Langsung ke inti permasalahan: bolehkah dana haji diinvestasikan ke infrastruktur umum, seperti jalan tol, pelabuhan, dan lainnya?
Jawaban singkat untuk pertanyaan itu adalah: jika dalam bentuk investasi langsung tidak boleh, sedangkan jika dilakukan melalui sukuk atau SBSN adalah boleh.
Itu jawaban singkatnya sebagai hasil dari telaah atas perundang-undangan mengenai hal tersebut. Berikut ini adalah jawaban panjang yang melandasi hal tersebut.
Wacana investasi dana haji ke infrastruktur umum ini sudah lama disuarakan dan kembali menguat pada saat orang nomor satu di Negara ini memberikan arahan pada saat pelantikan Dewan Pengawas dan Badan Pengelola Keuangan Haji.
Pertama, perlu diingat bahwa apapun kebijakan dan strategi pengelolaan keuangan haji harus berdasarkan peraturan perundang-undangan. Siapapun tidak bisa mengeluarkan kebijakan atau bertindak di luar peraturan perundang-undangan, termasuk Presiden sekalipun.
Payung hukum pengelolaan keuangan haji diatur oleh Undang-undang Nomor 34 Tahun 2014. Namun, undang-undang itu mengamanatkan banyak peraturan turunan yang belum semuanya ada hingga saat ini, termasuk tata cara pengelolaan keuangan haji.
Tata cara pengelolaan keuangan haji harus dituangkan rincian dan kebijakannya dalam Peraturan Pemerintah. Hal ini amanat dari Pasal 48 Ayat (3) Undang-undang Nomor 34 Tahun 2014.
Dalam PP ini nantinya harus diatur mengenai: berapa persen maksimal investasi di produk perbankan, surat berharga, emas, investasi langsung dan investasi lainnya. Investasi langsung dan investasi lainnya juga harus dijabarkan rinci, ke sektor apa saja yang diperbolehkan.
Berdasarkan hal tersebut, daripada membuat gaduh dengan wacana-wacana yang tidak jelas standar hukumnya, maka lebih baik fokus menyusun PP yang diamanatkan tersebut. PP ini adalah nyawa dan panduan bagi BPKH nantinya untuk melakukan pengelolaan keuangan haji, termasuk penempatan dan investasi ke sektor apa saja.
Kedua, penempatan dan investasi dana haji, di antaranya harus berdasarkan prinsip syariah, tentunya dengan memperhatikan prinsip lain yaitu mempertimbangkan aspek keamanan, kehati-hatian, nilai manfaat, dan likuiditas.
Kenapa dengan prinsip syariah? Karena prinsip syariah ini disebut berulang-ulang dalam Undang-undang PKH. Saya hitung terdapat 5 (lima) kali prinsip syariah ini disebut dalam UU dan dengan frasa awal “HARUS”. Kalimat “Harus dengan Prinsip Syariah” disebut pada saat Undang-undang mengatur mengenai pengelolaan keuangan haji, khususnya pada saat membahas aktivitas penempatan dan investasi dana haji.
Masalah muncul ketika “Prinsip Syariah” ini didefinisikan. Dalam Penjelasan UU Nomor 34 tahun 2014, yang dimaksud dengan Prinsip Syariah adalah “semua dan setiap pengelolaan Keuangan Haji berdasarkan prinsip Islam yang kafah atau menyeluruh”.
Di situ disebutkan prinsip syariah digandengkan dengan prinsip Islam yang kafah. Ini harus membutuhkan penjelasan secara teknis. Karena, tidak disebutkan di situ apa yang dimaksud prinsip Islam yang kafah atau menyeluruh? Definisi Prinsip syariah dalam penjelasan undang-undang ini belum membumi. Belum memenuhi syarat dari definisi, yaitu “jami’ wa mani’”, “mencakup apa yang didefinisikan” dan “menolak selain cakupan dari yang didefinisikan”.
Perlu diingat, bahwa tidak pernah ada seorang pun, Negara mana pun, lembaga mana pun, yang pernah menjalankan Islam secara kafah atau menyeluruh, kecuali Nabi dan orang-orang suci. Coba beri saya contoh, siapa yang berani mengklaim telah mempraktekkan Islam kafah? Saya yakin tidak ada yang berani.
Mari kita ambil contoh agar lebih gampang: bagaimana prinsip Islam yang kafah itu memandang ketika dana haji yang mayoritas dari dana umat Islam digunakan untuk membangun pelabuhan yang digunakan bukan hanya untuk umat Islam saja dan tidak menutup kemungkinan akan digunakan juga oleh aktivitas yang di luar aturan Islam? Fungsi pelabuhan adalah fungsi umum. Pelabuhan bisa dijadikan alat untuk menopang kejahatan, tempat menambatkan kapal yang digunakan untuk mencuri ikan misalnya, menyelundupkan narkoba, membawa barang curian, dan sebagainya.
Bagaimana hukum Islam yang kafah itu memandang hal tersebut? Dengannya, butuh PP untuk menerjemahkan ini. PP harus juga memperhatikan fatwa dari Dewan Syariah dan ahli syariah karena untuk mengakomodir berbagai pandangan mengenai hal-hal di atas.
Ketiga, masih terkait dengan prinsip syariah. Dalam prinsip ekonomi syariah, setiap transaksi harus dikenali akadnya. Nah, apa sebetulnya akad dari dana haji ini?
Komposisi dana haji terbesar adalah: (1) dana setoran awal calon jemaah haji dan (2) nilai manfaat dari setoran awal tersebut. Tentunya, dana haji yang lain juga termasuk DAU, hasil efisiensi penyelenggaran ibadah haji, dan sumber lain yang sah dan tidak mengikat. Tetapi, secara komposisi terbesar adalah dari dua komponen tersebut.
Pada saat calon jemaah haji memberikan setoran awal, apa jenis akadnya? Ada dua sudut pandang di sini. Pendapat pertama, akad calon jemaah haji pada saat menyetor setoran awal haji di bank akadnya adalah wadi’ah (titipan), jenis wadi’ahnya adalah Wadi’ah Yad Adh-Dhamanah, artinya akad penitipan dana di mana pihak yang dititipi boleh memanfaatkan barang/uang tersebut.
Karena akadnya wadi’ah maka yang harus dijaga adalah hanya besaran setoran awal jemaah yang tidak boleh berkurang hingga jemaah itu berangkat. Adapun nilai manfaat dari setoran awal tersebut tidak harus dibagi kepada calon jemaah.
Makanya, tidak kita dapati calon jemaah memperoleh hasil dari hasil investasi yang dilakukan oleh Kementerian Agama selama ini. Meskipun demikian, karena ada amanat undang-undang bahwa nilai manfaat tersebut harus dipergunakan untuk mendukung penyelenggaraan ibadah haji, maka nilai manfaat tersebut dikonversi menjadi indirect cost setiap tahunnya.
Konversi indirect cost yang menjadi subsidi bagi setiap calon jemaah haji regular setiap tahun bukan sebagai imbal hasil jika dilihat dari akad ini, melainkan hanya sebagai bonus. Kelemahannya, tidak ada kontrol langsung dari calon jemaah haji sebagai pemilik langsung sumber dana haji.
Dan, kelemahan lainnya adalah, si pihak yang dititipi bebas-bebas saja menggunakan nilai manfaat dana haji untuk digunakan pada sektor apapun, termasuk pada yang non-halal. Ingat, nilai manfaat dana haji pernah diinvestasikan ke instrument SUN (Surat Utang Negara), di mana SUN bukan instrument syariah. Silakan lihat Laporan Keuangan Penyelenggaraan Ibadah Haji tahun 2015 dan 2016 jika tidak percaya.
Sesungguhnya, investasi dana haji ke infrastruktur umum memiliki paradigma berpikir pada akad ini. Adapun koridor syariah dan kemashlahatan umat Islam bisa dicari pembenarannya, bahwa infrastruktur ini sesuai dengan syariah karena untuk umat dan bla bla bla bla…
Sementara itu, sudut pandang kedua, dan ini yang nantinya harus diterapkan ke depan sejak berdiri BPKH, bahwa akad setoran awal calon jemaah haji adalah akad mudharabah muqayyadah. Calon jemaah haji yang menyimpan dananya di bank syariah memberikan batasan-batasan tertentu kepada bank atau BPKH dalam menggunakan dana yang disimpannya.
Jika setoran awal haji ini menerapkan akad ini, maka calon jemaah harus menandatangani formulir yang isinya berisi beberapa batasan seperti usaha yang harus dibiayai harus halal dan sebagainya. Selain itu, calon jemaah memperoleh hasil imbalan langsung dari hasil investasi ini. Jemaah haji, berdasarkan amanat Undang-undang, memperoleh bagi hasil dari aktivitas investasi, yang langsung dapat dilihat pada virtual account.
Atas dasar pandangan kedua di atas, maka aktivitas investasi sudah dipagari sendiri oleh si pemilik dana. Ini lebih akuntabel dan logis. Maka, investasi ke sektor infrastruktur umum, harus dikaji terlebih dahulu, apakah hal tersebut halal ataukah tidak.
Keempat, ada alasan mendasar lainnya. Amanat Undang-undang, BPKH dalam melakukan investasinya WAJIB—wajib lho ya—mendasari aktivitasnya untuk sebesar-besarnya kepentingan Jemaah Haji dan kemaslahatan umat Islam (Pasal 26).
Lihat frasa terakhir, yaitu “untuk sebesar-besarnya kepentingan jemaah haji dan kemashlahatan umat Islam”. Berarti dua objek yang harus disasar dari aktivitas tersebut, yaitu kepentingan jemaah haji dan kepentingan umat Islam. Hanya dua itu. Tidak ada objek lain. Kalimat ini jelas dan terukur. Siapa jemaah haji? Semua orang tahu. Siapa umat Islam? Semua orang juga tahu.
Dengan demikian, jika berpegang pada arti kalimat jelasnya, maka investasi langsung dana haji pada infrastruktur umum jelas menyalahi kedua objek tersebut.
Namun, pasti akan masih ada perdebatan mengenai frasa “kepentingan umat Islam”. Kepentingan umat Islam dapat ditafsirkan mencakup juga urusan umum yang dapat melibatkan umat non-Muslim. Ini ranah penafsiran yang memerlukan telaah dan fatwa lebih lanjut.
Beda halnya jika investasi ke sektor infrastruktur melalui sukuk atau SBSN. Sukuk atau SBSN sudah disepakati dan sudah ada fatwanya boleh. Hal ini karena SBSN adalah instrument keuangan syariah. Tetapi, masih harus juga diatur berapa persen dana haji yang diperbolehkan diinvestasikan ke SBSN infrastruktur, karena jika tidak demikian, dikhawatirkan investasi akan difokuskan ke instrument ini sehingga return yang harusnya dapat lebih maksimal menjadi tersendat.
Alasan-alasan lainnya mengenai investasi ke sektor infrastruktur, seperti dikhawatirkan dana haji akan hilang, kalau merugi bagaimana, calon jemaah haji tidak akan ridho, harus dipahami bahwa alasan itu sesungguhnya berkutat pada beberapa alasan fundamental di atas. Jika alasan fundamental di atas dapat dipecahkan, kekhawatiran itu tidak akan muncul.
Hal yang penting juga, daripada disibukkan pada wacana investasi langsung ke infrastruktur umum, lebih baik dana haji diarahkan untuk infrastruktur haji, seperti pembangunan hotel di Arab Saudi, pembelian transportasi darat sendiri milik Indonesia di Arab Saudi yang selama ini selalu menyewa, rumah sakit, dan infrastruktur lain yang jelas objeknya adalah: kepentingan jemaah haji dan umat Islam sesuai amanat undang-undang.**[harjasaputra]