Menyoal PMA Nomor 24 tahun 2016 tentang Bank Penerima Setoran Biaya Penyelenggaraan Ibadah Haji (BPS BPIH) dari aspek yuridis dan dampaknya.
Peraturan Menteri Agama (PMA) Nomor 24 Tahun 2016 tentang Perubahan atas PMA Nomor 30 Tahun 2013 tentang Bank Penerima Setoran Biaya Penyelenggaraan Ibadah Haji (BPS BPIH) mengatur mengenai beberapa poin, terutama tentang penetapan Bank Penerima Setoran biaya haji dan pelarangan dana talangan haji.
PMA ini masih dijadikan rujukan di daerah, terutama oleh Kantor Kementerian Agama Kabupaten/Kota atau oleh KUA terkait pendaftaran jemaah haji.
Terdapat beberapa catatan atas PMA 24 tahun 2016, khususnya jika dikaitkan dengan pengaturan dalam Undang-Undang, sebagai berikut:
Pertama, PMA 24 Tahun 2016 rujukannya masih kepada Undang-Undang penyelengggaraan ibadah haji yang lama, yaitu ke Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2008. Hal ini tertuang dalam butir konsideran yang secara jelas menyebutkan Undang-undang tersebut, sementara Undang-Undang Penyelenggaraan Ibadah Haji dan Umrah yang terbaru yaitu Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2019 telah menggantikan undang-undang yang lama.
Pengaturan mengenai penetapan BPS BPIH oleh Menteri tertuang dalam Pasal 2 PMA Nomor 24 Tahun 2016, bahwa “Menteri menetapkan BPS BPIH”.
Hal ini dikarenakan, seperti telah disebutkan pada poin di atas, rujukannya masih kepada Undang-undang lama, di mana pada Pasal 22 Undang-undang Nomor 13 Tahun 2008 disebutkan bahwa “BPIH disetorkan ke rekening Menteri melalui bank syariah dan/atau bank umum nasional yang ditunjuk oleh Menteri.”
Kedua, pengaturan dalam PMA ini dinilai tidak sejalan dengan muatan yang diatur dalam Undang-Undang Penyelenggaraan Ibadah Haji dan Umrah yang baru. Dalam Pasal 1 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2019 disebutkan bahwa “Bank Penerima Setoran Biaya Perjalanan Ibadah Haji yang selanjutnya disingkat BPS Bipih adalah bank umum syariah dan/atau unit usaha syariah yang ditunjuk oleh Badan Pengelola Keuangan Haji.”
Ketiga, PMA ini juga dinilai tidak sejalan dengan muatan dalam Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2014 tentang Pengelolaan Keuangan Haji. Dalam Pasal 1 Undang-undang tersebut disebutkan hal yang sama dengan Undang-undang pada poin pertama di atas, bahwa “Bank Penerima Setoran Biaya Penyelenggaraan Ibadah Haji yang selanjutnya disingkat BPS BPIH adalah Bank Umum Syariah dan/atau Unit Usaha Syariah yang ditunjuk oleh BPKH”.
Selain itu, dalam Pasal 49 UU Nomor 8 Tahun 2019 disebutkan bahwa “Pembayaran setoran Jemaah Haji sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disetorkan ke rekening Badan Pengelolaan Keuangan Haji di BPS Bipih.”
Berdasarkan beberapa aspek tersebut, PMA 24 Tahun 2016 sudah selayaknya dicabut karena tidak sejalan dengan Undang-Undang sebagaimana telah disebutkan di atas, karena kewenangan penetapan BPS BPIH ada di BPKH.
Meskipun sesungguhnya, ketika tidak dicabut pun, wewenang penetapan BPS BPIH sudah beralih secara hukum kepada BPKH dikarenakan telah berubah pengaturan dalam undang-undangnya. Undang-undang lebih tinggi daripada pengaturan PMA.
Terdapat beberapa hal yang patut dicermati sebagai dampak dari akan dicabutnya PMA 24 Tahun 2016, yaitu:
Pertama, adanya potensi diubahnya kebijakan penerimaan setoran awal BPIH dari calon jemaah haji.
Wacana yang bergulir adalah setoran awal haji tidak akan lagi dibatasi kepada Bank Syariah, tetapi dibuka peluang kepada unit usaha syariah. Karena memang, baik dalam UU Penyelenggaraan Ibadah Haji maupun UU Pengelolaan Keuangan Haji, digunakan kalimat “Bank Umum Syariah dan/atau Unit Usaha Syariah”.
Terdapat kata “dan/atau” yang menunjukkan dapat bermakna keduanya atau salah satunya. Yaitu dapat bermakna Bank Umum Syariah dan Unit Usaha Syariah yang dimiliki oleh Bank Umum. Ini yang berlaku saat ini. Di mana Bank Umum membuka Bank Syariah atau Unit Usaha Syariah untuk menampung dana setora awal haji.
Tetapi, terbuka juga penafsiran bahwa setoran awal haji dapat dilakukan ke unit usaha syariah yang dimiliki oleh selain bank, karena penafsiran atas kata “dan/atau”. Bagaimana bentuk Unit Usaha Syariah yang dimiliki oleh selain bank? Masih harus dipertimbangkan kelayakan dan dampaknya.
Mengenai wacana tersebut, Undang-undang Nomor 34 Tahun 2014 secara jelas telah membatasi pengertian mengenai Unit Usaha Syariah. Pada Pasal 1 Undang-undang tersebut telah diatur mengenai cakupan Unit Usaha Syariah, mengacu pada definisinya, yaitu:
Unit Usaha Syariah adalah: “Unit kerja dari kantor pusat bank umum konvensional yang berfungsi sebagai kantor induk dari kantor atau unit yang melaksanakan kegiatan usaha berdasarkan prinsip syariah”.
Definisi di atas menutup ruang cakupan Unit Usaha Syariah pada bidang usaha selain bank. Unit Usaha Syariah harus tetap berupa bank.
Kedua, hal lain yang patut dicermati jika PMA ini dicabut adalah mengenai dana talangan yang saat ini dilarang ada kemungkinan dibuka kembali.
Dalam PMA 24 Tahun 2016, selain mengatur penetapan BPS BPIH juga melarang adanya dana talangan yang dilakukan oleh Bank Penerima Setoran. Tentang ini tertuang dalam Pasal 6A, bahwa “BPS BPIH dilarang memberikan layanan dana talangan baik langsung maupun tidak langsung”.
Jika PMA ini dicabut maka pengaturan pelarangan dana talangan dengan sendirinya tidak berlaku, kecuali Menteri Agama mengeluarkan PMA baru yang isinya merevisi PMA 24 Tahun 2016 dengan tetap mencantumkan adanya pelarangan dana talangan.
Dana talangan ini merupakan buah simalakama. Bagi dunia perbankan aspirasinya dana talangan ingin tetap diperbolehkan. Hal ini misalnya, pernah diutarakan oleh para Bank Syariah pada saat RDPU di Komisi VIII DPR RI. Mereka mengeluhkan pengaturan mengenai pelarangan dana talangan. Dana talangan haji saat ini masih ada, tetapi tidak oleh bank, melainkan oleh usaha lain. Mereka meminta untuk dapat memberikan lagi dana talangan.
Namun, perlu juga diperhatikan mengenai dampak dari hal tersebut. Mengadakan kembali dana talangan akan memperpanjang jumlah antrian haji. Latar belakang dikeluarkannya PMA, yaitu adanya gelombang pendaftaran calon jemaah haji yang sangat tinggi. Masyarakat asal ada sedikit dana lalu ditalangi oleh bank dan langsung dapat porsi haji, sehingga jumlah antrian menjadi sangat panjang.*