Indonesia secara data dan fakta merupakan negara paling dermawan. Itu sudah jelas dan tidak perlu diragukan lagi, sudah menjadi sifat yang inheren di diri setiap warga Indonesia. Tidak heran jika lembaga dunia Charities Aid Foundation (CAF) menobatkan Indonesia berkali-kali sebagai negara paling dermawan di seantero jagat raya.
Kotak amal di minimarket, tempat ibadah, bahkan di pinggir jalan selalu penuh. Kumpulan arisan ibu-ibu dan kelompok majelis taklim pasti ada ritual ‘menyumbang’ entah untuk tujuan kemanusiaan atau sekadar membeli peralatan atau seragam yang sebetulnya tidak penting-penting amat, namun karena jiwa kedermawanannya tinggi selalu memenuhi target.
Pesta pernikahan kita biasa kasih amplop. Nyumbang modal buat si pengantin dalam mengarungi kehidupan. Khitanan kasih amplop juga. Kumpulan bapak-bapak yang memiliki hobi yang sama, misalnya kelompok turing, ujung-ujungnya nyumbang juga untuk kegiatan tertentu.
Parkir sebentar di ruko ngasih tips. Kategorinya nyumbang juga. Ke peminta-minta di jalan raya pun nyumbang. Sudah tidak aneh pemandangan orang-orang menyediakan uang pecahan kecil di mobil hanya untuk memberikan tips, entah untuk peminta-minta, pengamen, dan banyak jenis lagi. Itu semua demi sebuah ritual mulia: ‘menyumbang’.
Pokoknya–sengaja menggunakan kata pokoknya karena jika dirinci akan banyak sekali–setiap sendi kehidupan masyarakat di Indonesia sangat akrab dengan kegiatan kedermawanan, charity, fundraising, philantrophy, dan istilah lainnya.
Lembaga kemanusiaan Aksi Cepat Tanggap (ACT) kini sedang limbung sejak dihantam pemberitaan Majalah TEMPO. Dugaan dana kemanusiaan digunakan untuk mensejahterakan para petinggi ACT, penyalahgunaan peruntukan dana, dan dugaan aliran dana ke aktivitas terlarang, mewarnai banyak pemberitaan media.
Apakah hal itu akan mempengaruhi minat orang Indonesia untuk menyumbang? Saya berani mengatakan, tidak akan. Fenomena itu tidak akan berpengaruh terhadap penurunan minat masyarakat untuk menyumbang. Mungkin aliran sumbangan terhadap ACT akan menurun, namun bukan berarti masyarakat akan putus-asa untuk menyumbang, melainkan akan mengalihkan ke tempat lain.
Apa sebab? Kata kuncinya adalah karena “memberi merupakan kebahagiaan”. Nilai ini tertanam kuat dan tidak perlu ada yang mengajarkan bagi masyarakat kita. Implementasinya, jangan heran kalau di banyak daerah, masyarakatnya mungkin saja tergolong “miskin”, tetapi tingkat kebahagiaannya tinggi. Di Yogyakarta misalnya, provinsi dengan nilai kebahagiaan tertinggi, namun kemiskinan juga tinggi. Ini menunjukkan bahwa “tidak mesti kaya untuk menjadi bahagia”, tidak mesti berlebih untuk memberi.
Orang Indonesia sudah khatam, sudah lulus berkali-kali, terhadap fenomena uang sumbangan dibawa lari atau disalahgunakan. Ada tokoh agama yang punya gerakan sedekah, bahkan dengan tendensi memaksa. Sedekah dibungkus dengan kegiatan investasi, kemudian bermasalah. Biasa saja tuh kita. Kita sudah lulus dengan ujian seperti itu. Tidak menyurutkan minat terhadap aktivitas charity.
Aktivitas menyumbang masyarakat kita sudah berada pada level tertinggi, yaitu “memberi adalah memberi”. Susah mendefinisikan, dan memang tidak perlu didefinisikan. Cukup dipraktekkan. Definisi berarti kita memberikan batasan, sementara memberi tidak ada batasannya.
Terus maksud judul “jangan semangat, tetaplah putus asa untuk menyumbang” apa? Ya tidak ada. Judul doang..:v :v.*
Bikin sakit hati
Sabaar bang..orang sabar pasti kesel..haha