Mengenai ODHA saya teringat seorang teman, Hasan Mawardi namanya, ia pernah melakukan penelitian untuk tesis S2-nya di Universitas Indonesia, terkait ODHA. Kebetulan saya sempat membantu dalam penghitungan statistiknya dan melihat penelitian yang ia lakukan sangat bagus: berinteraksi langsung dan melakukan konseling terhadap pasien ODHA hingga melakukan pengetesan tingkat CD4 (angka kekebalan tubuh) sebelum dan sesudah konseling.
Ada banyak kisah yang ia tuliskan di hasil penelitiannya yang kini dapat dilihat di perpustakaan UI. Berikut ini adalah kisah dua orang ODHA yang ia amati dan tuliskan dalam penelitiannya.
TM, laki-laki kelahiran Jakarta tahun 1976, sejak dinyatakan positif HIV (ODHA) di tahun 2005 ia menyatakan diri keluar dari tempatnya bekerja di sebuah perusahaan susu di Jakarta. Menurutnya, alasan ia keluar lebih karena kekhawatirannya kalau HIV yang dideritanya dapat menular kepada teman-teman yang lain, di samping ada sedikit percekcokan dengan rekan kerja.
TM mengaku telah mendapatkan perlakuan yang tidak biasa. Kendati begitu, teman-temannya tidak berani berterus terang. “Saya kadang melihat, kalau habis pakai telepon pasti mereka lap dengan tissu. Tapi saya juga tidak dapat salahkan mereka karena memang mereka belum banyak tahu tentang HIV/AIDS,” tuturnya.
TM kerap mengalami diskriminasi, baik di tempat kerja hingga keluar dari pekerjaan, juga di lingkungan tempat tinggal. Sebagai seorang relawan AIDS dia kerap diminta berbicara di berbagai tempat. Sampai suatu saat wajahnya muncul di TV.
Tampilnya TM di TV membuat ”malapetaka”. Warga perumahan tempat dia dan keluarga tinggal mulai menunjukkan keberatan jika ada ODHA yang tinggal disitu. Secara langsung tetangga yang sempat melihat ia di TV dan di beberapa koran langsung datang ke rumah dan bertanya akan kebenaran berita tersebut.
Untuk meredakan ketegangan, ia berusaha memberikan informasi tentang HIV/AIDS kepada pengurus RT dan RW serta warga setempat. Stiker terkait HIV pun mulai ia tempel di hampir semua tempat; warung-warung, pos jaga, lapangan olah raga, dan sebagainya. Setelah diberikan penyuluhan, mereka sedikit-demi sedikit mau mengerti bahwa AIDS tidaklah seseram seperti yang selama ini mereka bayangkan.
Selain di masyarakat, perlakuan diskriminasi juga ia rasakan terjadi di lingkungan rumah sakit, petugas kesehatan, tokoh agama, dan juga media. Dulu rumah sakit enggan menerima pasien HIV/AIDS dengan alasan akan menunurunkan citra. Menurutnya, “kekhawatiran itu tidak terbukti. Beberapa Rumah sakit seperti Dharmais, MMC Cikini yang banyak menerima pasien ODHA, sampai sekarang selalu saja penuh.”
Kisah TM ini menunjukkan bahwa perlakukan diskriminatif masih terjadi terhadap ODHA. Namun ia patut bersyukur karena memiliki kedua orang tua yang mau mengerti dan bahkan tetap memberikan dukungan untuk tetap optimis menjalani hidup. Keduanya tidak pernah menyalahkan, sebaliknya meminta anak laki satu-satunya itu untuk mengevaluasi diri atas apa yang telah dilakukan di masa silam, mengambil pelajaran darinya, dan mengerjakan apa yang masih dapat dilakukan untuk menyongsong dan membangun masa depan. Tidak sebagaimana keluarga tertentu yang sudah tidak mau tahu lagi berhubungan saat mengetahui anggotanya berstatus ODHA, keluarga dapat menerima dengan baik keberadaan TM di tengah-tengah mereka, tanpa setigma dan diskiriminasi.
Perlakuan diskriminasi dialami juga oleh MN. Dia dinyatakan positif HIV karena kebiasaannya mengkonsumsi narkoba lewat jarum suntik (IDU). Pada awalnya ketika pihak keluarga baru mengetahui, mereka mulai memisahkan semua peralatan makan yang ia digunakan. Bahkan seprei, kasur, guling dan bantal sampai kamar mandi pun terpisah. “Banyak orang belum mengerti bagaimana virus HIV itu dapat menular, termasuk keluargaku sendiri,” ujarnya dengan nada sedih.
Setelah mengetahui dirinya positif HIV, MN yang pernah bekerja di sebuah Supermarket, mengundurkan diri karena tidak sanggup terus menerus menutupi statusnya sebagai ODHA. Jika teman-teman di kantor tahu, ia yakin akan diasingkan bahkan dikeluarkan. “Sebelum hal itu terjadi lebih baik saya keluar dulu,” ungkapnya.
Ia sendiri sempat kaget dan depresi ketika hasil tes darahnya dinyatakan positif mengandung HIV. Status sebagai ODHA telah membuatnya terbatasi melakukan aktivitas yang dulu dapat ia jalani. Iapun tidak lagi aktif di klub sepak bola dan voli yang menjadi olah raga paporitnya. Selain itu, latarbelakang sebagai pengguna narkoba dan mantan narapidana telah membuat masyarakat mencibir dan tidak welcome terhadap keberadaannya.
Vonis sebagai ODHA benar-benar sempat membuat dirinya dihantui perasaan bersalah, merasa tidak ada gunanya lagi hidup dan stres menghadapi kenyataan dan perlakuan diskriminasi dari lingkungan sosialnya. Masalah lain yang cukup serius adalah masalah keuangan. Dengan pendapatan orang tua yang hanya pensiunan dan ibu yang hanya penjual gado-gado ia tidak dapat menuntut banyak kepada keduanya.
Sebagai laki-laki normal, ia pun berkeinginan untuk membina sebuah rumah tangga, namun –ujarnya- ”siapa pula wanita yang bersedia menikah dengan ODHA”. Status ODHA membuatnya sangat pesimistis dalam melihat segala sesuatu.
Menurutnya, perlakuan diskriminasi ternyata tidak hanya datang dari masyarakat saja, iapun sempat kehilangan kepercayaan dari keluarga sendiri sehingga segala aktivitasnya selalu diawasi. Meminta seribu rupiah pun akan ditanya untuk apa, lebih-lebih jika ia meminta dengan jumlah besar.
Baik TM maupun MN sama-sama pernah merasakan krisis makna dalam hidupnya sehingga berlari pada Narkoba. Pernyataan berhenti, kesediaan memeriksa kembali jumlah CD4-nya dan kemauannya melakukan konsultasi, keinginan bekerja dan beraktivitas mengindikasikan adanya perubahan dalam pemaknaan hidup bersangkutan. Jika sebelumnya problem HIV/AIDS membuat mereka kehilangan makna hidup, kini mereka justru menyadari akan pentingnya saat sehat dalam hidup.
—–
Referensi: Hasan Mawardi, Pengaruh konseling Islami terhadap Kecerdasan Adversitas (AQ) dan Kecerdasan Spiritual (SQ) ODHA: Studi kasus di Yayasan True Hope Pamulang, Tangerang, Tesis S2 UI, 2008.