Pemerintah mengakui kekeliruan penggunaan diksi New Normal. Simak ulasan lengkap dan kronologinya.
Sejak peluncuran buku “Menghadang Corona: Advokasi Publik di Masa Pandemik” di aula Fraksi PAN, Gedung DPR, Senayan, Jumat (10/7) lalu, membuahkan berita yang cukup menghebohkan hingga hari ini. Salah satu berita yang trending dari berbagai pernyataan terungkap di acara tersebut adalah tentang pengakuan pemerintah atas kekeliruan penggunaan diksi “New Normal”.
Saya kebetulan hadir di acara tersebut dan menyimak semua pernyataan Jubir Pemerintah, Achmad Yurianto, termasuk saat menyampaikan pengakuan pemerintah bahwa diksi New Normal adalah keliru.
Tidak hanya itu, di acara itu pun, Yuri bahkan menyampaikan bahwa kalung anticorona yang sekarang heboh adalah salah satu bentuk kepanikan. Pernyataan ini mungkin tidak dikutip media, padahal dia menyampaikan hal ini.
Tentang kekeliruan diksi New Normal, dia menyampaikan di antaranya: “Kami dari awal optimis masyarakat bingung. Kami tidak pernah pesimis, optimis bingungnya, bingung bener, bingung pasti.”
Itu potongan pernyataan. Yang ingin saya sampaikan, kita harus melihat posisi Yuri di acara itu dan paparan dia secara utuh kalau ingin mendapatkan gambaran konteks yang utuh pula atas pernyataan itu.Acara bedah buku kemarin adalah forum diskusi publik, yang sifatnya dua arah.
Hadir di situ pengkritik kebijakan dan yang dikritik. Pengkritik adalah penulis buku, Saleh Daulay dan juga pakar komunikasi Gun Gun Heryanto yang dalam paparannya juga menyampaikan mengenai permasalahan komunikasi pemerintah yang menurutnya sering menghasilkan noise. Salah dipersepsi karena penggunaan istilah yang blur.
Dua arah juga maknanya bukan monolog yang sifatnya top down, tetapi terjadi tukar pikiran, antara pengkritik dalam menyampaikan inti dari kritik yang ada dalam buku dan pihak pemerintah menyampaikan kondisi objektif mengenai saat suatu kebijakan dibuat. Selain itu, dua arah juga terjadi saat publik menyampaikan ragam pertanyaan kepada narasumber oleh peserta yang hadir di ruangan itu maupun melalui virtual.
Posisi Yuri bukan hanya mewakili pemerintah di acara itu. Dari perspektif saya saat menyimak paparan Yuri, terlihat bahwa Yuri sedang ingin masuk ke dalam dua dimensi yang berbeda, yaitu dimensi wakil dari pemerintah dan dimensi sosok yang ingin mengapresiasi karya buku yang sedang dibedah. Ia berusaha menyelami kandungan konten buku lalu menyampaikan analisisnya di balik konten itu.
Misalnya begini, Yuri di awal paparan menyampaikan mengenai kebijakan Pentahelix yang sering digunakan oleh Ketua Gugus Tugas yang juga kepala BNPB. Pentahelix itu istilah, penta artinya lima, maknanya lima sisi penanggulangan bencana, yang di antaranya sisi pemerintah, akademisi, dunia usaha, masyarakat, dan media.
Dia menerangkan banyak hal terkait sisi-sisi ini. Tidak hanya pemerintah, tetapi sisi-sisi lain juga mengalami kepanikan dalam menghadapi pandemi Corona. Dia sebut sisi akademis juga terjadi kepanikan, dunia usaha juga panik. Sisi masyarakat begitu juga.
Ada kelompok pasien yang dirawat di Wisma Atlet yang hanya ingin minum teh dengan jenis tertentu dan beberapa hari kemudian sembuh. Lantas mereka mengklaim bahwa teh itulah obat Corona. Termasuk juga yang sekarang ramai yaitu penggunaan kalung anticorona. Itu salah satu bentuk kepanikan dari kalangan akademis.
Tentang pentahelix pun, Yuri menyampaikan kritik bahwa pentahelix baru sebatas kebijakan dalam slide dan belum diterapkan secara utuh dalam sebuah kebijakan. Ingat, ketika Yuri menyampaikan autokritik ke dalam sisi pemerintah, harus dipahami bahwa ia sedang memaparkan kondisi objektif. Ia juga sedang berusaha masuk ke dalam dimensi sebagai tokoh pengkritik sebagaimana penulis buku.
Tentang kebijakan New Normal, Yuri juga memainkan peran itu. Pernyataan lengkapnya begini:
“New Normal, misalnya, seperti istilah Social Distancing, kemudian muncul kritik dan kami segera mengubah istilah itu. Begitu juga dengan diksi New Normal. Kami segera memperbaiki istilah itu dengan istilah Adaptasi Kebiasaan Baru. Tetapi, echo-nya tidak pernah berhenti. Menyebar dan di-amplify. Gaungnya ke mana-mana. Bahkan yang dikedepankan adalah Normalnya. New-nya, nggak tahu, datangnya belakangan tok. Di sini terlihat bahwa diksi itu di ruang publik menimbulkan dampak yang berbeda.”
Setelah menyampaikan itu, Yuri memberikan perbandingan mengenai bahasa akademis dan bahasa di ruang publik yang memberikan dampak yang berbeda. Ia mencontohkan bahasa akademis saat menganalisis aliran larva Gunung di Bali, yang ketika di bahasa akademis dampaknya paling hanya akan mengena pada satu kecamatan. Tetapi saat disampaikan ke publik dipersepsi berbeda yang mengakibatkan kepanikan hingga dampaknya satu kabupaten mengungsi. Ini dampak dari bahasa di ruang publik.
Kemudian, Yuri juga menyampaikan bahwa bahasa di dunia akademis belum tentu cocok untuk bahasa publik, yang oleh dirinya disebut ibarat anak kelas satu SD diberikan pelajaran kelas lima. Lalu muncullah pernyataan “Maknya kami dari awal optimis masyarakat bingung. Kami tidak pernah pesimis, optimis bingungnya, bingung bener, bingung pasti”.
Terlihat jelas dari pernyataan itu bahwa Yuri sedang berbicara dalam konteks yang berbeda. Ia tidak sedang berfungsi sebagai Jubir Pemerintah, tetapi sebagai narasumber pembedah buku yang menyampaikan fakta apa adanya berdasarkan kronologi dan apa yang seharusnya.
Yuri kemudian menyampaikan mengenai perlunya penggunaan istilah berdasarkan “Demand Side”, bahasa kebijakan yang disampaikan dengan bahasa publik.
Poin-poin itulah yang di akhir paparannya Yuri mengapresiasi buku Menghadang Corona, karena menurutnya memang begitulah yang terjadi. Ada dialektika kebijakan, benturan pengaturan, dan banyak sisi lain, sebagaimana yang dipaparkan dalam buku.
Bagi saya, acara bedah buku kemarin adalah acara seru yang bagus. Banyak informasi mengenai bagaimana suatu kebijakan publik dibuat, dialektika di ruang publik, dan aspek lain.
Terlepas dari masih belum berakhirnya pandemi Corona, tetapi wacana dan nalar harus tetap dijaga. Biarpun langit mau runtuh, bumi gonjang-ganjing, nalar harus tetap sehat. Karena hanya nalar yang membedakan manusia dengan makhluk lainnya.*