Masih relevankah apa yang diajarkan di sekolah-sekolah mengenai “kebudayaan tradisional”? Masih adakah sesungguhnya budaya Sunda, budaya Jawa, budaya Aceh, budaya Sasak, dan sebagainya?
Pertanyaan-pertanyaan itu hampir mengganggu pikiran setiap kali berkunjung ke beberapa daerah yang ada di Nusantara. Karena yang dilihat adalah kukuhnya hegemoni budaya pop di sana-sini. Nona-nona Sunda, Jawa, dan sebagainya itu kini lebih bangga menghabiskan uangnya membeli tas kecil merk Louis Vuitton, celana Jeans “Levis”, makan di McDonald, belanja di Hypermarket, seluruh tubuhnya ibarat billboard iklan: dari atas ke bawah dihiasi merk-merk terkenal. Tak ketinggalan juga para prianya: menjadi penyokong dana dari gerakan "revolusi" untuk memburu barang-barang yang akan mereka tawan di rumah dan kamar-kamar indahnya.
Budaya pop seakan menjadi “tuhan” baru, di mana iklan sebagai firmannya. Kitab sucinya adalah social media yang menjanjikan kebersamaan dengan yang jauh tetapi perlahan namun pasti memisahkannya dari orang-orang di sekitarnya. Janji-janji muluk: glamour, kepuasan, eksistensi, adalah khutbah yang terus dihayati.
Benar adanya apa yang dikatakan oleh para budayawan, bahwa manusia saat ini adalah tumbal iklan, tumbal budaya pop, meskipun para penggagasnya sedang asyik berdoa di altar-altar kesucian bertaubat pada yang Hakiki. Bahkan konon Iblis sudah ratusan tahun yang lalu menghadap kembali kepada Tuhan dan bersimpuh di hadapan-Nya. Karena manusia sudah tidak butuh iblis lagi, manusia sudah lebih pintar dari apa yang diajarkan iblis.
Di Barat nuansa Pop bergema, di Timur budaya spiritual pun menggema. Keduanya bersama-sama menghancurkan budaya kita. Budaya Timur tidak lebih baik dari budaya Barat. Alih-alih menjanjikan keselamatan namun menggerus nilai luhur budaya.
Budaya Timur adalah budaya pop dalam bentuk lain. Pakaian, gaya bicara, makanan, juga menggantikan budaya kita. Anak-anak bisa membaca kitab-kitab sucinya, tetapi tidak bisa membaca buku-buku budaya warisan kita.
Sunda yang sejati hampir tidak ada lagi, Jawa yang hakiki hampir tidak ada lagi, budaya-budaya bangsa ini tergerus oleh pertarungan dua budaya yang korbannya adalah budaya kita sendiri. Kebenaran dan kearifan tidak diukur dari nilai-nilai yang mendamaikan tetapi diukur oleh sabda-sabda.
Apakah memang setiap budaya membutuhkan tumbal? Apakah memang budaya harus menggugurkan budaya lain? Apakah tidak bisa kita hidup otentik dengan budaya kita sendiri? ** [harja saputra]
Tulisan ini semula dimuat di Kompasiana: http://sosbud.kompasiana.com/2011/05/22/tumbal-budaya-pop/