Pertanyaan perlu atau tidaknya negara mengurusi masalah perhotelan mengemuka pada Rapat Dengar Pendapat Komisi VI DPR dengan Deputi Bidang Usaha Jasa Kementerian BUMN dan BUMN Perhotelan dan Wisata: PT Hotel Indonesia Natour (HIN), PT Taman Wisata Candi Borobudur Prambanan dan Ratu Boko dan PT Pengembangan Pariwisata Bali (Bali Tourism Development Corporation), Selasa (28/06/2011).
Dari paparan yang disampaikan oleh Deputi Bidang Usaha Jasa, Parikesit Suprapto, diperoleh informasi bahwa untuk PT TWC Borobudur tidak ditarik dividen tetapi diserahkan ke kementerian pariwisata untuk maintenance candi. Adapun BTDC memiliki proyeksi strategis di tahun 2011 dan 2012 untuk fokus pada proyek wisata di Lombok. Hal ini karena di Nusa Dua Bali sudah penuh dan tidak mungkin lagi dikembangkan. BTDC memiliki lahan 1035 hektar di Lombok Tengah untuk pengembangan wisata Mandalika Resort.
Hal lainnya adalah akan dilakukan holding antara BTDC dan PT HIN untuk sinergitas perusahaan dan untuk meningkatkan kinerja.
“BTDC dan PT HIN akan dilakukan holding pd tahun 2012 namun akan dilakukan kajian terlebih dahulu”, ungkap Parikesit.
PT HIN, sebagai perusahaan patungan antara PT Hotel Indonesia (HI) yang 100% sahamnya dipegang oleh Pemerintah RI bekerjasama dengan PT Natour tahun 2009 sehingga saat ini menjadi PT HIN. Perusahaan telah melakukan BOT (Build, Operate & Transfer) dengan Kempinski untuk pengembangan Grand Indonesia di HI selama 30 tahun. Strategi lainnya adalah apa yang disebut dengan strategi quick winning, yaitu dengan menciptakan iklim organisasi yang sehat, fokus pada pencapaian tujuan perusahaan.
Pertanyaan apakah negara masih perlu mengurusi hotel muncul pada sesi pertanyaan para Anggota DPR Komisi VI. Dimulai dari Nasril Bahar (F-PAN), ia menanyakan:
“Apakah negara masih harus mengurusi masalah perhotelan? Banyak aset negara saat ini yang dijadikan sarana hotel tetapi tidak jelas penggunaannya. Kita harus mengkaji lebih dalam manfaat dan ruginya atas masalah ini. Berapa keuntungan negara dari bisnis hotel ini, seperti yang dimiliki oleh PT HIN, yang akan dijadikan kesimpulan apakah negara akan mengurusi hotel ataukah tidak”, ujar Nasril Bahar.
“Menurut saya negara tidak perlu mengurusi hotel, cukup swasta. Karena baik dividen maupun masalah pajaknya tidak jelas. Contohnya BOT Grand Indonesia (30 thn), apa yang akan didapat oleh negara setelah 30 tahun dan bagaimana jika ada opsi perpanjangan BOT. Jangan sampai negara dipermainkan untuk kepentingan asing atau pihak tertentu”, tambah Nasril.
Pendapat Nasril Bahar tersebut diperkuat oleh Ferrari Romawi (F-PD). Ia mengungkapkan mengenai perlunya pertimbangan sampai sejauh mana pemrintah campur tangan pada bisnis hotel ini, apakah sebatas regulator, operator, atau kedua-duanya.
Ferrari menekankan pada pihak PT HIN untuk meninjau ulang perjanjian dengan pihak Kempinski. Karena menurutnya, Presiden sudah menginstruksikan dalam pidatonya pada tanggal 1 Juni di gedung MPR, perjanjian-perjanjian dengan pihak asing yang dirasakan merugikan harus ditinjau ulang.
“Presiden saja sudah menginstruksikan demikian, BUMN sebagai agen pelaksana kebijakan harusnya mengikuti instruksi itu. Apalagi sekarang ada informasi perjanjian BOT-nya sudah diperpanjang 20 tahun menjadi 50 tahun. Di forum ini, saya meminta data resmi perjanjian BOT dengan pihak Kempinski sehingga bisa dijadikan bahan pertimbangan kami ke depannya”, tegas Ferrari.
Berbeda dengan pendapat Azam Natawijaya (F-PD) yang lebih condong pendapatnya untuk tidak usah lagi mempermasalahkan perlu atau tidaknya negara mengurusi perhotelan, karena toh perusahaan-perusahaannya sudah terbentuk dan ada di depan mata. Yang harus dipersoalkan adalah tata kelolanya. Misalnya masalah aset, karena itu aset negara, harus dipertanggung jawabkan secara benar. Dalam laporan keuangan yang disampaikan, aset di wilayah Thamrin pasti harganya sangat tinggi sementara yang dilaporkan sangat minim.
Sementara itu, Abdurrahman Abdullah (F-PD) lebih menyoroti pada kinerja. Abdurrahman di antaranya menyoroti mengenai tidak logisnya data-data yang disampaikan kepada DPR. PT HIN, misalnya, total jumlah hotel dari hasil warisan (sebelum bergabungdengan PT Natour), HI memiliki 6 hotel dan PT Natur 10 hotel, tetapi setelah bergabung disebutkan hanya memiliki 12 hotel, berarti ada 4 hotel yang sudah hilang, ke mana aset-aset ini?
“Jika semangat menjual aset itu tidak perlu diapresiasi. Dari data yang disampaikan banyak yang tidak logis, misalnya pada tahun sebelumnya aset naik, namun di tahun setelahnya malah asetnya turun. Ke manakah aset-aset itu?”, jelas Abdurrahman.
Abdurrahman juga mendukung pendapat anggota lain agar PT HIN menyampaikan data BOT ke DPR untuk dianalisis. Selain itu, ia juga memberikan saran kepada PT TWC Borobudur, untuk meningkatkan citranya. Terutama dalam masalah penertiban pedagang asongan. Bukan artinya tidak boleh ada pedagan asong, tetapi harus ditata agar tidak mengganggu pengunjung, apalagi mereka terkadang menawarkan dengan cara agak memaksa.
Abdurrahman menyampaikan dukungannya terhadap BTDC untuk mengembangkan wilayah Lombok sebagai dapilnya. Karena Lombok tidak kalah indah dibanding Bali, dan Lombok perlu dikembangkan agar ada pemerataan pembangunan. Namun, BTDC perlu memikirkan strategi untuk pendanaannya, sehingga tidak terjebak lagi pada BOT dengan pihak asing yang dapat merugikan. Atau, jika terpaksa dengan pihak asing, perlu dibuat mekanisme yang jelas agar asing tidak dominan.
Sukur Nababan (F-PDIP) menyampaikan hal sama, mengenai perlunya perjanjian BOT antara PT HIN dan Kempinski disampaikan ke DPR untuk dikaji. Bahkan, dia mendengar ada juga hotel di Bali yang mau di-BOT-kan. Jangan sampai terlanjur sudah terjadi baru dikaji ulang. Sebaiknya dari sekarang itu disampaikan.
“Baru dalam masalah perhotelan ini partai oposisi sepakat dengan pendapat anggota dari partai koalisi”, gurau Sukur.
Emil Abeng (F-PG) menyampaikan kritiknya yang pedas bahwa hotel yang diselenggarakan oleh PT HIN, harus jujur kita akui servicenya mengecewakan, berbeda jika dibandingkan dengan hotel lain. Emil menyampaikan banyak pertanyaan mendasar, di antaranya ia mempertahankan apa saja promosi yang dilakukan PT HIN karena jarang ditemui ada brosur di pesawat atau iklan yang mempromosikan hotel HIN.
Emil pun menekankan dukungannya pada BTDC untuk mengembangkan wilayah Lombok. BTDC perlu membuat roadshow untuk menarik investor. Tetapi, ia menegaskan, perlu diprioritaskan investasi lokal daripada asing.
Berbeda dengan pendapat Chandra Tirta (F-PAN) yang malah menganjurkan PT HIN maupun BTDC untuk mempertimbangkan perlunya ikut dalam bisnis Hotel Syariah atau hotel halal, karena baru 2 perusahaan hotel yang saat ini menggeluti hotel syariah tersebut. Peluang bisnisnya sangat besar karena tidak semua orang menggunakan hotel untuk perbuatan mesum. Sehingga branding-nya bisa meningkat jika diterapkan konsep hotel halal.**[harja saputra]
Tulisan ini dimuat juga di Kompasiana: http://ekonomi.kompasiana.com/bisnis/2011/06/30/perlukah-negara-mengurusi-bisnis-perhotelan/