Kabinet sudah diumumkan oleh Presiden Jokowi. Ragam tanggapan muncul dari para pengamat maupun masyarakat luas, dari yang mengkritik, kurang puas, hingga yang mendukung penuh dengan memberikan harapan agar diberikan kesempatan untuk mereka bekerja terlebih dahulu.
Dari komposisi Kabinet Kerja yang terdiri dari 34 kementerian (4 di antaranya menteri koordinator), ada yang aneh melihat respon yang muncul dari para politisi. Nyaris sepi komentar negatif. Komentar tajam kebanyakan datang dari para pengamat.
Padahal, jika dilihat dari susunan kabinet tersebut, peta politik sangat nyata: Koalisi Merah Putih (KMP) tidak diberikan posisi satu kursi pun di kabinet. Aburizal Bakrie selaku Ketua Umum Partai Golkar komentarnya datar-datar saja, seperti terlihat di media televisi di saat diwawancarai, ia mengatakan saatnya kabinet bekerja. Itu saja. Tidak ada kritik tajam apapun. Ibas, mewakili Partai Demokrat, meskipun menyuguhkan 7 kritik terkait masalah penunjukkan nama-nama yang menjadi menteri tetapi tidak terlalu tajam.
Anehnya, kritik justru datang dari partai PDIP. PDIP merasa kurang: hanya diberikan jatah 4 kursi menteri. Artinya, di tubuh PDIP sendiri ada kubu yang puas dan ada kubu yang tidak puas.
Ada apa gerangan? Saya sendiri menduga mesin politik sedang berjalan secara sunyi di parlemen. Sampai saat ini di DPR meskipun sudah disepakati jumlah komisi tetap berjumlah 11 Komisi, namun semua fraksi belum menunjuk siapa-siapa saja anggotanya yang akan menduduki di masing-masing Komisi. Alat Kelengkapan Dewan (AKD) pun belum ada yang aktif. Ini terutama disebabkan masih belum adanya kesepahaman mengenai mekanisme pemilihan Pimpinan di Komisi dan AKD.
Dengan sudah terbentuknya kabinet, hal ini akan makin memperjelas peta politik. KMP sudah dipastikan tidak ada yang duduk di kabinet. Otomatis menjadi oposisi di parlemen. Dengan komposisi anggota Dewan terbanyak dari KMP, maka pimpinan Komisi dan AKD besar kemungkinan akan disapu bersih oleh KMP. Sementara KIH hanya akan menduduki sebagian kecil posisi strategis. Strategi sedang dirancang dan akan dieksekusi dalam waktu dekat. Kebijakan-kebijakan Jokowi beserta kabinetnya akan mendapat rintangan di parlemen. Itu bukan berarti buruk, lebih ke arah check and balance. Harus ada pihak yang menjadi oposisi. Jika tidak, maka akan absolut sehingga otoriter.
Oposisi pun mulai terbentuk bukan hanya di parlemen tetapi juga di ranah media. Media-media yang pada saat Pilpres getol mendukung Jokowi kini mulai mengubah arah pemberitaan: berbalik menjadi kritis. Kembali pada posisi yang seharusnya. Media dalam suatu negara demokratis berfungsi sebagai “watch dog (anjing penjaga)”. Tugasnya adalah “menyalak” atau melakukan kritik tajam.
Dengan adanya dua fenomena di atas, yaitu peta politik yang terbentuk di DPR melalui kemungkinan penguasaan di semua lini Komisi dan AKD serta berubahnya arah media-media mainstream, ke depan iklim politik akan makin dinamis. Apalagi nanti jika terjadi kenaikan BBM, KMP akan memainkan perannya secara maksimal didukung oleh media-media mainstream. Kepemimpinan Jokowi akan diuji secara lebih intensif di masa-masa mendatang.**[harjasaputra]