Globalisasi yang ditandai dengan perdagangan bebas ternyata tidak hanya terjadi di komoditas barang, tetapi juga pada jasa esek-esek.
Awal cerita, saya punya teman yang sedang menyusun penelitian mengenai fenomena kupu-kupu malam import yang dilihat dari aspek perdagangan perempuan (women trafficking). Kebetulan dia bekerja di salah satu Hotel “X” di Jakarta Pusat, dengannya untuk lokus penelitian tidak terlalu susah karena setiap hari ia menyaksikan itu. Diajaklah saya ke hotel itu. Hmmmm…pemandangan begitu indah. Surga ternyata terhampar di sini, bidadari-bidadari dengan berbagai macam warna ada di situ. Mayoritas adalah wanita-wanita import yang siap melayani para tamu untuk cinta sesaat.
Saya diminta bantuan untuk memberikan saran mengenai metode penelitian dan instrumen yang harus disiapkan, karena saya dianggap pengalaman pernah terlibat dalam penelitian yang serupa, meskipun obyeknya bukan wanita pekerja seks import (silahkan akses hasil penelitian Fikri Habsyi dan Harja Saputra tentang penelitian wanita malam di Warung Remang-remang Parung Bogor, Di sini).
Berikut ini adalah beberapa hasil investigasi melalui metode pengamatan pasif dan wawancara mendalam pada tempat hiburan “X” di Jakarta.
Di tempat hiburan “X” terdapat puluhan bahkan mencapai ratusan wanita warga negara asing yang keluar masuk Indonesia yang bekerja sebagai wanita penghibur atau pekerja seks. Mereka memiliki paras cantik dan tubuh yang indah dengan aksen dialog negara asal. Kupu-kupu malam yang di datangkan dari luar negeri itu berusia antara 20 tahun hingga 25 tahun. Negara asal mereka antara lain berasal dari China, Thailand, Filipina, Uzbekistan, Tazikistan bahkan dari Inggris, Eropa.
Pada tempat hiburan malam “X” ini memang sudah bukan rahasia lagi untuk bisnis prostitusi. Untuk wanita yang didatangkan dari negara China sekitar 50-an orang, Filipina sekitar 10-an orang, Thailand sekitar 30-an orang, Uzbekistan sekitar 10-an orang, Tazikistan hanya 2 orang, Inggris dan Eropa hanya 1-2 orang saja. Untuk dapat kerja di tempat hiburan “X” ini para wanita ini harus menjalani test body terlebih dahulu.
Untuk harga dari wanita-wanita ini berbeda-beda tergantung dari asal negara mereka, keindahan tubuh dan kecantikannya dan juga pelayanan yang diberikan. Untuk harga yang paling murah berkisar 1,7 juta, di atasnya ada 1,9 juta, tapi khusus wanita yang dari Inggras dan Eropa harga mereka paling tinggi, bisa mencapai 5 juta.
Sebut saja nama wanita asal Thailand ini dengan nama Jenny (bukan nama asli) yang memiliki tubuh yang seksi dan paras yang cantik. Jenny anak pertama dari 4 bersaudara dimana adik-adiknya masih kecil-kecil, yaitu masih berusia 15 tahun, 9 tahun dan 3 tahun. Jenny sendiri sekarang berusia 23 tahun. Awalnya Jenny bercerita mengenai keadaan ekonominya yang sangat lemah dan orang tuanya yang terlilit hutang sana-sini untuk biaya hidup sehari-hari, ditambah dengan banyaknya keinginan Jenny untuk membeli barang atau memakai barang mewah seperti wanita-wanita yang sering dia jumpai dengan menggunakan barang-barang yang bagus dan dapat memanjakan dirinya ke salon.
Jenny memiliki teman yang bekerja di tempat hiburan malam di Thailand, melihat temannya itu dan mendapatkan cerita tentang kehidupan dia yang sekarang berkecukupan. Jenny akhirnya terbujuk oleh kata-kata temannya itu untuk bekerja di tempat hiburan malam. Tahun 2007 Jenny pertama kali bekerja sebagai pekerja sex pada saat itu Jenny berusia 19 tahun. Awalnya Jenny masih takut untuk memulai pekerjaan barunya, tapi lama kelamaan dia mulai membiasakan dirinya dan mulai menikmatinya, apalagi ditambah dengan uang yang dia dapatkan dari pekerjaan itu.
Sampai akhirnya pada awal 2008 dia mendapatkan tawaran dari salah satu pengunjung tempat hiburan untuk bekerja di Indonesia dan di negara lainnya sebagai wanita penghibur dengan uang yang didapatkan lebih banyak daripada hasil yang dia dapatkan di Thailand, dan sekaligus dapat liburan gratis. Untuk pengurusan visa paspor dan dokumen lain-lainnya dia tidak begitu paham, yang dia tahu dia hanya mengikuti apa kata orang yang mengajaknya tersebut, dia hanya tinggal menyerahkan foto dan kartu identitasnya, setelah itu hanya menunggu waktu kapan diberangkatkan.
Di Jakarta dia disewakan apartemen di daerah Jakarta Pusat dengan fasilitas yang memadai, dia di beri pelayanan dan fasilitas bagaikan seorang ratu. Dengan pekerjaan saat ini, dia dapat melunasi hutang-hutang kedua orang tuanya. Sulit untuk dia meninggalkan pekerjaan ini, menurutnya dari mana lagi dia mendapatkan uang semudah ini. Terkadang di dalam lubuk hatinya, dia pun ingin memiliki kehidupan yang normal, dimana bisa dihargai oleh orang dan memiliki seorang kekasih yang dapat menyayanginya secara tulus, tapi selama ini yang dia temui hanyalah lelaki hidung belang yang hanya menginginkan tubuhnya untuk memuaskan birahi mereka.
Dari kisah di atas, dan juga hasil penelitian yang pernah beberapa saya lakukan, juga dari yang saya baca di beberapa buku atau media, umumnya alasan utama dari prostitusi adalah alasan ekonomi. Ya, alasan klasik. Kita semua sering mendengar atau membacanya di media. Kadang saya berpikir, apakah memang seperti itu. Karena umumnya alasan mereka dan cerita hidupnya ketika ditanya dari satu wanita malam dengan wanita malam yang lain, banyak kesamaan. Kalau karena ekonomi umumnya adalah seperti yang diceritakan di atas, kalau karena frustrasi umumnya ceritanya ditinggal oleh kekasih sementara sudah menyerahkan diri sepenuhnya, dan bla bla bla..dan ada beberapa faktor lain. Metode penelitian yang bersifat pengamatan pasif dan wawancara terkadang menghasilkan data yang bias karena hanya menggali pernyataan dari informan, kebohongan informasi yang disampaikan kadang susah untuk dihindari tetapi tidak ada metode yang bisa mengeliminasi faktor bohong dari informan. Alhasil, itulah realitas..masalah penilaian ada pada diri masing-masing.**[harja saputra]
Dimuat pula di Kompasiana: http://lifestyle.kompasiana.com/urban/2011/07/15/sekelumit-kisah-kupu-kupu-malam-import/