Categories: Sosbud

HP Model Terkini Tapi Tak Punya Pulsa

Ilustrasi: republika.co.id

Punya HP baru dengan model terkini siapa yang tidak mau. Bila perlu, rela antri berdesakan untuk mendapatkan gadget idaman. Gaya hidup “update” ternyata bukan hanya di status, tetapi di medianya pun harus update. Ada model terbaru dikejar. Tapi ada yang ironis, HP keren model terbaru tak menjamin ada pulsanya. Mari kita bertanya satu pertanyaan yang boleh jadi simpel: “Sebetulnya yang penting itu handset atau pulsa?” Dua-duanya tentu penting. Masalahnya banyak orang, terutama para remaja, lebih mementingkan model handset daripada isi (pulsa)nya. Pulsa mungkin hanya 5000 atau paling top 10.000 diirit-irit biar bisa cukup 5 hari. Dibelilah Simcard yang banyak bonusnya. Tapi kalau urusan handset gadget jangan ditanya, selalu update dengan model terbaru. Inilah gaya hidup stereotif mayoritas pengguna gadget. Sama dengan gaya hidup orang yang bermobil. Mobil mahal terbeli tapi kalau disuruh beli bensin non-subsidi nanti dulu. Seharusnya, kalau mobil bagus terbeli konsekuensi selanjutnya harus tahu juga bahwa mobil tersebut “minum”nya bahan bakar tanpa timbal. Tapi tidak seperti itu.

Sama juga dengan gaya hidup orang yang mampu beli komputer mahal (tipe intel i3, i5 atau i7) yang harganya jutaan tapi kalau urusan software lebih pilih beli yang bajakan toh cuma 25 ribu rupiah dibanding yang original bisa jutaan. Padahal software tak kalah penting dibanding hardware. Kembali menanyakan, “yang penting itu hardware atau software”?

Kalau diperluas, model gaya hidup itu mampir juga di model pernikahan. Resepsi pernikahan bisa 30 juta, 50 juta bahkan bisa 100 juta. Biaya itu untuk sewa gedung, catering, Wedding Organizer, dan segala macamnya. Tapi setelah selesai resepsi pernikahan, sibuk cari rumah kontrakan. Lho jadi yang lebih penting itu resepsi atau rumah?

Ini berlaku juga untuk sumbang-menyumbang. Mayoritas orang mau menyumbang untuk pembangunan sarana fisik tetapi jarang yang mau menyumbang untuk pengelolaannya. Sumbangan pembangunan panti marak, tetapi sumbangan untuk pengelolaan atau pemeliharaannya hampir nihil. Apalagi sumbangan untuk honor pengurusnya nihil. Sumbangan untuk pembangunan rumah ibadah pun sangat marak, tapi marbot (pengurus masjid) gajinya seadanya. “Hitung-hitung ibadah pak”, ungkapan pelipur lara.

Bahkan, gejala ini muncul juga pada saat menilai kredibilitas kyai. Ustadz yang laku adalah yang ganteng, necis, kocak, bisa menghibur, dan pokoknya laku di layar kaca. Tak peduli isi ceramahnya. Separuh ceramahnya melawak tak masalah. Jadi yang penting itu penampilannya atau isi ceramahnya?

Inilah dampak dari empirisme kapital. Sesuatu diukur dari apa yang tampak dan bisa diukur dengan harga. Di luar yang tampak dan bisa dihargai luput dari perhatian. Paradigma Cartesian tanpa disadari sudah merasuk ke relung kesadaran mayoritas manusia. Cartesian dapat dicirikan pada dominasi hal-hal yang nyata. Perkembangan peradaban diukur dari kesejahteraan materiil, yaitu seberapa besar penghasilan, atau seberapa besar devisa. Lingkungan? No way. Bila perlu dibabat habis dengan alasan pembangunan. Mal-mal berdiri megah sebagai basis perputaran ekonomi meskipun harus menimbun laut, menggusur pemukiman, atau membabat hutan kota. Sepertinya harus ditata ulang mindset kita.**[harja saputra]

Harja Saputra

Blogger | Serverholic | Empat Anak | Satu Istri | Kontak: me@harjasaputra.com

Share