Analisisi muatan pengaturan UU Cipta Kerja bidang keagamaan (Haji dan Umrah) dengan UU Penyelenggaraan Ibadah Haji dan Umrah
UU Cipta Kerja selain mengatur tentang ketenagakerjaan, di dalamnya mengatur banyak aspek, termasuk Perizinan Berusaha dari sektor keagamaan, khususnya bidang Haji dan Umrah. Termuat dalam Paragraf 14: Keagamaan.
Ada beberapa perubahan pengaturan pada UU Cipta Kerja dibandingkan dengan UU existing, yaitu dalam UU Nomor 8 Tahun 2019 tentang Penyelenggaraan Ibadah Haji dan Umrah.
Baca Juga: Download Sofcopy Lengkap UU Cipta Kerja
Untuk melihat lebih rinci perbedaannya, saya sertakan juga di akhir tulisan link untuk download sandingan antara UU Cipta Kerja dengan UU Penyelenggaraan Haji dan Umrah dalam bentuk tabel yang sudah saya tandai perbedaan-perbedaannya untuk memudahkan analisa.
Mari kita tengok apa saja perbedaannya?
Pertama, perizinan untuk berusaha sebagai PPIU (Penyelenggara Perjalanan Ibadah Umrah). Pada draft awal RUU Cipta Kerja tidak mencantumkan keharusan dimiliki oleh warga negara Indonesia yang beragama Islam. Pasal ini dinilai membuka kran liberalisasi bisnis umrah. Bisnis umrah dalam negeri dapat dimiliki secara bebas oleh pihak asing dan/atau pengusaha yang tidak memahami masalah syariat Islam.
Pada UU Cipta Kerja yang sudah disahkan, syarat harus dimiliki oleh warga negara Indonesia yang beragama Islam dicantumkan kembali sebagaimana pengaturan dalam UU Penyelenggaraan Ibadah Haji dan Umrah dan termuat pada perubahan Pasal 89.
Namun, mengenai perizinan berusaha PPIU yang awalnya dalam UU Penyelenggaraan Ibadah Haji tercantum rinci kemudian hilang dan berganti dengan NSPK (Norma, Standar, Prosedur, dan Kriteria) yang akan diatur dengan PP (perubahan Pasal 89). NSPK-nya seperti apa? Harus dilihat pengaturan dalam PP-nya nanti.
Kedua, masa berlaku akreditasi Penyelenggara Ibadah Haji Khusus (PIHK) selama 3 tahun dihapus. Berganti dengan pengaturan yang akan ditentukan dalam Peraturan Pemerintah. Apakah masa berlaku akreditasi untuk PIHK ini akan dicantumkan kembali atau tetap hilang, harus menunggu isi dari PP (perubahan Pasal 85).
Adapun masa akreditasi PPIU tenggatnya menjadi lebih lama, yang awalnya 3 tahun menjadi 5 tahun (pengubahan Pasal 104). Tujuannya mungkin agar pengusaha tidak terlalu sering disibukkan dengan proses pengurusan akreditasi. Jangka waktu 5 tahun dinilai lebih moderat dibandingkan dengan hanya 3 tahun.
Ketiga, hampir semua wewenang peraturan turunan dari UU Penyelenggaraan Ibadah Haji dan Umrah yang memberikan mandat kepada Menteri Agama untuk mengatur pelaksanaan Undang-undang diambil alih oleh Peraturan Pemerintah. Misal tentang perizinan usaha Haji Khusus, izin usaha umrah, pengawasan, pengaturan sanksi, akreditasi, dan pengaturan lain yang awalnya wewenang Menteri Agama diambil alih oleh Pemerintah Pusat.
Pengertian Pemerintah Pusat dalam UU Cipta Kerja sudah dicantumkan, yaitu mencakup: Presiden Republik Indonesia yang memegang kekuasaan pemerintahan negara Republik Indonesia yang dibantu oleh wakil Presiden dan menteri sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Dengan demikian, Peraturan Menteri yang sudah ada besar kemungkinan isinya akan diadopsi menjadi Peraturan Pemerintah. Namun, kendala dalam praktek, penerbitan Peraturan Pemerintah umumnya memakan waktu lebih lama dibandingkan dengan Peraturan Menteri. Hal ini karena proses pembuatan PP melibatkan bukan hanya satu Kementerian/Lembaga, tetapi oleh lintas kementerian/lembaga yang terkait. Memerlukan waktu, koordinasi, dan proses yang lebih panjang.
Tampaknya Pemerintah ingin memegang kendali penuh masalah bisnis dalam satu pintu untuk menghindari tumpang-tindih pengaturan, terutama mengenai Perizinan Berusaha dan yang terkait dengan peraturan yang menghambat kemudahan berusaha.
Keempat, pengawasan atas penyelenggaraan ibadah umrah oleh aparatur tingkat daerah dihapus. Pengawasan hanya dilakukan oleh aparatur tingkat pusat (perubahan Pasal 99).
Hilangnya pengawasan dari aparatur daerah ini berpotensi meminimkan pengawasan. Pengalaman dari berbagai masalah umrah di banyak daerah, pengawasan dari aparatur pusat tanpa dukungan aparatur daerah tidak efektif. Karena alasan tersebut, dalam UU Penyelenggaraan Ibadah Haji dan Umrah melibatkan juga aparatur tingkat daerah untuk ikut terlibat mengawasi pelayanan, pembinaan, dan perlindungan terhadap jemaah umrah. Namun kemudian dalam UU Cipta Kerja hilang.
Mengenai poin ini, tidak ada butir pengaturan lanjutan akan diatur dalam PP. Berarti pengaturan mengenai tidak dilibatkannya aparatur tingkat daerah adalah final.
Akan ada multitafsir mengenai hal ini. Di satu sisi, aparatur atau pegawai Kementerian Agama di daerah bersifat vertikal, bukan pegawai Pemerintah Daerah, sehingga bisa dikatakan aparatur Kementerian Agama di daerah adalah juga aparatur pemerintah pusat. Aparatur dalam pengertian yang ada di daerah-daerah tetap dapat mengawasi kegiatan penyelenggaraan umrah meskipun dalam UU Cipta Kerja aparatur daerah sudah tidak punya wewenang lagi mengawasi umrah.
Di sisi lain, jika demikian penafsirannya, lantas kenapa dalam UU Penyelenggaraan Ibadah Haji dan Umrah yang notabene dalam pembuatannya melibatkan juga pejabat Kementerian Agama RI tetap mencantumkan pelibatan aparat daerah dalam pengawasan penyelenggaraan ibadah umrah? Itu artinya, penafsiran di atas tidak mampu menjangkau mengenai urgensi pengawasan penyelenggaraan ibadah umrah di daerah-daerah.
Baca Juga: Perbandingan Pengaturan Sertifikasi Halal antara Undang-Undang JPH dengan UU Cipta Kerja
Kelima, adanya jangka waktu penelantaran jemaah, baik jemaah haji maupun umrah. Ditetapkan waktunya adalah paling lama 5 hari.
“Jika dalam waktu paling lama 5 hari tidak memulangkan Jemaah Haji Khusus dan jemaah umrah ke tanah air, dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun atau pidana denda paling banyak 10 miliar” (perubahan Pasal 125 dan 126).
Tenggat waktu ini tidak ada dalam UU Penyelenggaraan Ibadah Haji dan Umrah. Tujuannya agar tidak ada lagi kasus-kasus penelantaran jemaah haji khusus maupun jemaah umrah.
Keenam, selain adanya tenggat waktu dalam pemidanaan atas tindakan penelantaran jemaah, PIHK dan PPIU akan memperoleh sanksi administratif jika melakukan tindakan tersebut. Sanksi administratif dalam UU Cipta Kerja ditambah pengaturannya dengan munculnya Pasal baru, yaitu penambahan Pasal 118A dan Pasal 119A yang tidak ada dalam UU sebelumnya.
Penambahan sanksi jika melakukan penelantaran jemaah tersebut berupa: penghentian sementara kegiatan, denda administratif, paksaan pemerintah, pembekuan perizinan berusaha, dan/atau pencabutan perizinan berusaha. Selain itu, dikenai sanksi berupa kewajiban untuk mengembalikan biaya sejumlah yang telah disetorkan oleh Jemaah Haji Khusus serta kerugian immateril lainnya. Pengaturan rincinya akan diatur dalam PP.
Penambahan Pasal ini banyak dikeluhkan oleh para pengusaha travel haji dan umrah. Dalam audiensi Komisi VIII DPR RI dengan para asosiasi haji dan umrah, hal tersebut terungkap secara jelas. Mayoritas anggota asosiasi menyampaikan hal tersebut.
Ketujuh, dikecualikannya obyek pajak bagi Biaya Penyelenggaraan Ibadah Haji (BPIH) dan dana atau keuangan haji yang dikelola oleh BPKH. Hal ini tertuang dalam Bab Ketujuh UU Cipta Kerja yang mengatur mengenai Perpajakan Pasal 111.
Disebutkan bahwa: “Dana setoran Biaya Penyelenggaraan Ibadah Haji (BPIH) dan/atau BPIH khusus, dan penghasilan dari pengembangan keuangan haji dalam bidang atau instrumen keuangan tertentu, diterima Badan Pengelola Keuangan Haji (BPKH), yang ketentuanya diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan”.
Dari kutipan di atas, ketentuan mengenai pengecualian pajak bagi keuangan haji yang dikelola BPKH harus menunggu Peraturan Menteri Keuangan. Seperti diketahui, pajak dari keuangan haji lumayan besar, tahun 2019 mencapai 1.2 triliun, dan diperkirakan pada tahun 2020 mencapai 1.4 triliun. Dengan adanya pengecualian pajak dari UU Cipta Kerja ini, pajak dapat digunakan untuk peningkatan pelayanan bagi jemaah haji.*
Untuk melihat secara lebih jelas, silakan download tabel perbandingan UU Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja dengan UU Nomor 8 tahun 2019 tentang Penyelenggaraan Ibadah Haji dan Umrah yang sudah saya tandai di bawah ini .