Lebih dari 100 warga di Kelurahan Babat dan Desa Plaosan, Kecamatan Babat, Lamongan, merasa waswas dan terancam tidak bisa mencairkan dana kompensasi kenaikan harga BBM. Pasalnya, Kartu Perlindungan Sosial—kartu lama yang biasa digunakan untuk menerima kompensasi—yang dimiliki digadaikan senilai Rp 100.000-Rp 125.000 per kartu (Kompas Cetak, 01 Des 2014).
Disebutkan juga di sumber lain, berdasarkan pengakuan langsung dari rentenir (masyarakat di sana biasa menyebutnya dengan Kosipa, Koperasi Simpan Pinjam) jumlah warga yang menggadaikan di desa tersebut lebih dari 200 orang dan jumlah uang dipinjam senilai Rp.100 ribu hingga 200 ribu. (Tribunnews.com).
Modus gadainya adalah: jika warga menggadaikan senilai Rp.100 ribu maka peminjam harus menebusnya Rp.125 ribu. Adapun jika meminjam Rp.200 ribu harus menebus Rp.220 ribu.
Alasan warga yang menggadaikan adalah karena tuntutan kebutuhan yang mendesak, seperti keperluan bayar sekolah anak, bahkan ada yang menggadaikan karena tidak punya uang untuk makan sehingga memaksa menggadaikan kartu KPS.
Bukan hanya kartu KPS yang digadaikan, surat nikah hingga KTP pun, sering digadaikan warga ke rentenir: "Ucok (penerima gadaian warga) mengaku bahwa dirinya sudah lama menjalankan profesi penerima jaminan dari debitur, mulai pakaian, peralatan dapur, Surat nikah, KTP dan sekarang berkembang menerima jaminan Kartu Perlindungan Sosial (KPS)" (Tribunnews.com).
KPS sendiri mulai digadaikan ke Ucok sejak 21 September sampai November 2013, ada yang datang langsung kerumah dan juga ada yang mengkoordinir untuk menyerahkan kartunya.
Kartu yang digadaikan tersebut sudah ditebus oleh pihak Kecamatan Babat agar warga bisa mengambi dana kompensasi BBM sebesar Rp.400 ribu. Namun, hal itu bukan berarti tidak akan terulang di kemudian hari. Masih menyisakan pertanyaan, kenapa hal itu bisa terjadi?
Cerita kartu-kartu bantuan digadaikan oleh warga sering terjadi. Hal itu terjadi juga pada kartu BLT (Bantuan Langsung Tunai). Pada tahun 2008 misalnya, di Solo banyak warga yang menggadaikan kartu BLT. Modusnya sama dengan gadai KPS di atas, kartu untuk mengambil dana BLT sebesar Rp.400 ribu digadaikan sebesar Rp.200 ribu. Dan, rentenir tidak mau memberikan pinjaman dana melebihi nilai tersebut, dengannya hanya digadai 50 persen dari dana yang akan diterima (Solopos). Begitu pun di Kabupaten Bima, kartu BLT pun sering digadaikan (Bima Ekspress).
Kenapa Digadaikan?
Seperti telah disebutkan di atas, bahwa umumnya alasan warga yang menggadaikan kartu KPS adalah karena tuntuan kebutuhan mendesak. Alasan klasik, namun begitulah adanya.
Kemiskinan atau tidak punya uang untuk kebutuhan sehari-hari menjadi pemicu munculnya praktek penggadaian liar KPS. Hal itu sangat mungkin terjadi apalagi sejak harga BBM naik yang menyebabkan harga kebutuhan melonjak tinggi. Harga BBM naik mulai tanggal 16 November 2014, namun sebelum harga BBM naik harga kebutuhan sudah meningkat terlebih dahulu. Hal tersebut seperti diberitakan oleh Tempo, bahwa sayur-mayur sudah meningkat tajam jauh sebelum naiknya BBM (Tempo).
Harga kebutuhan meningkat karena isu mengenai kenaikan BBM terus didengungkan di media massa oleh para pejabat dan pengumumannya pun diundur-undur, sehingga pedagang tidak mau berspekulasi, dampaknya adalah mereka menaikkan harga terlebih dahulu.
“Rencana pemerintah menaikkan harga bahan bakar minyak bersubsidi, disikapi oleh pedagang dengan menaikkan harga bahan pokok termasuk sayuran. Di Pasar Kota Bogor, sejak sepekan terakhir harga sayur, seperti cabai dan bawang merah melonjak” (Tempo).
Harga kenaikan BBM dinilai oleh banyak pihak akan semakin membuat masyarakat susah. Kenaikan harga BBM membuat masyarakat yang tidak miskin menjadi miskin. Faktornya adalah meningkatnya harga kebutuhan yang tidak disertai dengan meningkatnya pendapatan keluarga.
“Kenaikan BBM rumusnya tetap penderitaan, kemiskinan dan ujungnya adalah meningkatnya kriminalitas. Sepakat 1000% dengan apa yang dikatakan BJ Habibie. 'Saya Jamin Kenaikan BBM Membuat Yang Tadinya Tidak Miskin Jadi Miskin'” (pendapat Pangi Syarwi Chaniago, TribunNews.com).
Analisis
Penggadaian kartu KPS kepada rentenir adalah salah satu dampak dari kemiskinan. Kata kuncinya adalah kemiskinan. Pemerintah tidak peka dengan istilah “kemiskinan”. Kebijakan BBM dinaikkan dengan tidak melihat “rasio angka kemiskinan”, sehingga muncul fenomena tersebut. Masih untung ada yang bisa digadaikan untuk menyambung hidup. Bagaimana dengan rakyat yang tidak terdata sebagai penerima KPS namun terkena dampak kenaikan BBM sehingga menjadi miskin? Tidak heran, angka kriminalitas diprediksi akan tetap tinggi. Orang dipaksa berbuat jahat karena bukan karena profesi, tetapi karena terpaksa.
Bukti pemerintah tidak paham mengenai kemiskinan adalah komentar dari Menteri ESDM, Sudirman Said. Ia mengatakan:
“Kementerian ESDM mencatat sejak kenaikan harga BBM tahun 2003, angka kemiskinan di Indonesia justru mengalami penurunan menurun. Hal ini lantaran pemerintah sudah mengalihkan subsidi bahan bakar minyak (BBM) ke sektor infrastruktur. Ketika harga BBM bersubsidi bernilai Rp1.800 per liter, angka kemiskinan berada di angka 37 persen dari total populasi Indonesia pada 2004. Sedangkan pada 2013 ketika harga BBM bersubsidi seharga Rp 6.500 per liter, angka kemiskinan berada di angka 25 persen. Peningkatan permintaan BBM bersubsidi membuktikan hal tersebut” (Okezone).
Statemen Sudirman Said berbahaya, karena melihat rasio kemiskinan dengan kenaikan harga BBM yang tidak fair. Ia mengatakan, “kenaikan harga BBM diikuti dengan penurunan angka kemiskinan”. Benarkah demikian?
Statemen itu sangat simplistis. Ini buktinya:
Tahun |
Harga BBM |
% |
Angka Kemiskinan |
% |
2004 |
1.800 |
|
37% |
|
2013 |
6.500 |
361% |
25% |
-12% |
Dari tabel itu, kenaikan BBM yang disebutkan oleh Menteri ESDM mengalami peningkatan lebih dari tiga kali lipat atau 361%, semula Rp.1800 kemudian 6.500. Tetapi, angka kemiskinan hanya menurun 12% saja. Artinya, pengaruh kenaikan harga BBM tidak memiliki pengaruh signifikan terhadap penurunan angka kemiskinan. Ini yang dinilai penilaian simplistis: menggampangkan masalah.
Kebijakan yang harus diambil untuk menanggulangi kemiskinan harus sebaliknya, bukan dengan menaikkan harga BBM, tetapi menekan dulu angka kemiskinan baru kemudian menaikkan harga BBM. Jika kebijakan yang diambil adalah menaikkan harga BBM untuk menurunkan kemiskinan seperti statemen menteri ESDM, itu adalah kebijakan sembrono.
Berdasarkan data terakhir sebelum kenaikan BBM, masih ada 28,55 juta masyarakat miskin Indonesia (BPS September 2013) dengan pendapatan Rp. 289.041 perbulan:
- Jika Standar miskin dunia untuk Indonesia dengan US$ 2 perhari digunakan, maka ada 108 juta orang yang hidup dibawah garis kemiskinan (sumber: World Bank Review).
- 75% persen masyarakat Indonesia hanya mampu membiayai diri kurang dari sama dengan US$ 4 perhari. (Norman Loayza, dalam direktur dari World Development Bank )
Artinya merekalah yang akan terkena dampaknya. BBM bukanlah barang yang mutually exclusive, artinya ketika BBM naik, harga bahan pokok akan ikut naik:
Data di atas adalah data pengeluaran masyarakat di daerah perkotaan dan pedesaan, dapat dilihat bagaimana bahan pokok menjadi mayoritas pengeluaran masyarakat baik di pedesaan maupun perkotaan. Dari data BPS september 2013 menunjukkan terjadi peningkatan jumlah penduduk miskin sebesar 0,48 juta sejak maret 2013. Kalau kita ingat-ingat, pada masa SBY menaikkan harga BBM sebesar masing-masing 1000 rupiah pada Juni 2013. Artinya kenaikan BBM turut menyumbang kenaikan angka penduduk miskin ini (Kompasiana).
Berapa banyak masyarakat lagi yang akan merasakan hal serupa seiring dengan kebijakan kenaikan BBM pada tahun 2014?
Kasus penggadaian kartu KPS kepada rentenir harus dipahami sebagai satu akibat yang tidak berdiri sendiri. Ada sebabnya, yaitu faktor kemiskinan. Dan, faktor itu pun tidak berdiri sendiri, tetapi dipicu oleh melambungnya harga-harga dan salahnya kebijakan pemerintah dalam masalah kenaikan BBM, inflasi yang tinggi, tidak bisa menyediakan lahan pekerjaan yang cukup, dan faktor-faktor lain yang terkait dengan masalah ekonomi dan pendidikan (bagaimana mau terlepas dari kemiskinan ketika tingkat pendidikan rendah?). Banyak faktor yang terlibat di sini. Dengannya diperlukan kebijakan yang holistik dan memerlukan analisis cermas, dan lebih berpihak pada masyarakat miskin.**[harjasaputra.com]