Kecelakaan Pesawat Merpati type MA60 asal China di Kaimana, Papua pada tanggal 7 Mei lalu mendapat perhatian khusus dari Komisi VI. Komisi VI DPR yang memiliki fungsi pengawasan pada Rabu, 18 Mei 2011 melakukan Rapat Kerja dengan Menteri BUMN, Dirut PT Merpati Nusantara Airline (MNA) dan PT Perusahaan Pengelola Aset (PPA). Selain itu, DPR juga telah membentuk Panja PMN (di antaranya adalah Merpati yang menerima PMN sebesar 510,6 M).
Dalam rapat tersebut Meneg BUMN, Mustafa Abu Bakar, mengemukakan bahwa kementerian perhubungan telah mengeluarkan sertifikasi kelayakan Pesawat Merpati MA60, tetapi kelayakan teknis operasional ada pada PT Merpati sendiri. Ia juga menyebutkan kronologis mengenai pembelian pesawat MA60 yang telah dimulai prosesnya sejak tahun 2002 sampai dengan 2010.
PT Merpati sebagai perusahaan BUMN selama beberapa tahun mengalami kerugian. Dengan kinerja laba pada tahun 2009 sebesar 16,617 Milyard dan tahun 2010 mengalami rugi sebesar 192.964 M. Hal ini dikarenakan pendapatan lebih kecil dari biaya karena alat produksi tidak mencukupi (pesawat terbatas).
Untuk itu, jelas Mustafa Abu Bakar, pada tanggal 07 Agustus 2009, rapat kabinet memutuskan untuk menyelamatkan PT MNA melalui proses restrukturisasi oleh PT PPA dan revitalisasi. Pada tahun 2010 PT MNA mengajukan Penyertaan Modal Negara (PMN) sebesar 600 Milyard dan disetujui sebesar 510,6 Milyard atas analisis dari PT PPA.
Terkait kecelakaan pesawat Merpati MA-60, Mustafa Abu Bakar menjelaskan bahwa pihaknya masih menunggu hasil penyelidikan dari KNKT. Namun, untuk para korban telah diselesaikan pemberian asuransi: untuk Penumpang (50 juta dari Jasa raharja dan 750 juta dari Jasindo). Sementara asuransi Pesawat sebesar 11,206,667 USD dan 250 juta untuk bagasi.
Pesawat MA60 telah mendapat sertifikasi dari CIIC China dan Kementerian Perhubungan RI. Harga katalog MA60 adalah 12,5-14,5 Juta USD dan harga yang disetujui oleh kedua belah pihak adalah 11,206 juta USD.
Direktur PPA yang menangani restrukturisasi PT MNA mengajukan SLA Merpati dikonversikan menjadi PMN. Karena jika tidak dikonversikan maka kinerja PT MNA lima tahun mendatang akan negatif.
Emil Abeng, Anggota DPR Fraksi Golkar, menanyakan mengenai transparansi pembelian MA60 dari China. Menurutnya, kenapa tidak membeli dari PT Dirgantara Indonesia (DI) karena secara kualitas telah memiliki standar internasional.
“PT MNA perlu didorong untuk di-switch menjadi perusahaan PSO daripada profit oriented”, ujar Emil Abeng.
Hal serupa dikemukakan oleh Iskandar Syaichu, Anggota Fraksi PPP. Ia menanyakan kenapa pemerintah tidak mengadakan pesawat dengan mensinergikan dengan PT DI, karena MA-60 hanya sertifikasi saja di China. Zimbabwe membeli 10,5 Juta USD sedangkan Indonesia membeli 11,2 Juta USD.
Lili Asjudiredja, Anggota Fraksi Golkar, menyoroti dari aspek keraguannya terhadap produk-produk China.
“Pesawat China perlu diawasi, bahkan bukan hanya pesawat tetapi semua produk-produk China. Hal ini perlu juga dilakukan pembuktian karena Mendag China dan Mendag RI pernah melakukan pertemuan resmi, perlu diteliti mengenai keterlibatan Mendag RI”, jelas Lili.
Selain itu, Lili juga menyarankan agar bantuan kepada Merpati perlu ditinjau lagi, jangan sampai memberi bantuan tetapi tidak akan menghasilkan apa-apa. Karena berdasarkan laporan dari apa yang Menteri BUMN paparkan total kewajiban meningkat. Untuk itu harus dicari opsi lain dengan memberdayakan PT DI dalam pengadaan pesawat yang dibutuhkan Merpati.
“Kepercayaan publik terhadap Merpati saat ini menurun, publik pikir-pikir lagi untuk menaiki pesawat produk China. Lebih baik naik CN 235 produk dalam negeri yang terbukti tidak pernah jatuh”, tambah Lili.
Miranti Dewiningsih, Anggota Fraksi PKB, menyebutkan bahwa masalah PT MNA sangat kompleks, apakah harus ditutup atau diteruskan. Jika ditutup untuk wilayah Timur bagaimana. Tetapi jika dibantu ada catatan setiap Merpati dibantu maka akan kembali ke titik nol lagi. Perlu penyelidikan, karena dari data yang dimilikinya kebutuhan rincian penggunaan dari pinjaman modal kerja yang dipaparkan oleh PPA sebesar 310 M berbeda dengan yang diajukan oleh PT MNA.
Pendapat tersebut diperkuat oleh Refrizal, Anggota Fraksi PKS. Ia meragukan pembelian MA60 adalah bagian dari bisnis plan PT MNA.
“Pengunduran diri Dirut Merpati yang lama saya dengar karena pemerintah memaksakan kehendak dalam pembelian MA60”, kata Refrizal.
Erik Satryawardhana, Anggota Fraksi Hanura, menguatkan pendapat dari anggota-anggota sebelumnya. Ia mengatakan bahwa tahun 2006 Dirut Merpati pernah mengajukan bisnis plan akan memaksimalkan potensi lokal dengan melibatkan PT DI. Namun, kenapa Merpati tidak memasukkan CN 235 buatan PT DI sebagai perbandingan dari pesawat yang akan dibeli oleh Merpati.
“Pada saat Merpati melakukan penandatanganan kontrak dengan Xian, siapa yang memberikan izin terhadap hal itu? Kalau kementerian BUMN memberikan izin, apa pertimbangannya. Karena tidak sesuai dengan bisnis plan. Untuk itu, restrukturisasi PT MNA harus dihentikan dahulu. Usut tuntas mengenai persyaratan teknis MA60, apakah memang betul merupakan pilihan optimal dari pesawat sekelasnya”, ujar Erik.
Erik dalam rapat tersebut juga mengemukakan mengenai perlunya pembentukan Panitia Kerja (Panja) khusus Merpati. Pendapat ini juga didukung oleh Puan Maharani (politisi PDIP) dan Nurdin Tampubolon (Hanura).
Berbeda dengan pendapat Ida Ria, Fraksi Partai Demokrat, meskipun ia prihatin dengan kejadian yang menimpa Merpati, tetapi ia masih berharap banyak agar PT MNA bisa maju lagi ke depan. Namun menurutnya perlu menjadi catatan mengenai pembelian MA60, apa dasar dari pembelian ini.
Sukur Nababan memberikan pendapatnya. Polemik bangsa ini adalah kita memiliki pabrik pesawat tetapi tidak digunakan malah membeli dari asing yang belum tentu berkualitas. Terlalu banyak isu-isu yang beredar mengenai proses pembelian pesawat tersebut, seperti tidak memiliki sertifikasi FAA dan pada tahun 2009 pernah terjadi keretakan. Pesawat MA 60 yang kita beli 15, sementara di seluruh dunia yang terjual 35. Awalnya pembelian adalah B2B (Business to business) tetapi kemudian menjadi G2G (Government to government).
Daniel Tobing, Fraksi Gerindra, mengkritik mengenai kronologis pembelian pesawat MA60. Menurutnya ada keanehan dalam kronologis tersebut. Misalnya, MoU dilakukan terlebih dahulu baru dilakukan sewa. Padahal logika bisnis harusnya sewa dahulu, dicoba dulu, baru dilakukan MoU. Selain itu, sertifikasi keluar tahun 2006 tetapi tahun 2010 kementerian BUMN mengeluarkan perintah untuk melakukan inspeksi. Dengan demikian sertifikasi duluan baru inspeksi.
“14 Pesawat MA60 harus diperiksa ulang karena telah lama diparkir selama 2 tahun sebelum dikirim ke Indonesia”, ujar Daniel.
Abdurrahman Abdullah, Fraksi Demokrat, mengatakan bahwa dengan adanya Panja PMN yang telah dibentuk maka permasalahan-permasalahan yang spesifik dapat diperjelas.
“Adapun mengenai penyehatan PT MNA telah dilakukan sejak tahun 2002, sampai kemudian dirutnya berganti, yang kemudian ditunjuk PPA untuk penyehatan MNA pada tahun 2008 sesuai dengan keputusan RUPS. Tetapi “dokter” yang ditunjuk tidak memiliki kapasitas dalam menyehatkan Merpati. Contohnya, tidak dibuat bisnis plan yang bersifat jangka panjang. Dan itu diakui oleh Dirut PPA dan Merpati dalam paparannya. Contoh lain, biaya yang tadi disajikan hanya 310 M itu diperuntukkan hanya untuk biaya operasional”, ungkap Abdurrahman.
Abdurrahman juga menekankan bahwa PPA seharusnya fokus pada penyehatan BUMN, bukan baru 1 tahun berdiri sudah mendirikan anak perusahaan. Merpati harus disehatkan secara tuntas karena untuk kesejahteraan masyarakat khususnya wilayah Timur.
“Permasalahan lain adalah tidak adanya efisiensi. Terbukti dari 8 lessor yang ada, hutang terbanyak adalah kepada Aero Turbin. PT MNA sudah menyewa armada namun harus sewa engine lagi. Dengan demikian harus dibuka kenapa biaya untuk penyewaan engine ini sangat besar. Ini tidak efisien”, tambahnya.
“Jangan tergesa-gesa menjudge, kita harus memilah-milah permasalahan. Dari kronologis yang ada, maka harus dipilah apakah mau membahas masalah prosedur, teknis, atau pembeliannya, sehingga kalau tidak dipilah maka akan merugikan merpati. Karena dari kronologis bukan semuanya Merpati yang salah, tetapi G2G bukan B2B. Maka, perlu dipercepat dilakukan kajian terhadap apa yang ada di kotak hitam oleh KNKT sehingga lebih jelas permasalahannya”, ungkap Abdurrahman.
Puan Maharani, Fraksi PDIP, mengibaratkan PT Merpati seperti burung yang kedua sayapnya patah. Publik sudah ragu, secara keuangan pun rugi terus. Hal ini bertolak belakang dengan target Merpati yang menargetkan laba sebesar 40 M. Ini hanya mimpi-mimpi saja. Merpati kalah dengan Susi Air yang bisa menjangkau daerah-daerah terpencil dengan nyaman dan tepat waktu. Keberhasilan Sushi Air kuncinya adalah efisiensi.
“3 hal yang harus diterapkan oleh operator transportasi publik adalah 3S: Safety, Safety and Safety. Untuk itu perlu dilakukan Pansus gabungan mengenai Merpati antara Komisi 6, 11, dan 5”, ujar Puan.
Unes al-Hisyam, Fraksi PKB, mengatakan bahwa ada 3 hal yang penting: sinergi BUMN, kelayakan terbang, dan harga pesawat. Sebetulnya yang paling bertanggung jawab atas keputusan pembelian MA60 dari China itu siapa? Pesawat kita CN235 itu zerro accident (tidak pernah mengalami jatuh). Adapun mengenai kelayakan terbang, sertifikasi dari FAA diabaikan. Pada masa JK, ia menolak untuk membeli MA60, karena tidak ada sertifikasi FAA. Tetapi Menteri Perhubungan mengatakan kita tidak di Amerika tetapi di Indonesia, sehingga ada sesuatu yang disembunyikan, yang akhirnya saat ini terbongkar. Kita harus mengevaluasi masalah-masalah ini. Disinyalir ada 3 kementerian yang terkait dengan masalah ini. Ini menjadi isu liar yang harus dituntaskan. Termasuk di dalamnya kementerian BUMN dan Kementerian Perdagangan. Terdapat potensi kerugian negara yang sangat besar dari adanya permainan dalam pembelian MA60 ini.
Sementara itu, Ario Bimo mengajukan pemikiran bahwa sudah saatnya DPR dan Pemerintah merumuskan secara pasti terkait positioning Merpati. Di satu pihak, BUMN dituntut profit oriented tetapi di pihak lain Merpati adalah maskapai penerbangan perintis di daerah-daerah sehingga profit oriented sangat susah. Kita perlu mendefinisikan ulang mengenai Merpati ini, apakah tetap menjadi BUMN ataukah biarkan Merpati merugi karena berfungsi sebagai penerbangan perintis untuk masyarakat Indonesia. Komisi VI periode lalu pernah ada Panja Merpati yang intinya DPR tidak setuju terhadap pembelian MA60, hanya sewa saja. ** [harja saputra]