Categories: Sosbud

Tak Usah Minta Maaf Jelang Puasa dan Saat Lebaran…

Ilustrasi: blog.ephi.web.id

Tahun lalu di saat menjelang puasa dan saat lebaran saya pernah membuat tulisan pendek dan status di FB “Saya tidak mau meminta maaf menjelang puasa dan lebaran”. Memang against mainstream. Menyoroti budaya meminta maaf yang banyak dilakukan menjelang puasa dan saat lebaran. Sedikit menimbulkan kontroversi. Di sini akan saya coba paparkan alasan dan maksudnya (bukan repost).

Pertama, hakikat maaf bukanlah yang dimaksud dengan “kata maaf” atau ranah bahasa seperti excuse me atau appologize. Perlu dibedakan antara kata maaf dengan maaf itu sendiri. Dalam setiap budaya, pasti ditemukan budaya meminta maaf, tetapi dalam cakupan conversation. Seseorang misalnya mau menanyakan alamat, pasti di awal percakapan disebut kata “maaf”, excuse me, dan bahasa lain. Maaf sebagai pembuka percakapan. Maaf juga digunakan untuk meminta tolong. Apakah tuntunan permohonan maaf adalah dalam cakupan conversation seperti contoh di atas? Saya rasa bukan.

Kedua, meminta maaf dalam pengertian tuntunan agama adalah meminta untuk diampuni segala kesalahan yang telah diperbuat, baik disengaja atau tidak disengaja. Kesalahan yang dimaksud adalah kesalahan dari hasil interaksi, baik ucapan maupun tindakan. Dalam ajaran agama Islam terminologi yang tepat bukan maaf sebenarnya tetapi “taubat”. Karena ketika seseorang meminta maaf kemudian kesalahan yang sama diulangi terus, menyakiti orang lain dilakukan terus, maka kata maafnya tidak berarti apa-apa. Permohonan maaf harus diikuti dengan perubahan sikap. Bukan sebatas pada lisan yang meminta maaf tetapi perbuatan tidak sejalan.

Ketiga, permohonan maaf adalah cerapan lokal dari budaya Indonesia. Tidak salah. Sangat baik malah, karena disesuaikan dengan budaya lokal. Lihat saja ucapan selamat idul fitri dalam tradisi dan bahasa Arab adalah: “Minal ‘Aidin wal Faizin”..diartikan “Mohon Maaf Lahir dan Bathin, padahal bukan itu artinya. Jika diterjemahkan kata itu artinya “Semoga kita menjadi orang yang kembali suci dan beruntung (mendapatkan pahala di sisi Allah)”. Tapi untuk memudahkan penyampaian maka dibudayakanlah dengan ungkapan “Mohon maaf lahir dan bathin”. Entah sejak kapan ungkapan ini bermula. Budaya ini sangat dipengaruhi oleh budaya lokal Indonesia yang tepok seliro: lapang dada dan rendah hati.

Keempat, tak salah sama sekali mengucapkan kata maaf menjelang puasa dan saat lebaran. Tetapi tidak berhenti disitu, harus melangkah lebih jauh untuk meningkatkan kualitas diri. Maksudnya apa? Maaf yang lebih penting adalah “menjaga diri dalam kehidupan sehari-hari (bukan saja di bulan suci Ramadhan) untuk mengendalikan atau untuk tidak berbuat salah”. Sebetulnya ini adalah semacam quality control yang inheren dalam ajaran agama. Kita sudah meminta maaf pada orang lain sejak awal dengan menjaga diri agar tidak berbuat salah: jika berbicara dipertimbangkan dulu apakah akan menyakiti orang lain atau tidak, jika berbuat dipikirkan dulu apakah akan mengusik orang lain atau tidak, tidak semua hal harus diungkapkan jika akan menimbulkan kekacauan. Percuma saja sekarang minta maaf tetapi kelakukan bertolak belakang: menyakiti perasaan orang lain dengan omongan dan perbuatan masih dilakukan. Inilah makna hakiki dari maaf, taubat dalam terminologi al-Ghazali.

Ah, itu kan pendapat pribadi Anda saja, mungkin begitu sanggahannya. Coba kita buka mata kita, berapa banyak orang yang mengucapkan minta maaf menjelang puasa dan saat lebaran, tapi setelah itu berkumpul dengan orang lain dan membicarakan kesalahan orang. Kehidupan sosial sehari-hari kita apakah lebih baik setelah lebaran? Orang tersenggol sedikit saja di jalan padahal saat bulan puasa ngototnya minta ampun. Apakah itu buah dari minta maaf dari puasa dan lebaran? Orang lebih mudah terbakar emosinya, apakah itu hasil dari minta maaf dari puasa dan lebaran? Padahal kita hidup sudah bertahun-tahun, puasa dan lebaran sudah berpuluh-puluh kali. Ada yang perlu diperdalam pemahamannya mengenai kata “maaf” ini.

Tak usah minta maaf jelang puasa dan saat lebaran jika berbuat salah masih menjadi hobi. Lho, tapi kan kita minta maaf justru kita tidak tahu apakah perbuatan kita salah atau benar, mungkin saja kita berbuat salah yang tak disengaja. Ini cara pandang anak kecil. Orang dewasa pasti bisa membedakan mana perbuatan yang baik dan mana yang tidak. Dipikir dulu dong kalau mau berkata atau bertindak. Jangan semua ujung-ujungnya minta maaf sementara perbuatan terlanjur menyakiti orang. Maaf itu semacam pintu darurat, jika benar-benar sudah berusaha dengan tidak menyakiti orang lain tetapi karena khilaf barulah minta maaf. Itu juga harus diikuti dengan berusaha tidak mengulangi. Jangan diumbar kata maaf, jika demikian berarti kita mentolerir diri kita untuk berbuat salah terus.**[harja saputra].
 

Harja Saputra

Blogger | Serverholic | Empat Anak | Satu Istri | Kontak: me@harjasaputra.com

Share