Tanggal 20 Juli 2011 di ruang Press Room DPR-RI digelar diskusi dengan tema: “Membongkar Motif LSM Asing Greenpeace Merusak Perekonomian Indonesia”. Pembicara pada diskusi tersebut Anggota Komisi I DPR RI Effendy Choirie, Wawan Purwanto pengamat intelijen, dan Syarif Hidyatullah (penulis buku Menguak Dusta-dusta Greenpeace).
Pada hari tersebut di ruang Komisi III di DPR ada yang lebih heboh selain diskusi tersebut, yaitu dipanggilnya Gayus Tambunan (terpidana kasus mafia pajak). Saya tidak akan mengaitkan antara diskusi tentang Greenpeace dan Gayus, yang pasti di DPR perhatian wartawan terbagi saat itu, lebih banyak yang ke ruang rapat yang menghadirkan Gayus daripada di ruang diskusi tentang Greenpeace.
Pemerhati intelijen, Wawan Purwanto, dalam diskusi itu menyebutkan bahwa Greenpeace tidak tunduk pada hukum di Indonesia. Salah satu buktinya, Greenpeace tidak pernah mendaftar, apalagi melaporkan kegiatannya ke Kesbangpol Pemprov DKI Jakarta sebagaimana diamanatkan UU No 8/1985 tentang Organisasi Kemasyarakatan.
Selain itu, menurut Wawan, demo-demo Greenpeace sifatnya menekan. Kalau ini terus menerus dilakukan, berbahaya sekali sehingga harus diwaspadai. Anehnya, Greenpeace tidak pernah melakukan tekanan atau aksi yang sama terhadap PT Freeport atau PT Newmont dan sebagainya. Ini tampak sekali kalau Greenpeace memiliki standar ganda. Penuh dengan nuansa kepentingan pihak asing.
Sementara itu, Syarif Hidayatullah (penulis buku Menguak Dusta-dusta Greenpeace) menyoroti masalah banyaknya donatur di Indonesia yang menyumbang kegiatan Greenpeace. Jumlahnya mencapai 30.000 orang.
Jika tiap donatur menyumpang Rp75.000, maka Greenpeace mendapatkan dana Rp 22,5 miliar per bulan. Tapi, kata Syarid, celakanya dana tersebut justru digunakan untuk mengobok-obok kepentingan nasional. Setelah VOC dan IMF, Greenpeace merupakan model baru penjajahan asing ke Indonesia.
Effendy Choirie (Gus Choi) curiga terhadap Greenpeace sebagai jaringan LSM internasional yang memiliki kesetiaan pada lembaga donor internasional. Menurutnya, meski Greenpeace membawa isu yang seolah-olah menyelamatkan lingkungan, namun sesungguhnya mereka membawa agenda-agenda tersembunyi lain, utamanya merusak perekonomian nasional. Hal ini lebih dikarenakan Indonesia memiliki sumber daya alam melimpah yang sedang diincar negara maju.
Tekanan demi tekanan kerap dilancarkan pihak asing untuk menghancurkan perekonomian Indonesia. Kekhawatiran negara-negara maju semakin bertambah karena tahun 2030, perekonomian Indonesia diramalkan menjadi terbesar kelima di dunia (berita lengkap diskusi tersebut ada di sini dan di sini).
Kalau kita analisis, Greenpeace sebagai LSM pemerhati lingkungan berskala internasional kerap menyoroti masalah perusakan hutan dan terlibat dalam beberapa demonstrasi untuk menentang sejumlah proyek-proyek yang dianggap merusak lingkungan, misalnya demonstrasi penolakan pembangunan PLTU di Kanci Wetan, Cirebon. Anehnya, Greenpeace tidak melakukan hal yang sama pada PLTU yang dibangun oleh negara maju dengan menggunakan energi batubara Indonesia.
Greenpeace juga diduga berada di balik kebijakan moratorium pembukaan hutan primer dan lahan gambut. Hal ini dikaitkan dengan upaya untuk menekan perekonomian Indonesia, terutama untuk mengurangi ekspor CPO dan Kakao dengan cara mempersempit pertumbuhan pertanian kebun kelapa sawit dan kakao.
Dengan adanya larangan untuk membuka hutan, maka dengan sendirinya kebun-kebun sawit dan kakao tidak akan bertambah. Sebagaimana diketahui Indonesia termasuk eksportir terbesar produk kelapa sawit dunia. Hal ini jelas menjadi ancaman tersendiri bagi eksportir negara lain, terutama negara tetangga (Malaysia) dan negara-negara lain.
Berbagai produsen kelapa sawit mengadu ke DPR terkait dengan kebijakan moratorium tersebut. Karena menghambat tujuan usaha mereka. Di Komisi VI sendiri sudah dilakukan beberapa kali Rapat Dengar Pendapat dengan PTPN-PTPN produsen kelapa sawit. Sepertinya, dalam waktu dekat, moratorium tersebut akan dikaji ulang.
Moratorium itu sendiri ditetapkan diduga atas rekomendasi Greenpeace yang mengkaji perusakan hutan di Indonesia. Atas moratorium tersebut, pemerintah mendapat kompensasi dari pemerintah Norwegia sebesar 1 Milyard dollar.
Tetapi, di pihak lain, kerusakan hutan itu memang bukan isapan jempol belaka. Kompasianer, Mbak Heny misalnya, pernah memperlihatkan foto-foto kerusakan hutan di Indonesia (artikel di sini) yang diambil dari dokumentasi Greenpeace.
Bukti-bukti itulah yang menjadi senjata bagi Greenpeace untuk menekan perlunya kebijakan dalam menanggulangi deforestasi. Jadi, memang, Greenpeace dengan berbagai perspektif yang berbeda selalu mengandung dua kata kunci: udang dan musang.**[harja saputra]
Dimuat pula di Kompasiana: http://green.kompasiana.com/iklim/2011/07/21/ada-udang-dan-musang-di-balik-greenpeace/
kalo pemerintah & pengurus negara ini bener, greenpeace ga bakal repot2 masuk indonesia!!!