Seorang pengunjung blog saya pagi ini berkomentar di salah satu tulisan menginformasikan satement Abimanyu Wachjoewidajat, yang biasa dipanggil Abah, di salah satu media online (ini linknya). Beliau adalah pakar IT. Dalam salah satu butir tulisannya ia membuat statement mengenai Gerakan Matikan HP sebagai berikut: “Timbul gerakan masyarakat yang mematikan ponsel selama jam 10 – 12 sabtu ini, yang justru tidak efektif dan penggagasnya mungkin tidak mengerti cara kerja SMS.”.
Pengunjung blog itu (mas WM) pun memberikan link akun FB Abimanyu, dan dia sudah berkomentar wall beliau dengan nada pembelaan pada saya. Ia berkomentar: “Baca dulu yg lengkap mengenai tujuan gerakan matikan HP sebelum berkomentar. Tujuannya bukan sesepele yg anda utarakan.” Wah, ternyata saya sudah punya pendukung yang loyal.
Terlepas dari ada yang mendukung atau tidak, sepertinya Abimanyu, Ahli IT yang tidak mengerti masalah sosial budaya. Padahal, saya tidak pernah menyerang atau menyalahkan ide siapapun. Hanya menggagas melakukan gerakan massal menyuarakan kepentingan pengguna ponsel Indonesia yang berjumlah lebih dari 220 juta orang. Tapi, kenapa Abimanyu seakan ingin tegak dengan menginjak orang lain? Saya tidak tahu alasannya.
Kalau yang berkomentar sekelas komentar-komentar di forum-forum yang mengkritik, saya tidak terlalu menghiraukan. Tapi ini sudah seorang ahli yang berbicara. Tentu punya motif. Dan saya harus menjawabnya dan mendudukkan permasalahan agar bisa dipahami oleh orang sekaliber “ahli IT”.
Orang menggunakan HP sebagai media tidak harus mengerti IT. Itu sudah pasti. Yang penting bisa untuk berkomunikasi. Ini aspek budayanya. Kenyataan bahwa maraknya pencurian pulsa ini juga fakta yang tidak bisa disangkal. Nah, apakah orang harus mengerti tentang IT dulu jika harus protes masalah pencurian pulsa? Apakah dengan berteriak melakukan protes bersama itu salah?
Aspek sosial budaya lain adalah karena lambatnya penanganan dari para pihak untuk menangani kejahatan pencurian pulsa inilah yang memicu jutaan konsumen ponsel Indonesia protes bersama. Masalah teknisnya apakah berpengaruh atau tidak berpengaruh, ini adalah masalah beda persepsi. Abimanyu hanya memandang dari satu sisi saja. Dari sisi IT. Padahal hidup selalu kompleks. Faktor sosial budaya jangan diabaikan. Konsumen berhak untuk protes itu adalah hukum dasar yang tidak bisa disangkal juga.
Protes bersama dengan Gerakan Matikan HP adalah gelombang massa dari arus bawah untuk mendorong penanganan pencurian pulsa secara massal. Alasan-alasan dari semua tuntutan yang kami serukan sudah dijelaskan. Teknis secara IT-nya bagaimana, itu urusan dia yang harus merumuskan dari aspek IT-nya. Tapi jangan pernah menyalahkan konsumen yang melakukan protes atau berhadapan dengan gelombang massa.
Saya paham bahwa meskipun HP dimatikan SMS akan masuk kembali ketika HP dihidupkan. Tidak perlu ahli IT untuk memahami itu. Semua orang juga tahu. Ada cara lain yang sangat efektif untuk menstop konten-konten liar itu. Yaitu apa? Menekan pihak-pihak pengambil kebijakan dan para operator. Inilah yang kami sebut sebagai shock theraphy: membuat gerakan agar para pemegang kebijakan dan operator mengatur konten-konten liar. Cara penangkalan tidak hanya dari cara teknis, tapi ada cara lain. People power is one the best. Percuma saja hal-hal teknis diurusin tetapi pengambil kebijakan tidak ada niat untuk memperbaiki. Gerakan inilah fungsi kontrol sosial bagi pihak-pihak tersebut.
Dengan ini, saya berharap agar Abimanyu memahami dan tidak mengatakan gerakan ini tidak efektif. Buktinya seperti yang saya tulis dari hasil analisis gerakan, bahwa pada hari yang sama BRTI dan para operator sudah berniat untuk menghapuskan konten-konten siluman. So? Mana yang lebih efektif menurut Anda?**[harja saputra]