Dulu saya termasuk orang yang haqul yakin bahwa kontes-kontes kecantikan adalah sesuatu yang tidak ada manfaatnya. Bagian dari budaya Barat yang harus ditentang. Bertentangan dengan budaya Timur. Melecahkan kaum wanita: wanita dijejerkan kemudian dipilih mana yang lebih cantik. Namun, everybody changes. Bukan berarti yang punya pendapat seperti itu salah. Silahkan berpendapat apapun, toh ini negara demokrasi. Semua pendapat dilindungi haknya.
Pergeseran mindset itu terjadi setelah melihat realitas kehidupan masyarakat di wilayah-wilayah yang sektor utamanya adalah pariwisata. Pariwisata identik dengan hiburan. Hiburan pun termasuk kebutuhan pokok manusia. Empat tahun berinteraksi langsung dengan masyarakat Lombok, di mana sektor pariwisata termasuk sektor penggerak ekonomi daerah tersebut. Tak jauh beda dengan daerah tetangganya, Bali, yang sudah terlebih dahulu berkembang pesat dari sektor pariwisata.
Di sinilah ideologi pribadi seakan berperang dengan fenomena realitas yang ada. Pelan tapi pasti, mindset itu bergeser. Bahwa, ternyata pendapat pribadi yang dicetak berdasarkan pendapat, doktrin orang tua, doktrin yang diperoleh melalui pendidikan, dan pengalaman hidup yang berbeda, tidak bisa digunakan semua untuk menilai suatu realitas. Ada banyak hal yang harus kita pahami, bukan sekadar pendapat dari nilai-nilai atau norma pribadi, apapun itu normanya: apakah agama, ajaran orang tua, atau bisikan dari guru-guru ngaji saya terdahulu.
Pariwisata berkembang dibangun oleh beberapa elemen pokok: (1) Sumber daya alam, seperti keindahan alam, tempat-tempat bersejarah, dan lainnya; (2) Budaya. Bali pesat karena di sana budaya lokal masih dan terus dilestarikan. Bahkan nilai jual Bali selain alamnya yang eksotis, juga ditopang oleh budaya; (3) Sumber daya manusia. Nah, di sini peran wanita cantik begitu sentral. Meskipun SDM tidak selalu identik dengan wanita cantik. Bisa juga dilihat dari manajerial industri pariwisata yang membutuhkan keahlian khusus dari sumber daya yang terampil. Namun, peran wanita cantik, adalah daya pikat tersendiri di wilayah pariwisata.
Apa kaitannya kontes kecantikan semisal Miss World yang tahun ini akan digelar di Bali dan Jakarta dengan pariwisata?
Pertama, pariwisata itu akan berkembang jika didukung oleh citra yang baik. Bali kembali banyak dikunjungi oleh turis asing karena citranya baik. Bandingkan setelah munculnya kasus pemboman di Bali! Jumlah turis merosot tajam. Bahkan beberapa negara, seperti Australia, mengeluarkan travel warning untuk warganya agar tidak kunjungi Bali.
Citra yang baik salah satunya diperoleh dari adanya rasa aman. Keamanan itu faktor penting. Tanpa ada rasa aman, maka mustahil citra suatu daerah itu baik. Ada hubungan resiprokal (timbal-balik) di situ antara faktor keamanan dengan citra.
Perhelatan Miss World 2013 memang bukan indikator utama yang akan dijadikan ukuran oleh dunia mengenai aman-tidaknya Indonesia. Tapi, jangan lupa, jika event besar dunia ini kemudian diwarnai oleh kegaduhan, apalagi kemudian batal diselenggarakan, ada event internasional lain setelah itu, yaitu APEC 2013 yang juga diselenggarakan di Bali pada Oktober. Ini akan mendegradasi citra Indonesia di mata dunia. Bahkan, tidak menutup kemungkinan, jika MW 2013 batalnya karena alasan keamanan, APEC pun terancam batal. Meskipun terselenggara tapi besar kemungkinan utusan-utusan dari negara mempertimbangkan lagi kehadirannya. Siapa yang mau datang jika rasa aman saja sesuatu yang langka?
Kedua, ada tujuan yang lebih besar dari hanya sekadar memperjuangkan “penutupan aurat”. Batasan aurat dari wanita saja berbeda substansinya antara satu agama dengan agama lain. Bahkan dalam satu agama pun berbeda. Ada tujuan yang lebih besar dari itu yang semua orang sepakat. Apa itu? Toleransi. Pemuka agama Hindu di Bali sebagai agama mayoritas penduduk di tuan rumah acara saja tidak keberatan, kenapa kok umat lain tidak membuka toleransi terhadap mereka.
Sila ke-3 Pancasila sebagai dasar negara yang dirumuskan secara konsensus oleh mayoritas tokoh agama sangat jelas: “Persatuan Indonesia”. Artinya persatuan itu ya bersatu, tidak merasa benar sendiri, yang lain salah. Bersatu untuk sama-sama memajukan Indonesia, bukan untuk sama-sama menghancurkan nama Indonesia di mata dunia.
Ketiga, jika memang kontes kecantikan dengan aurat terbuka itu tidak boleh, adakan kontes serupa, kontes tandingan yang tidak membuka aurat! Entah itu kontes wanita muslimah dunia atau apa namanya. Itu lebih bermartabat. Aksi dibalas dengan aksi. Jika kita tahu suatu perbuatan salah, maka harus menunjukkan perbuatan yang benar. Ini lebih memberikan efek sosial yang lebih luas, pariwisata juga berkembang, proses pendewasaan dalam memprotes juga mengarah ke arah yang dewasa. Protes itu boleh tapi protes dengan perbuatan yang lebih baik itu lebih dibenarkan.**[harjasaputra]