Categories: Polhukam

Politik Uang: Budaya atau Kesalahan Sistem?

Isu yang lagi hot: Anas Urbaningrum semakin disudutkan. Kali ini berasal dari tubuh partai sendiri, khususnya “testimoni” dari beberapa pengurus DPD dan DPC yang mengaku menerima uang di saat Munas PD di Bandung. Jumlahnya antara 50 sampai 100 juta rupiah. Sejumlah kalangan menilai ini dapat dijadikan pintu masuk untuk “memecat” Anas dari kursi Ketum PD.

Masalah uang dalam acara munas partai dapat ditelusuri secara historis. Jusuf Kalla juga pernah mengalami hal serupa: sempat ramai diberitakan bahwa ia melakukan politik uang pada saat Munas Partai Golkar di Bali tahun 2005. Tak tanggung-tanggung, berita itu berasal dari media sekelas The New Age dan Wikileaks. JK santai saja membantah bahwa itu bukan “politik uang” melainkan uang tiket atau akomodasi peserta Munas. Karena tak mungkin mereka datang ke Bali tanpa dikasih tiket.

Isu itu kini menimpa Ketum PD. Alasannya pasti akan sama: itu bukan politik uang tapi akomodasi peserta Munas. Apakah ini salah atau benar? Dari mana akar permasalahannya?

Setiap tindakan tentu ada alasan dan penafsiran yang bisa jadi berbeda-beda. Politik uang pun (jika memang memberi uang pada peserta Munas itu disebut “politik uang”) tidak begitu saja muncul tanpa ada yang melatarbelakanginya: bisa jadi faktor politis dan bisa jadi faktor budaya. Anehnya politis dan budaya itu bercampur dan sudah menjadi kebiasaan di masyarakat kita.

Kenapa demikian? Karena tentu: there is no free lunch kata orang (tidak ada makan siang yang gratis). Mau belok di tikungan saja harus bayar kok ke pak ogah, anak disuruh sama orang tuanya saja enggan jika tak diberi uang, datang ke seminar saja harus ada iming-iming hadiah buku gratis baru penuh itu seminar, tiket konser laku keras jika ada door prize-nya, dalam pemilu jika tak ada uangnya maka tak akan mencontreng, dan banyak lagi “politik uang” yang sudah membudaya. Ini realitas sosial dan budaya yang tak bisa dibantah. Ini fakta bukan isapan jempol belaka. Atau apakah itu bukan “politik uang”? Jika bukan, lantas di mana perbedaannya? Pertanyaan yang tak butuh jawaban karena jawabannya sudah sangat jelas sejelas sinar matahari.

Perlakuan penegakan hukum masih pada taraf: memerangi supply daripada mengurangi demand. Memerangi pemberi uang dan seakan tak peduli dengan orang yang meminta uang. Padahal demand dan supply berjalan beriringan. Dan, pencegahan kejahatan politik uang semestinya bukan hanya di sisi supply-nya tapi juga di sisi demand yang paling penting. Tanpa itu omong kosong pencegahan budaya korupsi jika budaya bertindak harus ada uang masih subur di masyarakat kita. Ini juga masalah yang kompleks karena bisa dikembangkan juga dengan masalah lain, yaitu taraf hidup, lapangan pekerjaan, biaya hidup yang tinggi, dan sebagainya.

Itu satu hal yang harus dipahami. Pertanyaan mendasar lainnya adalah: mungkinkah politik tanpa uang berjalan? KPK pernah bersitegang dengan DPR gara-gara anggarannya tidak disetujui. Uang juga toh ujung-ujungnya. Oh bisa saja berkilah: itu bukan politik uang karena anggaran adalah bukan kejahatan. Ini tidak menjawab pertanyaan. Sekarang, mari kita bertanya: dari mana orang partai hidup tanpa uang? Di satu sisi orang partai harus bersih dari politik uang, tetapi di sisi lain partai juga tidak boleh melakukan usaha. Anggaran partai mayoritas hanya dari “urunan” anggotanya. Partai tidak boleh secara langsung mendirikan perusahaan. Ini, terus terang, ambigu. Di sinilah pentingnya revisi UU tentang Parpol masalah pendanaan partai. Karena jika tanpa itu, jangan pernah berharap politik uang dapat dihilangkan.

Jika fokus penegakan hukum masih bersifat parsial seperti disebutkan di atas: menebang pelaku tanpa ada upaya ke depan agar tidak terjadi lagi dengan upaya pencegahan dari sisi demand maka KPK harus kuat seperti “malaikat pencabut nyawa” yang memang tugasnya menjemput setiap hari. Tapi apakah mampu seperti itu? Malaikat tidak kenal lelah, KPK punya keterbatasan.

Secara internal Partai Demokrat sendiri, ada Dewan Kehormatan yang bertugas untuk memberikan fatwa terkait “politik uang” tersebut. Dengan menampilkan sebagai partai yang memerangi terhadap seluruh penyimpangan, partai ini akan cepat recovery citranya dalam waktu dekat dibandingkan dengan partai lain yang meskipun sudah dipenjara misalnya, tapi tetap masih menjadi anggota partai bahkan masih menjadi anggota DPR. Ini pun fakta yang tak bisa disanggah. Tapi ini pun akan sama nasibnya seperti “malaikat pencabut nyawa” jika tanpa pencegahan dan aturan yang jelas mengenai sumber dana partai dan para pengurusnya.**[harja saputra & mohamad sukri]

Harja Saputra

Blogger | Serverholic | Empat Anak | Satu Istri | Kontak: me@harjasaputra.com

Share