“Cost politics itu lebih mahal daripada money politics”. Istilah ini sering saya dengar terlontar dari para politisi di senayan. Bahkan tak hanya dari para politisi, tapi seakan sudah menjadi common sense. Banyak penulis (termasuk di Kompasiana) yang mengatakan hal serupa. “Menjadi anggota dewan itu harus berkantong tebal”, “Jangan berharap terjun ke politik kalau duit pas-pasan”. Banyak lagi ungkapan lain yang senada.
Benarkah selamanya demikian? Izinkan saya berbagi pengalaman di sini. Pengalaman yang, menurut pribadi, nanti bisa dilihat bahwa tak selamanya politik itu high cost, asal tahu kuncinya.
Saya sendiri bukan dibesarkan di keluarga politisi, kenal politik pun boleh dibilang “terpaksa”. Karena dari kecil boro-boro bercita-cita untuk mengenal panasnya politik, memikirkan saja tidak. Dunia saya sebenarnya “Dunia Kampus”, dunia akademis. Kenal politik setelah diajak oleh mantan dosen saya (DR. Abdurrahman Abdullah namanya) untuk ikut berkampanye selama 3 bulan di NTB. Kebetulan dosen saya tahun 2009 mencalonkan diri sebagai Caleg DPR-RI. Wah, nekad juga saya pikir mantan dosen saya ini. Entah mengapa beliau memilih saya untuk ikut sebagai orang yang mendampinginya selama kampanye, padahal waktu itu saya sudah pulang kampung, di Kuningan, Jawa Barat sana. Kerja di rumah, asal cukup buat makan, sudah enak. Karena biaya hidup rendah, asal mau berusaha, tak susah untuk cari makan.
Saya mengamini ajakan mantan dosen saya karena tahu kepribadian, kredibilitas, dan kapabilitas beliau sebagai orang yang memang bukan politisi an sich, tetapi sebagai pendidik (dosen) dan sebagai cendekiawan.
Setelah ditanya kenapa beliau pilih saya padahal banyak juga mantan mahasiswa lain yang bisa diajak ke panggung politik, ia mengatakan bahwa, “karena saya orang lapangan, konseptor sekaligus operator, dan selama sebagai mahasiswanya belum pernah bermasalah”. Ah, saya pikir itu terlalu mengada-ada.
Singkat kata, akhirnya saya berangkat ke NTB. Sebelum berangkat dibriefing dulu oleh Koordinator yang menjadi orang kepercayaan mantan dosen saya. “Ini, ini, itu, yang harus dikerjakan selama kampanye. Strateginya harus begini”. Papar dia. Diiyakan saja, meskipun dalam hati berujar, orang ini bukan orang lapangan, terlalu teoritis, di lapangan tak seperti itu, tak mudah diterapkan strategi yang ia bilang.
Di antaranya, di saat briefing itu, strategi utama untuk memperoleh suara banyak dan terukur adalah seperti MLM: kita rekrut tim 20 orang sebagai wakil dari tiap-tiap Kabupaten, targetnya setiap orang jangan muluk-muluk bisa rekrut 10 orang aja. Dan begitu seterusnya. Terlihat sangat logis dan sangat murah biaya. Padahal di lapangan susah untuk diterapkan. Saya yang sejak kecil sudah bergaul dengan banyak jenis orang di lapangan: di terminal, bersama petani, di pesantren, dan banyak lagi pergaulan, merasa strategi ini enak didengar tapi terlalu renyah.
Benar saja. Strategi itu setelah diuji di lapangan menjadi mentah, tak bisa diterapkan. Apa pasal? Karena susah untuk merekrut orang yang bisa dipercaya. Satu per-satu tim sukses yang dulu pernah dipilih oleh mantan dosen saya berjatuhan. Tumbang di tengah jalan. Bukan karena apa-apa, tapi saya minta untuk tidak dipakai lagi. Karena moral hazard. Minta uang terus, minta atribut kaos stiker dan segala macamnya tapi setelah saya periksa tak dibagikan sama sekali. Uang yang sudah dikeluarkan oleh mantan dosen saya pun tidak sedikit yang sudah dikasihkan ke tim suksesnya. Saya tanya, sudah keluar hampir 60 jutaan.
Sudah begini saja, ujar saya ke mantan dosen itu, ATM-nya biar saya yang pegang. Pengeluaran meskipun seribu rupiah pasti saya catat. Masalah uang biar satu pintu, jadi mudah untuk mengontrolnya. Sejak itu semua yang menyangkut uang harus berurusan dengan saya. Saya lihat dulu orang ini bisa dipercaya atau tidak. Gampang kok mengenali orang itu berbohong atau tidaknya, kalau terlalu banyak ngomong, janji punya massa ribuan, kenal dengan banyak tokoh, maka pengalaman saya waktu itu, orang itu pasti pembohong.
Strategi pun dirubah total, dari mulai pendekatan kampanye sampai dengan yang menyangkut masalah dana. Strateginya sederhana: Terjun langsung ke masyarakat, menemui mereka, mendengar keluh-kesahnya, jika ada yang bisa dibantu ya bantu tapi jangan memaksakan diri agar dipuji hingga habis-habis dengan memberi banyak. Semampunya dan pemberian yang logis saja.
Akhirnya selama 3 bulan di NTB saya dan mantan dosen yang sudah bergelar Doktor itu pun naik-turun gunung, masuk ke perkampungan, hingga tidur pun hampir setiap hari tidur di mobil. Karena jarak antar-kampung di NTB, apalagi di Pulau Sumbawa kadang sangat jauh dan ditempuh berjam-jam. Ditambah jalannya yang di banyak tempat sangat jelek.
Secara tidak langsung, strategi ini juga memiliki tujuan lain. Ini sebagai bekal untuk calon Anggota DPR, untuk melihat langsung kondisi riil masyarakat. Melihat bagaimana kenyataan di lapangan. Karena banyak hal yang harus diperbaiki di bumi nusantara ini.
Sebenarnya masyarakat tak muluk-muluk jika kita memperlakukan mereka secara benar. Masyarakat ingin didengar keluh-kesahnya, ingin dihampiri, ingin dipedulikan, dan tidak sebatas berbicara masalah uang. Ini masalah pendekatan humanis. Itu saja. Dengan hadirnya sosok calon anggota dewan, calon dewan pusat lagi, mereka berharap agar kelak bisa memberikan kontribusi ke arah kebaikan untuk daerah mereka.
Tak melulu soal uang dan uang. Dengan hadir di gubuk dan mengobrol akrab, menyapa dengan tulus, ikut terlibat dalam kegiatan sosial di lingkungan mereka, ini adalah strategi inti yang diterapkan. Dan, Alhamdulillah berhasil.
Bandingkan dengan para pesaing, baik pesaing sesama partai maupun pesain dari beda partai. Ada yang di antaranya saking jor-jorannya ia bagi-bagikan handphone. Tak tanggung-tanggung: dua karung ia bawa handphone. Belum lagi berbagai pemberian yang ia gelontorkan untuk memikat para pemilihnya. Tapi apa hasilnya? Nol besar. Orang yang punya uang banyak dan bagi-bagi 2 karung handphone itu tak berhasil. Kalah di medan perang.
Tim sukses dan dana memang penting, tapi bukan yang terpenting. Tim sukses yang paling bisa dipercaya dan terpenting adalah: jaringan keluarga. Di luar itu, fifty-fifty. Orang partai juga bisa dipercayanya: fifty-fifty. Orang partai harus didekati karena memang kita juga mengusung calon yang dari partai, dan yang utama adalah: didekati agar jangan sampai ngerecoki atau memblok usaha yang sudah dibina. Agar jangan ada konflik saja, masalah strategi kemenangan biar kami sendiri yang menentukan.
Masalah dana pun penting, tapi sama, bukan terpenting. Buktinya banyak saya dengar calon-calon lain untuk bisa lolos ke senayan ada yang habis 2 Milyar, 3 Milyar, dan banyak lagi terdengar nominal yang em-em-em. Taruhlah kita ambil rata-rata 2 M. Percaya atau tidak mantan dosen saya itu hanya habiskan dana di kisaran 15-17 persennya. Nominalnya hitung aja, berapa 15-17% dari rata-rata 2M. Laporan pengeluaran saya pegang semuanya.
Dana sebesar itu sangat kecil untuk hitungan kampanye calon dewan DPR pusat. Banyak yang tak percaya kalau saya bilang hanya habis dana segitu. Dana itu digunakan untuk macam-macam, dari mulai atribut kampanye seperti baliho, spanduk, stiker, kartu nama, iklan di radio, dan untuk sosialisasi selama terjun ke masyarakat. Misalnya datang ke masyarakat dan dijamu oleh tuan rumah, konsumsinya tentu tak elok kalau dibebankan ke tuan rumah. Ya kami ganti biaya konsumsinya. Juga untuk kegiatan sosial lain. Dengan dana yang kecil itu toh bisa dilantik juga.
Sebagai perbandingan, istri saya pernah jadi caleg juga tapi untuk DPRD tingkat dua (kabupaten). Habis dana hampir sama dengan yang dihabiskan oleh mantan dosen saya. Salahnya waktu itu saya tidak terjun langsung mengawal niat istri, karena itu niatan mertua jadi tak berani terlalu dominan. Mertua coy, jangan dilawan, nanti anaknya disuruh amandemen surat nikah bagaimana, bisa repot urusan. Namun waktu itu, istri saya tidak sukses, alias gagal jadi anggota dewan. Karena beda pendekatan.
Intinya, saya ingin mengatakan bahwa biaya politik bisa ditekan seminim mungkin dengan strategi yang tepat. Tak selamanya masyarakat money oriented, tapi juga butuh pendekatan personal. Butuh didengarkan, butuh perhatian tulus. Dan ini tetap dijaga sampai sekarang. Setiap reses, mantan dosen saya yang sekarang sudah jadi anggota DPR, tidak lupa untuk tetap turun ke masyarakat. Simpel kan?**[harjasaputra]
saya seorang caleg, dan mudah mudahan pengalaman yang saudara tulis ini bisa saya jalankan dgn baik