Lebaran merupakan fenomena budaya masyarakat Muslim di Indonesia yang disandingkan dengan ritual keagamaan, yaitu budaya yang bersandingan dengan ritual Idul Fitri. Karena Lebaran merupakan “budaya lokal Indonesia” maka sudah barang tentu bercampur dengan kebiasaan-kebiasaan lain yang pasti berbeda dengan perayaan Idul Fitri di negara lain.
Ada yang tahu dari mana asal kata “Lebaran”? Banyak versi yang menyebutkan asal kata Lebaran ini. Ada yang bilang Lebaran diambil dari bahasa Jawa: Lebar artinya “sesudah, setelah” (bahasa Jawa kasar). Ada juga yang mengatakan bahwa Lebaran diambil dari bahasa Sunda, lebar berarti “sayang, bebas, selesai” (sumber di sini). Ada juga yang mengatakan kata Lebaran asli diambil dari bahasa Indonesia yang berarti “luas, hati yang lebar untuk saling memaafkan, pergerakan manusia yang melebar (mudik), dan perayaan atas kemenangan” (sumber di sin). Di Kamus Besar Bahasa Indonesia sendiri tidak disebutkan asal katanya, hanya disebutkan bahwa Lebaran artinya “Idul Fitri, hari raya umat Islam yang jatuh pada tanggal 1 Syawal setelah selesai menjalankan ibadah puasa selama sebulan”.
Terlepas dari asal katanya, Lebaran merupakan fenomena budaya masyarakat Muslim di Indonesia yang disandingkan dengan ritual keagamaan, yaitu budaya yang bersandingan dengan ritual Idul Fitri. Idul Fitri sendiri bermakna “kembali ke suci” setelah menjalankan tempaan jiwa selama sebulan penuh melalui puasa. Karena puasa mengandung hikmah bulan rahmat, pengampunan, dan ujungnya adalah bebas dari api neraka, disempurnakan oleh hari Idul Fitri.
Karena Lebaran merupakan “budaya lokal Indonesia” maka sudah barang tentu bercampur dengan kebiasaan-kebiasaan lain yang pasti berbeda dengan perayaan Idul Fitri di negara lain. Di Iran misalnya, Idul Fitri tidak pakai acara pulang kampung, dirayakan malah biasa-biasa saja. Kalah dengan perayaan Nuruz (perayaan tahun baru Persia). Orang Iran akan pulang kampung dan berkumpul dengan keluarganya di hari raya tahun baru tersebut, bukan di hari raya Idul Fitri. Begitu juga dengan di beberapa negara Arab. Perayaan Idul Fitri tidak semeriah seperti di Indonesia.
Salah satu budaya yang menempel pada Lebaran adalah budaya Pulang Kampung. Pulang Kampung sebagai salah satu budaya yang melekat pada Lebaran merupakan ciri khas budaya Indonesia. Lantas, jika bukan dari ajaran Islam, dengan sendirinya pulang kampung menjadi sesuatu yang menyimpang? Ini penilaian sangat instan, berarti belum mengerti bagaimana fungsi dari budaya. Justru, Pulkam di hari Lebaran adalah momen penting, karena ini sangat kultural, bukan hanya momen religius tapi untuk berkumpul dengan keluarga, mengunjungi tempat kelahiran, saling berbagi dengan orang lain (makanya uang recehan laku keras ditukar di bank-bank).
Orang desa yang mencari penghidupan di kota akan merasa terpanggil untuk pulang kampung di hari Lebaran merupakan fenomena budaya yang baik. Di situlah perputaran ekonomis muncul. Orang kota yang membawa devisa dalam bentuk fresh money akan mengeluarkan uangnya dalam jumlah banyak di kampung halamannya. Entah belanja ini belanja itu, ngasih ke sini ngasih ke situ, ini adalah perputaran ekonomi. Sehingga bisa menghidupkan pendapatan masyarakat setempat. Motivasi pulang kampung adalah motivasi fitri yang sesungguhnya, karena fitri artinya adalah “bersifat fitrah atau innate nature”. Tidak ada satu orang pun yang di kota besar yang tidak punya kampung halaman, kecuali orang asli yang lahir di kota besar (seperti orang Betawi). Pulang kampung adalah kembali ke tempat asal (innate nature of birth).
Namun, budaya pulang kampung Lebaran juga sekarang sudah berubah arah. Motivasinya bahkan sering melebar ke mana-mana, ke arah pamer diri. Pamer bahwa, “Inilah saya yang sudah sukses di kota besar mendatangi kalian. Lihat saya, orang yang dulu bukan siapa-siapa, kini menjadi siapa-siapa (emang bapak sekarang siapa? Masih manusia kan)”.
Para PRT (tanpa ada maksud merendahkan mereka) misalnya menjadikan pulang kampung Lebaran menjadi momen yang sangat berarti. Di kota mungkin mereka merasa “dipenjara” karena harus diam terus di rumah majikan, tapi di kampungnya mereka mendapatkan kebebasan yang sangat berarti. Saking lapangnya kebebasan yang mereka rasakan terkadang terlena. Dulu bekerja pada majikan, tapi di desanya merekalah sekarang yang menjadi majikan. Majikan di kota bisa mengenakan perhiasan yang banyak, mereka pun bisa; bahkan dandanan mereka mirip artis ibu kota, glamour, minim, entahlah.
Kurang lebih seperti itulah pelebaran makna pulang kampung Lebaran, diembel-embeli dengan budaya pamer diri. Apakah itu semua salah? Jangan terlalu menilai orang dalam kategori salah atau benar. Itu picik. Biarkan mereka mengecap kebebasannya, karena hanya setahun sekali. Tapi alangkah baiknya tidak berhenti di pamer diri, tetapi berbagi, berbagi, dan berbagi dengan orang lain.**[harja saputra]