Ridwan Kamil meradang dituding sebagai anggota Syiah oleh akun @detik.co di Twitter dan ancam akan proses lewat jalur hukum si pemilik akun. Pada wawancara yang dimuat media, ia menegaskan, “Jangan lalawora (gegabah), sekarang ada UU ITE. Biasanya saya hanya klarifikasi, tapi ini sudah menyangkut identitas keyakinan. Itu enggak bisa main-main,”
Berita tersebut menjadi salah satu topik hangat pemberitaan di berbagai media. Apa yang salah dari berita itu? Tidak ada yang salah. Dari aspek hukum, setiap orang yang merasa difitnah atau merasa dicemarkan nama baiknya dapat melaporkan si pelaku ke polisi. Ini clear.
Namun, perlu diingat, hidup ini bukan hanya masalah hukum. Kata orang bijak, “di atas hukum ada cinta”. Ada banyak pertimbangan lain yang harus diperhitungkan, apalagi beliau secara resmi telah mendeklarasikan diri sebagai calon gubernur Jawa Barat.
Langkah Ridwan Kamil (RK) tersebut, kalau saya menilainya, malah lebay dan bisa jadi blunder. Kenapa?
Pertama, ketika dituduh Syiah dan melaporkan ke polisi dengan tuduhan “Pencemaran nama baik” misalnya, berarti secara tidak langsung ia menganggap Syiah itu sebagai sesuatu yang jelek banget, sebagai sesuatu noda, sehingga dengannya dapat tercemar.
Bukan hanya RK saja yang pernah dituduh Syiah, tokoh lain pun banyak yang dituduh demikian. Anies Baswedan, Quraisy Shihab, dan tokoh nasional lain pernah dituduh sebagai syiah. Bedanya, mereka tidak reaktif dengan menempuh jalur hukum para penuduhnya.
Tuduhan Syiah memang lagi marak akhir-akhir ini. Siapa saja tokoh yang dianggap tidak mainstream, besar kemungkinan akan dituduh Syiah. Siapa saja tokoh besar sepertinya pernah dicap sebagai Syiah. Ketua Umum PBNU, Said Aqil, bahkan pernah dituduh demikian juga.
Ada semacam framing, baik oleh orang yang menuduh dan yang tertuduh terhadap terminologi Syiah. Syiah sering dianggap sebagai sesuatu yang “kotor”, aliran sesat, sehingga dapat dijadikan senjata untuk menyerang dan bagi yang tertuduh harus berusaha keras menepis tuduhan itu karena dianggap sebagai suatu aib jika dituduh Syiah.
Padahal, kalau merujuk pada arti bahasa, Syiah itu artinya “pengikut”. Hal itu bisa kita lihat pada arti ayat di Al-Quran. Lho iya, kata Syiah itu ada di Al-Quran. Jangan salah.
Dalam QS Ash-Shaaffaat ayat 83 disebutkan secara jelas: Wa inna min syi’atihi la ibraahiim”, yang artinya sesungguhnya dari pengikutnya (Nabi Nuh) adalah Ibrahim, atau dapat diartikan Nabi Ibrahim adalah golongan pengikut Nabi Nuh.
Ketika Al-Quran saja mencantumkan kata Syiah, kenapa kita harus alergi dengan kata Syiah. Dengan demikian, dapat dikatakan jika ada orang yang merasa alergi dengan kata Syiah, dengan sendirinya menafikan kata itu dari al-Quran. Tidak main-main ini.
Memang, kata Syiah bukan hanya permasalahan etimologis, tetapi ada aspek terminologis bermakna politis, yaitu pada golongan “Pengikut Ali ibn Abi Thalib dan keluarganya”, yang seringkali dituduh sesat-menyesatkan. Ini permasalahan sejarah dan sangat politis. Perdebatan tentang hal ini selalu tidak berkesudahan mengenai apakah betul Syiah itu sesat dan bagaimana doktrin-doktrin dalam ajaran Syiah.
Namun, satu hal yang pasti, bahwa Al-Quran sendiri memuat kata itu, jika kata itu sendiri jelek artinya tentu tidak akan digunakan oleh kalam Allah yang Maha Suci. Ini satu hal yang tidak mungkin diragukan.
Kedua, kenapa saya sebut langkah RK itu lebay? Karena secara sosiologis, di Jawa Barat pengikut Syiah itu tidak sedikit. Secara nasional, pengikut Syiah berjumlah lebih dari 2 juta orang. Dari jumlah ini, meskipun saya belum tahu angka pastinya, tetapi salah satu wilayah dengan jumlah pengikut Syiah terbesar salah satunya di Jawa Barat. Bahkan Dr. Jalaluddin Rakhmat, sebagai salah seorang tokoh utama Syiah, bertempat tinggal di Jawa Barat, di Bandung lagi posisinya.
Sebagai seorang pemimpin di salah satu wilayah di Jawa Barat sekaligus sebagai calon gubernur Jawa Barat, tidak boleh ada diskrimasi perlakuan terhadap siapapun, apalagi menyangkut masalah keyakinan yang jelas-jelas dijamin oleh konstitusi kita. Memang secara politis tidak ada untungnya jika berafiliasi dengan Syiah, namun tidak boleh juga menyudutkannya dengan menganggap seolah-olah Syiah ini sesuatu yang najis sehingga merasa tercemar jika dicap demikian.
Sikap arif dan bijak harus dikedepankan bagi seorang pemimpin. Tidak perlu reaktif, toh hanya dituduh dengan sesuatu yang jelas-jelas ada tercantum di kitab suci Al-Quran. Padahal jawab saja, “Iya saya syiah, syiah Nabi Saw. Pengikut Rasul”. Beres.**[harjasaputra.com]