Isu dijemputnya mantan Ketua Umum Partai Demokrat, Prof. Subur Budisantoso, oleh BIN menjadi berita hangat di banyak media, baik cetak, online, maupun elektronik. Menjadi memanas karena dikaitkan dengan rencana kehadirannya ke diskusi yang diadakan oleh PPI (Perhimpunan Pergerakan Indonesia), sebagai ormas yang didirikan oleh mantan Ketum Demokrat juga, Anas Urbaningrum, sosok yang dianggap berani melawan istana. Diberitakan oleh media bukan lagi dijemput, tapi dengan kata “diculik BIN”. Hal ini membuat pihak BIN meradang, karena disebut telah menculik.
Ada satu nama dalam pusaran isu ini yang bagi saya sendiri nama itu tidak asing, yaitu Sri Mulyono, orang yang mendapat tugas untuk menjemput Prof. Subur Budisantoso. Kabar mengenai dijemputnya Prof. Subur oleh BIN bermula dari keterangan Sri Mulyono ini, yang kemudian disampaikan oleh M. Rahmad dalam diskusi yang diadakan di kediaman Anas Urbaningrum sebagai markas PPI.
Saya mengenal Sri Mulyono sebagai sahabat dan teman diskusi. Beliau adalah paman dari teman kuliah saya. Jadi sering sekali bertemu dengannya. Maka, ketika saya membaca berita di salah satu media online terkemuka ada nama Sri Mulyono, langsung ingat ke Sri Mulyono yang saya kenal. Karena saya juga tahu bahwa beliau adalah salah satu pengagum Anas dan kini aktif di PPI dan foto wajahnya tampak ada di belakang Prof. Subur Budisantoso di salah satu media online yang memberitakan isu ini. Jadi, sudah pasti sosok Sri Mulyono yang diberitakan adalah sosok Sri Mulyono yang saya kenal.
Siapa sangka juga bahwa Sri Mulyono, sumber pertama dari isu hangat itu, adalah seorang kompasianer. Tak percaya? Ini akun beliau di Kompasiana: http://www.kompasiana.com/Srimulyono14. Di situ terpampang jelas wajahnya. Seluruh tulisannya adalah tentang politik, lebih khususnya tentang Anas dan SBY.
Pagi ini, karena penasaran ingin mendengar langsung keterangan dari sumber aslinya, saya kontak Sri Mulyono melalui telepon. Berikut ini adalah wawancara saya dengannya:
“Mas, waduh saya baca semalam di media online ada nama Mas.”
“Hahahahha… iya Ja (ia menyebut saya selalu dengan Harja atau Ja). Saya juga nggak nyangka bakal seramai ini. HP saya sampai sekarang krang-kring, banyak yang menghubungi dari wartawan.”
“Itu gimana sih ceritanya kok bisa sampai begitu?”
“Begini… saya memang ditugaskan untuk jemput Prof. Subur, saya kontak ajudannya. Dari ajudan itu diperoleh info bahwa beliau sudah jalan, sekarang ada di kantor BIN.”
“Terus…?”
“Ya saya sampaikan itu ke M. Rahmad.”
“Saya sampaikannya juga dengan biasa saja. Tanpa ada maksud mengatakan Prof. Subur diculik oleh BIN karena mau menghadiri acara di PPI. Tidak seperti itu. Saya akhirnya menjemputnya di kantor BIN.”
“Berarti tidak ada korelasi antara rencana kehadirannya dengan dijemput BIN?”
“Nggak ada sama sekali. Sama seperti kita mau menjemput orang, kan pasti kita kontak sekarang posisi ada di mana. Yang dijemput, melalui ajudannya, mengatakan bahwa dia sekarang di BIN karena memang ada staf BIN yang menjemputnya. Maka, ketika ada panitia yang konfirmasi itu ke saya, saya juga menyampaikan sama persis dengan ucapan si ajudan. Itulah juga yang disampaikan Rahmad. Mungkin ini ditanggapi lain oleh media, dan dibumbui macam-macam, maka berreaksilah istana. Padahal, tidak ada kaitannya sama sekali.”
“Woalaaah… jadi ini hanya masalah misskomunikasi aja toh. Jadi ramai begini?”
“Ya biasalah, semuanya bisa dipolitisasi. Apalagi kalau sudah ramai di media.”
Itulah hasil wawancara saya dengan Sri Mulyono. Pembicaraan selanjutnya adalah pembicaraan lain yang terkait bukan dengan isu ini. Pembicaraan antarteman.
So, sudah jelas duduk perkaranya? Inilah bukti bahwa “dua hal yang tidak ada kaitannya ketika dijadikan dalam satu frame bisa dianggap ada korelasi”. Persis seperti seseorang membuka pintu hendak keluar rumah lantas ada tabrakan mobil di jalan raya depan rumah. Apakah bisa dikatakan tabrakan itu disebabkan orang itu hendak keluar rumah? Hidup terkadang lucu.**[harjasaputra]