Jika Anda jeli mengamati bilboard-bilboard di sepanjang jalan ibu kota saat ini (dan saya yakin hingga akhir Desember 2011) ada fenomena tak biasa. Bilboard yang besar-besar itu kini marak dengan iklan layanan masyarakat dari berbagai instansi pemerintah. Sebut saja misalnya, bilboard “Gemar Makan Ikan” (layanan masyarakat dari Kementerian Kelautan dan Perikanan), yang mengajak untuk mengonsumsi ikan. Pesannya bagus, tapi tidak cerdas. Kenapa? Gambarnya ikan, tapi kalau misalnya kita berminat pada ikan itu di mana bisa beli? Tidak disebutkan di situ. Seakan hendak mengatakan, “Makan ikan yang banyak, tempatnya cari sendiri”. Iklan layanan masyarakat lain adalah “Iklan Aku Cinta Produk Indonesia” atau 100% Indonesia dari Kementerian Perdagangan. Yang dipajang bukan produk Indonesia malah Dian Sastro sedang duduk manis. Lho yang dijual jadi Dian Sastro atau produknya? Atau Dian Sastro itu produk Indonesia? Lagi-lagi, masalah bahasa iklan.
Bukan hanya di iklan media luar ato yang biasa dikenal jenis Below The Line, iklan-iklan di media massa cetak dan elektronik ato iklan jenis Above The Line pun disesaki oleh iklan-iklan layanan masyarakat.
Pertanda apakah di akhir tahun selalu dipenuhi iklan layanan masyakarat? Pertanda perputaran ekonomi digenjot di akhir tahun. Belanja negara dipaksa dipercepat di akhir tahun untuk memenuhi target serapan anggaran. Karena jika anggaran tidak terserap maka akan dikembalikan ke negara dalam bentuk SAL (Sisa Anggaran Lebih).
Anggaran yang tidak terserap bisa dilihat dari dua sudut pandang yang berbeda. Bisa berarti kementerian/lembaga tidak mampu mengelola program kerjanya sehingga anggaran tidak digunakan sesuai rencana, bisa juga berarti penghematan anggaran. Umumnya alasan nomor dua yang dipilih. Alih-alih anggaran tidak terserap tetapi diklaim sebagai penghematan anggaran.
Kenapa penggunaan anggaran selalu dipompa di akhir tahun? Daripada dikembalikan lagi ke negara mending dihabiskan. Itu paradigma umum yang terjadi. Dengan demikian, program kerja “matang” secara dipaksa atau “karbitan”. Target sosialnya dengan demikian tidak terpenuhi, hanya target finansialnya yang tercapai. Karena jika mempertimbangkan aspek sosial tentu program sosialisasi akan dilakukan jauh-jauh hari bukan hanya di akhir tahun. Namun yang terjadi adalah sebaliknya.
Ketika sudah berbicara anggaran umumnya yang selalu disorot adalah pada saat penggodokan atau penentuan besaran anggaran yang ditentukan di Badan Anggaran DPR-RI. Tetapi pada saat implementasi dari anggaran tidak pernah disoroti. Padahal implementasi anggaran adalah yang terpenting. Karena menyangkut pelayanan terhadap masyarakat. Jika implementasi anggaran tidak tercapai, walaupun tercapai tetapi dipaksa dengan cara digenjot di akhir tahun, ini akan memberikan dampak tidak baik pada inflasi dan kualitas pelayanan.
DPR selalu disorot ketika berkaitan dengan anggaran tetapi pihak eksekutif pengguna anggaran nyaris luput. Meskipun ada audit dari BPK atau BPKP tetapi sebatas pada pengadaannya, akan tetapi cakupan dan efektivitas penggunaan anggaran luput dari perhatian.**[harja saputra]