Categories: Sosbud

Sumpah Monas Anas: Perspektif Tabu Bahasa

Statemen Anas (@anasurbaningrum)

“Sumpah Monas Anas” ramai diperbincangkan, baik di jagat twitter maupun di berbagai media lain. Hal ini menyusul statemen tegasnya Anas Urbaningrum, Ketum PD, di twitter bahwa “Kalau saya korupsi wisma atlit dan hambalang, satu rupiahpun, saya bersedia ditembak mati atau digantung di Monas”.

Statemen tersebut secara bahasa masuk dalam “bahasa kondisional afirmatif”, yaitu bahasa yang ingin menunjukkan sikap diri untuk berbuat sesuatu jika terjadi apa yang disyaratkannya. Meskipun secara hukum positif statemen tersebut tidak berarti apapun karena yang membuktikan benar atau tidaknya ungkapan itu adalah bukti-bukti yang valid, tetapi jika dilihat secara psikologis dan budaya, bahasa itu “tidak main-main”.

Mari kita lihat di mana bahasa yang digunakan oleh Anas itu “tidak main-main” dalam struktur sosial budaya dan kajian antropolgi yang lebih luas. Karena, “sumpah” ada dalam semua struktur bahasa dunia, di manapun, ada konsekuensi masing-masing.

Dalam kajian bahasa ada yang disebut dengan “Tabu Bahasa (word tabooed)”. Istilah tabu dikenal sejak Kapten James Cook, dalam pelayarannya yang ketiga mengelilingi dunia ke Kepulauan Polinesia  pada tahun 1777. Konsep tabu mengandung unsur-unsur yang berikut: “larangan yang langgarannya mendatangkan sanksi yang “otomatis” tanpa mediasi dari luar; atau pelanggaran kebahasaan yang dapat menimbulkan kegelisahan hati yang terus menerus (anxiety) dan rasa malu“.

Frazer (1955), pernah meneliti khusus tentang kata-kata tabu dan tertuang dalam bukunya, ada bahasan khusus yang ia sebut “Taboo and the Perils of the Soul“. Ia memberikan contoh tabu bahasa di antaranya: larangan untuk menyebut nama pribadi ditemukan pada suku Apache, salah satu suku Indian Amerika. Orang-orang Apache tidak akan memberikan namanya pada orang asing karena mereka takut pada kekuatan yang tersembunyi yang mungkin menyertai tangan orang asing itu untuk mencelakakan dirinya. Tabu yang sama ditemukan di suku Nufoor, Papua Nugini. Jika kita ingin mengetahui nama orang Nufoor di Papua Nugini atau orang Alfoor di Poso, Sulawesi, maka kita harus bertanya pada orang lain, jangan bertanya pada orang yang bersangkutan karena dikhawatirkan dapat membahayakan orang yang bersangkutan. Hal yang sama dapat dijumpai pada orang Nias, yang percaya bila kejahatan dapat dilakukan terhadap seseorang, misalnya dengan menyebutkan namanya. Makhluk jahat yang mendengar nama yang disebutkan menjadi tertarik, kemudian mengganggu orang yang disebut namanya. Malahan, di antara pemuka bangsa Arya, nama tidak hanya bagian dari manusia tetapi juga bagian “manusia” yang dinamakan roh/jiwa, napas dari kehidupan sebagai sesuatu “yang ada”.

Tabu yang lain adalah larangan menyebut nama orang yang telah meninggal. Nama orang yang telah meninggal umumnya tidak boleh disebutkan. Pada suku Goajiro, Kolumbia, karena motif ketakutan akan bangkitnya hantu/setan, orang takut pada hantu yang mungkin tertarik dengan mendengar nama yang disebutkan itu, dan kemudian mengganggu roh orang yang meninggal.

Kajian Tabu yang lebih mendalam ditemukan dalam karya Freud dalam Totem and Taboo-nya (terbit pertama kali tahun 1924), dan pertama kali memasuki wilayah antropologi budaya, menyusun konsep tabu berdasarkan teori psikoanalisis.

Sumpah juga termasuk dalam cakupan “Tabu”. Montagu (1973) pernah menulis khusus buku The Anatomy of Swearing. Ia mengungkapkan bahwa sumpah muncul sebagai akibat frustrasi yang dialami seseorang. Dan, mengapa seseorang sampai melontarkan sumpah, secara teoretis, berkaitan dengan perkembangan fisik dan psikologis seseorang. Sumpah bersifat mengikat secara psikologis dan secara sosial bagi yang melontarkan sumpah. Di Indonesia sumpah yang paling tinggi yang menyangkut kematian dikenal dengan “Sumpah Pocong”, sumpah untuk menentukan siapa yang bersalah dari 2 alternatif orang.

Sanksi atas pelanggaran bahasa Tabu bisa datang dari dua hal: magi dan religi. Magi adalah datang dari hal-hal gaib, dan religi datang dari kepercayaan agama. Sumpah dalam agama juga diatur. Dengannya sumpah tidak boleh sembarang diucapkan. Dalam sanksi tabu religi, mengakui beberapa jenis kata yang mengandung “kekuatan”, seperti sumpahan, kutukan, dan doa. Sumpah, kutukan dan doa dalam ajaran agama bergantung pada Tuhan untuk menjamin kemanjurannya. Penghinaan terhadap orang tua atau orang yang lebih tua, atau orang miskin, yang diperlakukan dengan tidak adil, mungkin mengucapkan kutukan, dan apabila kemalangan kemudian menimpa orang lain yang berlaku buruk terhadapnya, maka hal itu merupakan jaminan kalau Tuhan telah membuat kata-kata itu manjur.

Kembali ke masalah Sumpah Monas Anas. Sumpah berani mati, atau sesuatu akan menimpa diri sendiri jika kemudian berbohong, bukan hal yang baru di Indonesia. Biasanya merupakan jalan terakhir ketika kebenaran susah diungkapkan. Di Tasikmalaya, pada Desember 2011, Kepala Kejaksaan Negeri (Kajari) Tasikmalaya mengucapkan janji sumpah berani mati di depan puluhan mahasiswa HMI. Dalam sumpahnya, Kajari mengucapkan berani mati tertabrak kendaraan di tengah jalan jika melakukan atau terlibat korupsi. Sumpah itu, sebagai bukti pertanggungjawaban moral dari institusi penegak hukum agar bertindak bersih dalam penanganan kasus-kasus korupsi.

Dari berbagai kajian kebahasaan (linguistik antropologi) dan contoh di atas, tidak berlebihan jika kita menilai statemen Anas bahwa dirinya siap ditembak mati atau siap digantung di monas adalah “ungkapan yang tidak bisa diremehkan”. Ini sudah masuk dalam ranah sumpah, sebagai salah satu area Tabu Bahasa. Jika dilanggar, maka ungkapannya akan berakibat fatal bagi dirinya sendiri. Taruhannya nyawa. Artinya, Anas tidak sedang main-main dalam hal ini. Ini menunjukkan bahwa ia ingin mengatakan bahwa dirinya yakin bersih. Karena prinsipnya “tidak ada yang tahu tentang diri kita kecuali diri kita sendiri, tidak ada yang tahu siapa Anas yang sebenarnya kecuali Anas sendiri”.**[harja saputra]

Semula dimuat di Kompasiana dan menjadi Headline: http://bahasa.kompasiana.com/2012/03/11/sumpah-monas-anas-tabu-bahasa-berbahaya-nan-ampuh/

 

Harja Saputra

Blogger | Serverholic | Empat Anak | Satu Istri | Kontak: me@harjasaputra.com

Share