Rumus hidup itu sederhana: tidak ada seorang pun yang tahu kapan ia akan mati. Itu ajaran lama yang rupanya kini sudah tidak berlaku. Ada saatnya seseorang bahkan tahu kapan ia akan mati, seperti para terpidana mati yang kini ramai diperbincangkan. Pro-kontra hingga memanasnya hubungan bilateral Indonesia dan Australia dipicu dari hukuman mati tersebut.
Saya sih sederhana melihatnya, meskipun tidak sesederhana itu memang. Bayangkan saja, bagaimana rasanya coba ketika seseorang tahu kapan ia akan mati? Tak dapat dibayangkan bagaimana perasaannya.
Sederhana dalam arti begini: apa sih sebenarnya tujuan dari hukuman mati itu?
Pertama, alasan yang paling banyak disajikan adalah untuk menimbulkan efek jera bagi pelakunya. Lha, bagaimana mau jera wong orangnya dibikin mati begitu. Jera bagi pelaku artinya ia tidak akan mengulangi perbuatan itu lagi. Kalau pelakunya dibikin mati bagaimana kita tahu ia jera atau tidaknya.
Kedua, alasannya katanya efek jera buat orang lain, bukan hanya buat pelakunya. Agar orang lain tidak meniru perbuatan yang dilakukan oleh si terpidana mati. Kalau itu tujuannya seharusnya eksekusi mati itu disiarkan secara langsung dan luas kepada masyarakat. Bila perlu dieksekusi di tempat umum biar orang lain melihat langsung. Baru tujuan efek jera pada orang lain tersebut tercapai. Ini kan tidak. Di-dornya kita tidak tahu benar atau tidaknya.
Siapa yang bisa menjamin bahwa eksekusi mati itu benar dilakukan? Dengannya tujuan efek jera bagi orang lain pun dalam hal ini tidak tercapai.
Ketiga, alasan lain adalah katanya karena kejahatan yang diperbuat oleh pelaku termasuk kejahatan extra-ordinary, membuat banyak orang lain mati karena narkoba. Lho, kalau patokannya banyaknya jumlah orang yang meninggal, penjual kendaraan harus dihukum mati juga.
Berapa banyak orang yang meninggal karena berkendara? Ratusan bahkan ribuan orang setiap tahunnya. Apakah harus di-dor juga penjual kendaraan itu? Kan tidak. Alasan membuat orang lain meninggal ini multi-tafsir, area abu-abu yang bisa disalahartikan. Hanya berlaku pada suatu subjek tetapi tidak merata. Dengannya sangat subjektif.
Keempat, alasan lain adalah merusak moral bangsa. Yang merusak moral bangsa bukan hanya narkoba. Televisi bahkan senjata massal yang lebih berbahaya daripada narkoba: merusak moral bangsa hingga anak-anak tak berdosa ikut rusak karena televisi.
Berapa banyak kasus pembunuhan, bullying, kekerasan sikap dikarenakan menonton televisi. Harusnya kalau konsisten, para pemilik stasiun televisi di-dor juga dong. Nyatanya kan tidak. Ini juga sangat multitafsir.
Kelima, untuk menunjukkan bahwa pemerintah tegas. Haddeeeeh..kalau yang ini sudah murni politis alias banyak aspek yang harus dilihat. Pemerintah sekarang sudah berubah menjadi totalitarianisme dengan wajah baru.
Sedikit salah langsung divonis, media kritis sedikit langsung diperintahkan untuk diawasi, kejahatan langsung di-dor, berdiri tegak untuk menegakkan keadilan langsung dipangkas atau diadu-domba. Pemerintah apaan model begitu. Bukannya tegas kalau itu sih, tapi bentuk dari bangkitnya totalitarianisme baru. Ingin menguasai semua aspek. Rakyat hanya berada pada posisi harus tunduk.
Apapun dampak dari kebijakan rakyat harus terima: harga-harga naik harus terima, rupiah melemah harus terima, gonjang-ganjing politik harus terima, inilah bahaya dari totalitarianisme. Tidak salah kalau SBY pada saat di Bali memperingatkan tentang hal ini. Ia mengatakan bahwa kita harus hati-hati karena totalitarianisme dalam wajah baru sebagaimana ditunjukkan oleh Orde Baru sedang mulai beraksi kembali.
Keenam, katanya di China saja sudah biasa: koruptor dan para kriminal kelas kakap dieksekusi mati. Lho bro, jangan samakan Indonesia dengan China. Dasar negaranya saja beda: mereka komunis kita anti-komunis. Kenapa harus ikut mereka. Siapa yang bisa menjamin hukuman mati tidak akan dikenakan pada hal-hal yang lain? Jangan-jangan nanti salah sedikit langsung dor, salah sedikit langsung dor, ngeri sekali negeri ini jadinya.
Ketujuh, masih banyak hukuman lain selain hukuman mati agar bisa menimbulkan efek jera. Misalnya, hukuman penjara seumur hidup (tentang ini dapat dijelaskan pada poin kesembilan).
Kalau disebutkan bahwa jika dipenjara mereka masih bisa beraksi di penjara untuk mengedarkan narkoba, berarti yang salah bukan hukumannya tapi para oknum-oknum penjaga lapasnya yang mudah disogok misalnya atau minimnya pengawasan bagi para penghuni penjara. Harus obyektif dalam melihat permasalahan. Jangan karena faktor A yang rusak terus menyalahkan faktor B, tidak fair itu namanya.
Kedelapan, hanya Tuhan yang punya kuasa untuk menentukan kapan seseorang harus mati. Manusia tidak punya kuasa untuk itu. Atas dasar semangat ini, maka “Hak Hidup” dicantumkan dalam konstitusi kita dan merupakan hak asasi yang dilindungi negara.
Kesembilan, asas demokrasi merupakan asas utama negara kita. Demokrasi itu sendiri salah satunya berdiri di atas pondasi kebebasan (freedom). Maka, bentuk hukuman di negara demokrasi umumnya adalah untuk membatasi kebebasan, bukan menghukum fisik orangnya dengan dicambuk atau disiksa. Kebebasannyalah yang dibatasi, dipenjara salah satu bentuknya.
Dengan dipenjara maka kebebasannya dibatasi, tetapi hak hidup dan hak dasar lainnya masih dilindungi. Manusia tanpa kebebasan ibarat burung tanpa sayap. Sakit hati manusia yang paling dalam adalah ketika kebebasannya dibatasi bukan dengan dihilangkan hak hidupnya.**[harjasaputra]
Lihat Komentar
terimakasih pak