“Kamu cantik dan baik, maukah kamu jadi istriku?”
“Hah? Kamu jauh lebih tua dari aku. Aku nggak mau. Maaf, lagipula aku sudah punya pacar”
Tidak pernah terbersit di benak Alya penolakannya terhadap Heru tersebut merupakan awal dari petualangan hidupnya yang penuh dengan penderitaan.
Heru bertemu dengan Alya di saat Alya bekerja di perusahaan event organizer di Mataram. Alya, sebelas tahun lalu, baru berusia 19 tahun di saat pertama bekerja di perusahaan ini. Sikapnya yang periang, komunikatif, dan rupanya yang menawan, telah memikat hati Heru. Namun, Alya bukan wanita yang gampang jatuh cinta.
Alasan utama Alya menolak Heru lebih karena ia sudah memiliki calon pasangan hidup yang menurutnya sangat cocok, Affan namanya. Seorang pemuda yang selalu setia menemani, bahkan setia mengantarkan makan untuknya. Sosok pria yang penuh perhatian. Maklum, Alya sangat susah kalau untuk urusan makan. Ia punya kelainan pencernaan. Tidak bisa makan nasi keras. Jika dipaksakan kepalanya langsung pusing. Affanlah yang selalu mengingatkannya untuk makan, bahkan setia menghampirinya ke kantor atau tempat event hanya untuk menemani Alya makan. Alya dan Affan sudah lama menjalin cinta, karena dulunya teman sekelas sejak SMP.
Cinta bersemi seringkali karena faktor waktu: sering bertemu lalu timbul perasaan suka. Waktu itu ajaib, bisa merubah dua orang teman menjadi sepasang kekasih, bisa merubah seorang atasan dan bawahan menjadi sepasang suami-istri. Waktu jugalah yang kemudian merubah hidup Alya sedemikian rupa. Tidak pernah ia duga sebelumnya. Hasratnya untuk dapat hidup bersama Affan kandas di tengah jalan.
Heru sejak ia ditolak oleh Alya, seketika berujar: “Awas, kita lihat saja, kamu akan menjadi jodohku”.
Tidak lama dari itu, entah kenapa, Alya merasakan hal berbeda. Mendadak benci dengan Affan, pria yang sangat ia cintai. Berbalik mencintai Heru. Semenit tanpa ada kabar dari Heru, perasaan Alya tidak karuan. Langsung menangis. Affan ia campakkan. Di pikirannya yang terbayang hanya wajah Heru: sosok tua yang dulu ia tolak.
Cinta ditolak dukun bertindak. Mungkin ungkapan ini cocok untuk menggambarkan alasan perubahan sikap Alya. Heru sejak ditolak berusaha menempuh jalan magis untuk menaklukkan hati Alya. Dan memang berhasil. Alya seakan menjadi boneka: mendadak tidak bisa menggunakan akal sehatnya lagi. Apapun permintaan Heru selalu diiyakan. Bahkan ketika Heru mengajak menikah. Alya langsung bilang iya saja.
Singkat kata, Alya dan Heru pun menikah dan dikarunia seorang anak perempuan cantik dan lucu. Nhaya namanya. Waktu pun berlalu cepat, pernikahan itu karena awalnya hanya didasari oleh cinta semu, cinta magis yang datang bukan dari perasaan alami tetapi perasaan yang dikendalikan oleh roh jahat, akhirnya bubar. Bubar karena Alya tersadar. Mungkin karena pengaruh magisnya sudah memudar. Tersadar kenapa dirinya bersama Heru bukan dengan Affan. Namun, ia pun sadar, tidak bisa meninggalkan Nhaya sang buah hatinya. Meskipun terhadap Heru ia kembali membenci dan selalu ingat Affan, cintanya pada Nhaya lebih besar dari itu.
Cinta tidak bisa dipaksakan. Itu juga yang dirasakan oleh Alya. Meskipun sudah berusaha untuk mendampingi Heru karena lebih cinta pada Nhaya tetapi pertengkarannya dengan Heru selalu mewarnai hari-hari yang dilewati. Tak mampu lagi menahan itu, akhirnya Alya memutuskan untuk berpisah dengan Heru. Rumah tangganya bubar, berujung di meja hijau.
Inilah babak baru hidup Alya yang dirasakan penuh dengan air mata. Perpisahan dengan Heru tidak menjadi masalah, tetapi perpisahan dengan anaknya sendiri, Nhaya, adalah yang terberat. Nhaya dibawa kabur oleh Heru ke luar pulau NTB. Entah di mana ia sekarang berada. Terakhir ia mendapat kabar dari keluarga Heru yang di Mataram bahwa Nhaya dibawa oleh ayahnya ke NTT. Namun tidak diberi tahu di mananya. Keluarga Heru pun seakan bersekongkol untuk memisahkan Nhaya dengan ibu kandungnya sendiri.
Sudah empat tahun berlalu sejak perpisahan dengan Heru, Alya merasakan rindu mendalam pada anaknya. Dapat dibayangkan betapa hatinya hancur ketika mengenang canda-tawa Nhaya. Hanya bisa membayangkan. Betapa pun rindunya pada Nhaya tetapi kenyataan berkata lain: ia terpisah dari Nhaya yang 9 bulan dikandung dalam janinnya dan yang ia jaga sejak kecil.
“Mamah bohong, katanya ayah belum gajian, kok di dompet mamah banyak uang”, kenang Alya ketika menceritakan bagaimana Nhaya yang bawel protes pada dirinya ketika ia minta dibelikan baju tapi dijawab dengan alasan belum gajian. Nhaya mengiyakan saja. Anak yang baik dan penurut. Namun ketika ia meminta es krim di saat Alya sedang memasak, ia menyuruh ambil sendiri uang di dompetnya. Seketika Nhaya melihat uang yang Alya lupa sembunyikan.
Air mata Alya tak mampu lagi dibendung ketika mengenang tingkah-laku Nhaya yang menggemaskan. Naluri seorang ibu yang pasti sangat menyayangi anaknya sendiri. Apalagi kalau melihat boneka Pooh ia langsung teringat anaknya, karena Nhaya sangat menyukai Pooh.
Alya sejak berpisah dari Heru kembali ke rumah orang tuanya. Berusaha untuk menata kembali hidupnya. Meskipun masih berharap kembali ke dekapan Affan, tetapi orang tua Affan tidak menyetujui. Karena memang dulu Alya-lah yang mencampakkan Affan. Alya pun sadar diri. Membiarkan kekasihnya untuk hidup bersama orang lain. Meskipun Affan juga masih mencintai Alya tetapi kehendak orang tua tidak bisa dilawan.
Ia kini bekerja di sebuah perusahaan finance di Praya, Lombok Tengah, tak jauh dari rumahnya. Bekerja untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Dengan harapan tidak membebani orang tua. Hidup sebagai janda bukan angan-angan yang ia dambakan. Menjadi cibiran orang lain yang selalu memandangnya negatif. Tetapi ia berusaha tegar menjalaninya. Biarkan orang lain mau berkata apa, toh mereka tidak tahu apa-apa tentang dirinya.
“Jadi single parent atau janda itu tidak enak. Selalu dipandang negatif. Apa-apa diomongkan. Padahal mereka tidak tahu apa yang saya rasakan”, ujarnya.
Dari hasil jerih payahnya bekerja ia selalu menyempatkan untuk membelikan Nhaya hadiah ulang tahun. Ia antarkan ke rumah orang tua Heru dengan harapan disampaikan pada Nhaya meskipun ia tahu itu mustahil. Ia tahu hadiahnya tidak akan disampaikan. Itu semua dilakukan karena rasa cinta pada Nhaya yang sampai saat ini selalu membayangi benaknya.
“Berpisah dengan Affan, pria yang saya cintai begitu menyakitkan, tetapi lebih menyakitkan lagi berpisah dengan anak saya sendiri yang sudah empat tahun tidak tahu dimana ia berada. Entah sampai kapan. Saya mau anakku kembali..!”, ujarnya dengan air mata mengalir di pipi.**[harjasaputra]
——–
**Cerita berdasarkan kisah nyata.
Cerita kita sama namun saya dipisah dan di gantung oleh suami saya,anak saya di bw jg oleh dia dan di titipkan ke orangtuanya saya sempat ke rumah mereka tp cacian dan makian,yg saya dpt terakhir saya memeluk anak saya orangtua ikut campur,sekarang saya cuma bisa berdoa agar anak saya disana sehat dan selalu di jaga oleh allah,amin