Rabu (09/11/2011) ada mampir di email saya satu pesan dari Hendry Kurniawan, korban penganiayaan gara-gara melaporkan ke polisi sedot pulsa yang dialaminya. Ia meminta untuk dihubungi ke nomor yang ia berikan. Rupanya ia tahu alamat email tersebut setelah membaca statement saya yang dilayangkan ke vivanews.com dan di-publish juga di Kompasiana, lalu mampir di blog pribadi yang tercantum alamat email saya di situ. Semua komentar di tulisan Kompasiana dibaca semua olehnya. Sebelumnya saya melacak dulu identitas email tersebut (pikir saya untuk jaga-jaga barangkali orang iseng yang bermaksud punya niat lain, maklum sekarang lagi banyak penipuan melalui email dengan mengatasnamakan seseorang yang kita kenal). Setelah yakin, penulis langsung menelpon ke nomor tersebut. Hampir 15 menit lebih berbincang-bincang, dan beliau bercerita banyak tentang kasus yang menimpanya.
Ia trauma karena mengalami penganiayaan fisik, kakinya retak, dan kini tak berani lagi tinggal di Bogor, ia “mengungsi” ke luar kota (tidak akan saya sebutkan di sini lokasinya untuk alasan keamanan yang bersangkutan). Selain itu, tak ada lagi teman-temannya yang berani memberikan tempat untuknya untuk sekadar berlindung atau menginap karena rata-rata takut terbawa atau didatangi oleh orang tak dikenal yang mungkin mengancam keselamatan mereka. Premanisme dan hukum di negeri ini nyaris tak bisa dibedakan. Ini pun didukung oleh pengacaranya, David L Tobing, yang menyarankan Hendry untuk mengungsi dulu ke luar kota karena alasan keamanan dirinya. Meskipun sudah mengadukan hal tersebut ke Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK), tetapi sampai saat ini belum ada jawaban. Padahal, kepolisian sudah memanggil Hendry untuk dimintai keterangan atas laporannya, tetapi masih belum bisa dipenuhi karena belum ada kepastian dari LPSK.
Hendry pun kini terpaksa keluar dari kantornya bekerja, karena perusahaan tak bisa terima karyawannya bolak-balik ke kantor polisi untuk mengurus masalah pengaduannya.
“Ibarat jatuh ketiban tangga mas saya sekarang, maksudnya untuk melawan ketidakadilan, tetapi perlakuan mereka bukannya melindungi konsumen, malah seperti ini yang saya dapatkan. Tak ada maksud untuk mencari materi dari pengaduan itu. Karena saya sangat terganggu jika ada ketidakadilan dibiarkan. Itu saja motif saya,” kata Hendry.
Sempat ada niat untuk mencabut kembali pengaduan yang telah diajukannya. Mengingat tekanan begitu kuat. Tetapi, ia urung melakukan itu, karena jika demikian berarti kalah.
Ia bahkan sudah mendatangi kantor operator untuk mencari solusi atas apa yang dialaminya. “Saking polosnya saya, setelah mengadu ke polisi mendatangi kantor operator tersebut dan menunjukkan laporannya. Maksud saya, itu dilakukan agar mereka memberikan dukungan kepada konsumennya. Tetapi tak dianggap”, tambah Hendry.
Saya, selaku koordinator konsumen ponsel Indonesia, mengatakan pada Hendry, bahwa saya sangat mendukung agar ia jangan menyurutkan langkahnya. Siap untuk memberikan dukungan. Untuk tempat berlindung saya sudah siapkan, dan tempat itu dijamin aman. Karena “sembunyi dalam terang” (apa artinya dari ini? Hanya saya yang tahu).
Saya bilang pada Hendry: “Tampillah di publik, panggilan dari media televisi yang ingin mewawancarai, penuhi saja, bila butuh pengawalan saya bisa siapkan. Kita tunjukkan pada khalayak bahwa konsumen bisa melawan. Jangan takut pada apapun karena resiko itu pasti ada”.**[harja saputra/koordinator komunitas konsumen ponsel Indonesia/VoH).