DPR selalu menjadi sorotan, bahkan sering menjadi newsmaker. Bisa berupa good news, bisa juga berupa bad news. Namun, memang yang banyak dimunculkan adalah sisi bad news, karena mungkin media menganggapnya sebagai berita “seksi”. Dengan kata lain, bad news is good news, good news is bad news.
Tulisan ini tidak bermaksud menampilkan sisi baik atau sisi jelek dari DPR. Tulisan ini hanya ingin menggambarkan sisi lain dari DPR yang–menurut penulis–jarang dimuat di media. Diambil dari pengalaman saya sebagai Tenaga Ahli DPR selama hampir 2 tahun.
Pada saat masuk komplek DPR di senayan baik melalui pintu depan (jalan Gatot Subroto) maupun pintu belakang (berhadapan dengan lapangan tembak Senayan) penjagaan sangat ketat. Mobil yang masuk, kecuali mobil yang terdapat logo Anggota DPR diperiksa dengan metal detector.
Area parkir mobil untuk tamu terpisah dari area mobil anggota dewan maupun area mobil staf. Pengamanan berlapis dari gerbang masuk sampai setiap lantai gedung. Tetapi sebetulnya keamanan di wilayah DPR sangat rentan. Pemeriksaan tas pada saat masuk ruangan terkesan formalitas. Karena ada pintu-pintu yang bisa semua orang masuk tanpa melewati pemeriksaan.
Contohnya di gedung Nusantara II. Ada Lift dari arah parkiran basement samping gedung Yankes yang tidak melewati pemeriksaan. Ada juga pintu darurat yang tembusnya ke Nusantara I dan Nusantara II yang tidak melewati pemeriksaan.
Areal parkir selalu penuh. Parkir khusus anggota DPR berada di basement Nusantara I dan belakang Nusantara II. Umumnya dipenuhi mobil-mobil mewah. Mobil penulis, Daihatsu Xenia, jelas tidak bisa masuk ke sana. Karena dari mobilnya saja sudah ketahuan bahwa yang masuk bukan anggota. Pasti langsung distop.
Perjuangan dimulai. Untuk parkir, penulis sering menggunakan selasar di depan gedung Nusantara I (samping lapangan sepak bola) yang dipagari oleh besi-besi pembatas. Resikonya mobil kepanasan dan kehujanan, tapi saya pikir: “Biarlah hanya mobil, memang tugasnya untuk panas dan hujan”.
Ruangan kantor saya termasuk di lantai teratas, di lantai 21 (jumlah lantai ada 23 lantai). Pada pagi hari jam 09.00-10.00 pemandangan rutin antrian untuk mendapatkan lift adalah hal biasa yang sering terjadi. Lift untuk anggota dan staf/tamu dipisah. Lift anggota DPR berjumlah 4 lift. Staf/tamu tidak boleh memasuki ruang lift khusus Anggota.
Lift untuk Staf/Tamu ada 3, dan lift untuk barang ada 1. Perbandingan jumlah anggota (560 orang) dengan staf dan tamu jelas lebih banyak staf dan tamu. Tetapi entah apa pertimbanganya, lift untuk anggota lebih banyak dibanding untuk staf dan tamu.
Satu orang anggota minimal memiliki 2 orang staf (1 Asisten Pribadi dan 1 Tenaga Ahli), bahkan sejak Januari 2011 sejak penambahan Tenaga Ahli untuk masing-masing anggota menjadi 2 orang, maka tiap anggota memiliki 3 orang staf. Maka setiap hari di gedung Nusantara 1 ada 1680 orang yang lalu lalang di situ. Itu belum termasuk staf PNS. Belum termasuk tamu-tamu yang setiap hari banyak berdatangan dari berbagai daerah.
Apalagi sejak tahun 2009 hingga 2014, Tenaga Ahli Anggota minimal berjumlah 5 orang dan staf administrasi 2 orang, sehingga satu orang anggota memiliki minimal staf 7 orang.
Gedung Nusantara 1 dibagi-bagi berdasarkan fraksi:
– Lantai 1-2 untuk ruang rapat, Pusat Data dan IT, Tenaga Ahli Fraksi, dan Perpustakaan.
– Lantai 3 – 5 dihuni oleh anggota dari PKS.
– Lantai 6-8 dihuni oleh Fraksi PDIP.
– Lantai 9-10 dihuni oleh Fraksi Demokrat.
– Lantai 11-14 dihuni oleh anggota Fraksi Golkar.
– Lantai 15 dihuni oleh PPP.
– Lantai 16 dihuni oleh Haura.
– Lantai 17 dihuni oleh Gerindra.
– Lantai 18 dihuni oleh PKB.
– Lantai 19-20 dihuni oleh Fraksi PAN.
– Lantai 21-23 dihuni oleh Fraksi Demokrat (khusus lantai 23 selain oleh Fraksi Demokrat juga oleh teknisi lift).
Berbagai macam orang dari jenis suku ada di DPR. DPR adalah miniatur Indonesia, karena tempat berkumpul wakil-wakil rakyat dari berbagai daerah di Indonesia. Berbagai kepentingan dari tamu yang datang ke DPR pun beragam.
Sisi lain dari DPR yang tak kalah menarik adalah banyaknya tamu “yang tidak jelas”. Sering mengaku sebagai wartawan, atau istilah yang sering digunakan “wartawan bodong” atau “wartawan bodrex”.
Mereka seakan terorganisir. Setiap hari keliling ke tiap ruang anggota, alasannya wawancara tetapi setelah ketemu bukannya wawancara tapi meminta sejumlah uang dengan alasan keluarganya kecelakaan, biaya anak, biaya tiket pulang kampung, dan alasan-alasan lain.
Kalau orang yang benar-benar membutuhkan tidak ada masalah, sering dibantu juga, karena tugas Anggota Dewan adalah untuk rakyat. Tetapi, orang tersebut mangkal setiap hari di DPR. Yang tadinya minta uang tiket untuk pulang tetapi besoknya saya melihat masih ada berkeliaran di DPR.
Saya baru tahu kalau ada yang seperti setelah 6 bulan bekerja. Awalnya semua dilayani dengan tanpa curiga apapun. Pernah terjadi ada orang datang dan mengaku ibunya meninggal dan butuh untuk uang tiket pulang.
Kontan saya laporkan ke bos, dan dia dapat bantuan sesuai dengan permintaannya. Tetapi besoknya bertemu di lantai bawah, saya tanya kok belum pulang, dia malah langsung bergegas pergi.
Yang terakhir ini yang menarik. Pemandangan indah wanita-wanita seksi selalu ada di mana-mana. Termasuk di DPR. Aspri (asisten pribadi) dari anggota dewan atau tamu-tamu yang berkunjung tak jarang yang berpakaian minim. Kalau aspri, mungkin motifnya untuk PR kalau ada tamu-tamu penting ke ruangan. Tapi kalau tamu-tamu yang berpakaian seksi saya tidak tahu apa tujuannya.
Daya tarik wanita sering menjadi alat ampuh untuk proses komunikasi yang lebih baik. Bisa saja saya salah dalam menilai standar keseksian wanita, tapi itulah yang ada. Persepsi orang bisa macam-macam, ini negara demokrasi. Tidak bisa juga kita menuduh tanpa bukti. Prinsipnya: “katakan yang benar, meskipun tidak semua hal harus dikatakan”.** [harja saputra]
Tulisan ini semula dimuat di Kompasiana: http://politik.kompasiana.com/2011/05/26/sisi-lain-dpr/