"Maaf mau tanya, dari data-data yang ada kira-kira Mr.X nanti lolos ke Senayan atau tidak?"
"Kenapa memang tanya begitu?"
"Saya lagi pasang taruhan nih, sekarang taruhannya sudah di 30 juta"
"Kurang ajar, saya lagi pusing mikirin suara bos yang terjun bebas, ente malah tanya untuk judi".
Dialog di atas terjadi sehari setelah pencoblosan pada Pileg April kemarin di wilayah NTB. Setiap hari selalu banyak yang menanyakan kepada saya data-data perolehan suara para caleg. Awalnya saya jawab saja, tetapi setelah tahu bahwa ada bursa taruhan akhirnya saya tidak pernah menyebutkan data riil kepada penanya.
Sesekali saya iseng juga, dari data yang saya pegang, si X itu pasti tidak akan naik, tapi saya bilang: "Pasang saja taruhan yang banyak untuk si X, dia pasti naik kok"..entah si penelpon yakin atau tidak yang pasti ia bilang terima kasih atas infonya. Sekali-kali ngerjain orang.
Perjudian atau bursa taruhan pada pemilihan umum sering ditemui, bahkan dari mulai pemilihan kepala desa, camat, bupati, gubernur, dan tidak ketinggalan pada saat Pileg. Dari hasil obrolan dengan para kepala desa di Lombok, mayoritas mengiyakan bahwa pada saat Pilkades para penjudi ini marak mengadakan aksinya.
"Saya bahkan menang pemilihan kepala desa karena dibantu oleh para petaruh itu. Mereka tahu bagaimana melakukan propaganda dan bagaimana harus beraksi pada saat malam pemilihan. Saya biarkan saja", pengakuan dari salah seorang Kepala Desa di Lombok Utara.
Bursa taruhan pada Pileg umumnya mempertaruhkan antara: si X ataukah si Y yang jadi, atau bisa juga apakah suara si X lebih besar daripada si Y ataukah sebaliknya. Bursa taruhan ini dilakukan oleh para penjudi lokal yang selalu ada di setiap daerah. Besarnya uang yang ditaruhkan bervariasi, semakin lama taruhan akan semakin naik. Dari informasi sehari sebelum rekapitulasi resmi KPU, bursa taruhan sudah menyentuh angka 60 juta. Itu hanya di satu daerah. Tidak menutup kemungkinan besarnya taruhan bisa lebih besar tergantung kelas penjudinya.
Selain money politic yang dilakukan oleh para Caleg, para penjudi inilah sesungguhnya yang memiliki peran tersembunyi sebagai perusak suara. Semacam the hidden hand dalam pesta demokrasi. Para penjudi adalah para 'juragan' yang memiliki uang dan berani untuk "membom" para voters dengan tujuan jagoannya tidak kalah dan ia otomatis menang taruhan dan membawa pulang uang banyak.
Para penjudi ini juga tidak segan-segan untuk melakukan kerja sama dengan tim sukses Caleg pada malam pencoblosan untuk membagikan uang. Tidak jarang, uang yang dibagikan bukan dari Calegnya tapi dari penjudi itu sendiri. Misalnya, di kecamatan A, para penjudi bertaruh siapakah caleg yang menang di kecamatan itu, maka mereka melakukan operasi senyap apapun caranya agar caleg jagoannya menang. Itu untuk penjudi tingkat kecamatan. Mereka berani berkorban keluar uang sekian untuk mendapatkan uang yang lebih banyak dari kemenangan di bursa taruhan.
Perjudian di pemilihan umum entah kenapa tidak pernah ada berita ada tindakan tegas dari aparat hukum. Alasannya mungkin mereka disibukkan dengan pengamanan sehingga praktek-praktek semacam ini tidak menjadi fokus perhatian. Selain itu, masyarakat juga sudah semakin permisif melihat praktek semacam ini karena yang menjadi fokus mereka adalah proses pemilunya, bagaimana suara yang diperoleh oleh caleg yang didukungnya.
Untuk Pilpres pada Juli mendatang, kelompok para penjudi ini pun akan memanfaatkan momen tersebut. Selalu ada hal yang bisa dijadikan taruhan. Apalagi ini momen langka lima tahun sekali. Penjudi lokal bahkan penjudi kakap yang berskala nasional akan memasang taruhan besar-besaran. Taruhannya: siapakah yang jadi Presiden nanti? Apalagi dari calon-calon yang ada sekarang sangat seru untuk dijadikan taruhan. Hama demokrasi yang bernama perjudian ini entah sampai kapan bisa bertahan. Mampukah aparat hukum kita membongkar itu? Let's see!**[harjasaputra]