Nasional

Ngumpul, Ngopi, Ngaji: Umar Kayam dan Mudik

foto: rob januar

“Pada Lebaran pagi itu, seperti tahun-tahun sebelumnya, mereka makan hidangan khas yang dimasak eyang putri. Opor ayam, sambal goreng ati, dendeng ragi, dan lontong, beserta bubuk kedelai. Mereka makan dengan lahap karena masakan eyang memang selalu enak.Yusuf selalu senang setiap kali dia datang menginap di rumah mertua perempuannya itu. Selain dia senang dapat melepas rindunya kepada Eko, anak tunggalnya itu, dia juga senang merasa ikut dimanja dengan berbagai hidangan dan penganan oleh mertuanya. Seakan hidup, bagi mertuanya itu, hanyalah memanjakan cucu tunggal dan menantunya. Kenapa tidak, desah Yusuf. Sejak Siti, istrinya, dan jauh sebelumnya mertua laki-lakinya, meninggal, apalah kesibukan dan perhatian ibu tua itu selain tertumpu kepada cucu tunggal dan menantu yang menduda itu.”

Penggalan Cerpen karya Umar Kayam di atas menjadi pembuka acara seru di Kantor Tempo bertajuk “Ngumpul, Ngopi, Ngaji” dengan episode membincang “Mudik” khususnya dalam karya sastra Umar Kayam, Jumat malam (3/7/2015). Dibacakan oleh salah seorang awak Tempo yang diambil dari Cerpen Kayam berjudul “Ziarah Lebaran”.

Selama dua jam lebih saya tersihir mendengarkan berbagai hal mengenai Umar Kayam dan karya Cerpennya yang banyak menyoroti tentang “Mudik” yang dituturkan oleh kawan dekat Kayam sekaligus ahli sastra, Pak Marzan. Bahkan bukan hanya tentang cerita Umar Kayam dan karya-karya mudiknya, namun juga kecakapannya dalam story telling berhasil membawa pendengar terhanyut dalam menggali berbagai hal tentang Mudik.

Mudik merupakan budaya yang mencerminkan banyak realitas, namun mengacu pada banyak karya Umar Kayam mengenai mudik, yang menonjol justru aspek “penderitaan” bukan sebagai hari perayaan yang penuh “kebahagiaan”. Perjuangan keras insan yang haus untuk kembali ke haribaan keluarga yang tak jarang dibumbui oleh beragam kisah-kisah pilu. Dan, Umar Kayam berhasil menggambarkannya secara unik dan haru dalam karya-karya Cerpennya. Dari 8 cerpen mudik Kayam hanya satu cerpen yang menggambarkan mudik dengan “kebahagiaan”, yaitu dalam cerpen berjudul “Marti”.

Pada cerpen “Ziarah Lebaran” yang dibacakan semalam misalnya, ketika mendengarkan dan merenungi relung terdalam pesan yang tersirat, meskipun cerpen itu dipublikasikan pada tahun 1994, tetapi konteksnya masih sangat relevan dengan kondisi saat ini. Mudik dan lebaran digambarkan dengan banyak diksi penderitaan: kere-kere berderet di kuburan, berdesakan di kereta api dengan aroma bau apak dan penguk, sepanjang jalan sawah-sawah kebanjiran, jembatan-jembatan putus, dan jalan-jalan yang semerawut oleh bus dan mobil.

“Melepas rindu kepada anak tunggal, yang hanya sempat dikunjungi setahun sekali lewat perjalanan kereta api yang melelahkan dan untel-untelan, bukankah juga sangat, sangat penting.”

Paragraf dari cerpen Umar Kayam itu meski singkat tetapi berhasil menggambarkan “perjuangan” mudik.

Sejak kapan terma “Mudik” digunakan? Jujur, saya baru tahu jawabannya tadi malam dari penuturan Pak Marzan. Menurutnya, terma mudik baru digunakan pada era tahun 1970-an. Menggambarkan aktivitas pulang kampung di saat lebaran yang dilakukan oleh para warga kota. Budaya pulang kampung memang sudah ada sejak lama tetapi tidak terorganisir, tidak seperti yang terjadi sejak tahun 90-an hingga kini di mana mudik diorganisir secara massif. Pemerintah dan berbagai pihak melibatkan diri secara aktif dalam budaya mudik masyarakat. Bahkan para pengusaha memfasilitasi mudik dengan beragam pernak-pernik: dari mulai memberikan fasilitas mudik gratis, membuka layanan service kendaraan sepanjang jalan yang dilalui oleh pemudik, dan banyak lagi.

Tak jelas dan banyak versi ketika membahas mengenai asal-usul kata Mudik. Dari uraian Pak Marzan, menurutnya terma mudik identik dengan budaya Jawa. Berasal dari kata “Udik” yang berarti “kampung”, mudik penyebutan dari aktivitas “meng-udik” dan untuk memudahkan pelafalan digunakan kata “mudik”: bermakna kembali ke udik.

Mudik dan lebaran pun kerap diwarnai sebagai upaya “kembalinya orang yang sudah berhasil dari perantauan dan memamerkan keberhasilannya kepada keluarga dan orang sekampung”.

“Mayoritas orang membeli baju baru sebelum mudik. Orang membeli baju baru sedikitnya 2 setel: satu setelnya dipakai pada saat mudik dan satu setelnya lagi di saat lebaran. Bahkan mereka sudah tidak peduli lagi dengan puasa. Makan bebas selama mudik di sana-sini. Ini menunjukkan bahwa ketika orang mudik sesungguhnya sudah berlebaran. Ketika makan di restoran atau di warung setiap orang berlomba-lomba untuk membayar duluan, mentraktir teman-temannya. Itu untuk menunjukkan bahwa dia berhasil. Air mineral yang dibelinya pun tidak mau merek lain tetapi selalu ingin merek “AQUA” karena minuman itu adalah minuman majikannya”, papar Pak Marzan disambut dengan gelak tawa dari yang hadir.**[harjasaputra]

Blogger | Serverholic | Empat Anak | Satu Istri | Kontak: [email protected]

Subscribe to our newsletter

Sign up here to get the latest articles and updates directly to your inbox.

You can unsubscribe at any time
Subscribe
Notify of
guest
0 Komentar
Oldest
Newest Most Voted
Inline Feedbacks
View all comments