengan ketawa ngakak dari teman-teman lain yang mendengar. Karena memang dalam faham syiah setiap hewan yang hidup di air dan tidak bersisik adalah haram, seperti lele, kerang, cumi, belut, patin, sotong, dan binatang air tidak bersisik lainnya.
Beda lagi jika si liberal sudah mengoceh. Semua hal-hal sakral yang diagungkan dari doktrin sunni, syiah, maupun katolik bisa diotak-atik tanpa tedeng aling-aling. Bagi yang baru mendengar mungkin sudah kebakaran jenggot, akan ngamuk seketika, tapi karena sudah saling memahami karakter masing-masing, ditanggapi biasa saja. Misalnya celotehan:
“Tuhan itu maha usil kok, lihat saja sudah tahu manusia itu sifatnya suka menumpahkan darah, malaikat juga sudah memberikan masukan kepada Tuhan, tapi Tuhan ngeyel. Sudahlah kalian tahu apa sih, Ane lebih tahu dari kalian, kata Tuhan. Ya jadilah seperti sekarang”.
“Nabi Muhammad itu politiknya pintar. Dia memproklamasikan diri sebagai nabi terakhir. Jadi kan agamanya banyak yang ngikuti tuh”, semua yang muslim diam.
Namun di saat ia selesai mengatakan itu dan menirukan ucapan, “Sodara..sodara..”, dengan logat pendeta batak yang sering muncul di televisi. Sontak disambut tawa baik yang sunni, syiah, maupun katolik.
Kesamaan lainnya di antara orang berlima ini selain bisa mengerti atas perbedaan keyakinan mereka, adalah di saat di jalan berdiri wanita cantik. Tanpa diperintah kaca mobil otomatis dibuka dan semua menoleh. “Woalaah cantik banget ciiiin…”, ujar mereka. Hahhaa..ternyata kalau dalam selera wanita semuanya sama.
Sepanjang jalan dari Jakarta hingga Bandung topik pembicaraan beragam, membicarakan banyak hal, tidak ada itu debat-debatan hingga adu mulut meskipun tentang masalah agama. Semua dibikin fun dan simpel saja. Toh kalau ngotot juga tidak akan membawa kebahagiaan.
“Coba ya bayangkan pagi ini saya sudah kesal sama istri. Dia sekarang lagi hobi pengajian-pengajian nggak jelas gitu. Dia bilang senang karena didatangi ustadz kondang ini, ustadz itu. Tak mau juga dikasih tahu bahwa ustadz itu lagi ada masalah”, gerutu si liberal.
“Ah itu karena sampean lagi jauh-jauhan. Yang satu di Jawa yang satu di Jakarta. Itu hanya kangen aja sebenarnya”, hibur si syiah.
“Tapi kan kalau saya ke sana mau kerja apa”, jawab si liberal.
“Ya berarti masalahnya ada di dirimu tho. Bener gak sunni?”, jawab si syiah sambil melirik si sunni. Ditanggapi dengan tertawa oleh si liberal.
Tiba giliran si katolik yang kena bully oleh si liberal dan yang lain. Sambil menghadap ke arahnya, si liberal bilang:
“Liat tuh temen kita yang katolik satu ini. Dia juga liberal sebenarnya. Coba tanya sudah berapa lama tidak ke gereja”, ditanggapi oleh si katolik dan lainnya dengan tertawa.
“Oh dia beda mungkin katoliknya. Sudah melewati masa-masa itu. Kalau di Jawanya mungkin aliran manunggaling kawu..kawu..”
“Hallah apaan ngomong aja belepotan. Dasar syiah”, ledek si sunni dan liberal ke syiah yang bicara belum selesai dan lupa istilah jawa yang hendak ia sampaikan.
“Iya itu dah pokoknya..hahhaa”, bela si syiah.
Di saat bekerja, meskipun di jalan sudah ledek-ledekan tak karuan dengan saling mem-bully, semua kompak. Pekerjaan dapat diselesaikan dengan baik. Pembagian tugas diarahkan oleh si liberal karena memang sudah sangat menguasai bidangnya. Yang lain manut, tak ada pikiran juga misalnya tidak mau diperintah-perintah oleh si liberal karena keyakinannya beda. Tidak. Mungkin ini bukti bahwa, “hanya hobi atau pekerjaan yang bisa menyatukan manusia”.
Di saat pulang ke Jakarta, berlima menyempatkan diri mencicipi perasan susu murni di kawasan Lembang. Kembali si sunni berulah:
“Susu kan diperas dari sapi yang tidak bersisik. Ente nggak boleh minum berarti”, ujar si sunni dengan tatapan meledek.
“Tak jitak nih”, jawab si syiah sambil berdiri dan menempelkan tangan di kepala si sunni tapi ditepis. Satu lelucon yang selalu diulang-ulang dan memecahkan tawa dari yang lain.
Satu hal yang layak dicermati dari kenyataan keragaman keyakinan meskipun hanya dari lima orang ini adalah, sebetulnya semua kita adalah minoritas. Yang sunni meskipun secara jumlah adalah dua orang, tapi kalau dibandingkan tiga orang lainnya tetap minoritas. Coba kalau misalnya yang sunni ngeyel tentu jadi ajang bully juga oleh ketiga orang itu. Yang syiah, liberal, dan katolik juga minoritas: sama-sama satu orang dibandingkan sunni yang dua orang. Jika tidak bersatu tentu jadi ajang bully yang sunni.
Sebetulnya ini adalah gambaran nyata dari masyarakat Indonesia. Di mana seharusnya yang berbeda keyakinan itu harus bersatu bukan justru berpecah belah, karena dengan bersatu dan rukun, toleransi dikedepankan, bukan hanya kuat secara jumlah tapi juga bisa bersama-sama mengerjakan hal dalam hidup: bekerja dan mengabdi untuk kemanusiaan yang nilainya jauh lebih penting daripada mengedepankan perbedaan. Perbedaan itu pasti, rukun itu pilihan.**[harjasaputra]