Kemarin saya coba menghubungi teman-teman sekantor:
“Bro, gimana hasil suara bosmu?”
“Lewaaaat broo..”
Hubungi lagi yang lain:
“Gimana hasil pleno suaranya untuk bosmu bro?”
“Lewaat broo…”
Sudah 8 orang yang dihubungi jawabannya sama: lewaaaaat.
“OK. nanti kita bikin Forum Komunikasi Tenaga Ahli Caleg Lewat (alias gagal) ya broo..”
Ini adalah pengalaman saya selaku Tenaga Ahli DPR sekaligus koordinator tim sukses untuk seorang caleg petahana alias incumbent. Berkaca pada pemilu lalu caleg petahana kemungkinan untuk jadi kembali lebih besar daripada caleg baru. Tapi, pemilu 2014, apalagi partai di mana caleg yang saya usung adalah dari Demokrat nomor urut 4, merupakan pemilu tersulit yang pernah saya alami. Berbeda dengan pemilu lalu. Akan saya ceritakan di sini di mana kesulitannya.
Dari bulan Januari saya sudah tinggal di dapil, NTB tepatnya. Saya sendiri fokus di Pulau Lombok, karena untuk Pulau Sumbawa sudah ada yang meng-handle. Tujuannya biar tidak terlalu luas cakupan untuk melakukan kampanye. Meskipun tetap saja, untuk Pulau Sumbawa mau tidak mau saya harus melakukan koordinasi dan monitoring. Namanya juga koordinator.
Setiap hari yang dilakukan adalah berkeliling: dari ujung Lombok Selatan hingga ujung Lombok Utara. Ada 5 kabupaten/kota di pulau Lombok ini. Mengunjungi desa-desa, berkumpul dengan warga, tokoh masyarakat, pejabat desa, pokoknya semua lini dimasuki. Tujuannya untuk meraih simpati atau memperkenalkan caleg yang diusung. Itu terus yang dilakukan selama 3 bulan. Kunjungan-kunjungan ke NTB selain untuk kampanye juga sering dilakukan pada saat kunker atau reses. Bos saya termasuk yang sangat rajin mengunjungi konstituennya. Hapal persis karena saya selalu mendampingi kunjungan itu.
Namanya juga mengumpulkan masyarakat itu tidak ada yang gratis bro. “No free lunch” kata orang bilang. Apalagi budaya di Lombok ini setiap kumpul pasti selalu disajikan kopi. Otomatis harus ada uang pengganti konsumsi: sekadar untuk beli kopi dan rokok bagi yang hadir. Sekadar tapi kalau banyak ya pasti banyak juga habisnya. Ini bagian dari cost politics. Sudah dianggarkan juga, tak ada masalah dengan itu.
Belum lagi permintaan dari masyarakat: dari mulai semen untuk masjid, semen untuk banjar, pura, kaos bola, event olahraga, wireless untuk pertemuan, dan segala macam permintaan. Dipikir-pikir emang caleg ini punya pohon uang apa, segala macam diminta. Tapi dikarenakan pada posisi pihak yang membutuhkan, permintaan-permintaan itu banyak juga yang diberikan meskipun tidak semua. Dan tidak sampai ditarik kembali pemberian-pemberian itu karena hasilnya tidak memuaskan. Prinsip bos saya, “Kita memberi sesuatu pada warga tidak ada kepastian bahwa yang diberi itu akan memilih kita. Hitung-hitung ibadah saja, milih kita syukur nggak juga tidak masalah.”
Dalam kampanye butuh kejelian dalam memilah mana orang yang benar-benar mau mendukung dan mana yang hanya memanfaatkan. Makanya, saya pernah bilang, “yang penting dalam kampanye politik itu adalah ilmu kejiwaan, bagaimana kita bisa tahu seseorang itu bohong atau tidak.” Untungnya saya sudah sedikit terlatih untuk itu. Pengalaman dari pemilu lalu dan pengalaman hidup yang sudah mengajarkan banyak hal. Kalau tidak demikian, habislah kita.
Berbagai serbuan yang tujuannya menguras isi dompet caleg itu nyata di lapangan. Broker-broker politik yang menawarkan suara sekian ribu itu juga nyata. Tapi saya tak pernah gubris itu.
“Semeton (bahasa Lombok yang artinya saudara atau bro), saya punya basis massa 5 ribu. Tertarik tidak?”
Dijawab oleh saya, “Pak, kalau bapak punya basis massa segitu, kenapa tidak bapak saja yang nyaleg? Dengan suara 5 ribu itu bapak pasti jadi anggota dewan tingkat kabupaten. 5 ribu itu orang lho pak, bukan batu. Orang itu ada kemauan, ada kebutuhan, dan tidak mudah memahami hati orang.” Lewaaaat… tidak mempan.
Sebetulnya, menang atau kalah itu biasa. Kalau siap menang harus siap kalah juga. Ini juga dipahami oleh caleg yang saya usung. Ketika dari perhitungan suara sudah ketahuan ia tidak lolos, alias hanya lewat, bos saya sih tenang-tenang saja. “Santai saja… mau diapain lagi. Yang penting sudah usaha maksimal, masalah hasil itu kita tinggal tawakal. Dalam agama saja kita tidak dituntut untuk berhasil, yang dituntut adalah usaha atau proses. Kalau hasil jadi pedoman maka orang-orang yang mati di medan perang itu tidak berhasil. Mereka gagal. Tapi tidak demikian adanya,” katanya.
Iya sih kalah itu biasa, tapi yang menyakitkan adalah: kebaikan, jasa-jasa selama 5 tahun menjabat sirna sekejap hanya karena uang 20 ribu rupiah di malam hari pencoblosan. Itu saja. Saya adalah orang yang bertugas mengeksekusi berbagai bantuan-bantuan untuk masyarakat atau bantuan infrastruktur untuk daerah. Hapal banget apa saja yang sudah diperbuat oleh bos saya. Tapi, itu semua tidak berbekas apa pun. Disapu oleh badai money politics yang sangat deras menghujani masyarakat 2 hari atau 1 hari menjelang pencoblosan. Benar-benar menyakitkan!
Lho tapi kan itu semua adalah tugas dari anggota dewan, yang memang tugasnya untuk mengabdi pada masyarakat. Betul, itu semua adalah tugas. Tapi, apa tidak dipikir dampaknya? Mereka akan berpikir transaksional lho. Terbukti, dulu saja caleg-caleg yang melakukan money politic setelah jadi jarang sekali turun ke masyarakat. Karena berpikirnya, “Saya beli suara Anda kok, Anda tak ada hak untuk menuntut saya turun ke masyarakat.” Persis transaksi jual-beli. Inilah juga yang akan terjadi kemudian.
Di samping itu, kesulitan lainnya adalah harga satu kursi untuk DPR-RI sekarang hampir dua kali lipat dibanding periode lalu. Tentang ini saya pernah menulis artikel jauh-jauh hari (Silahkan baca di Link Ini). Dulu harga satu kursi DPR adalah sekitar 100 sampai 130 ribu, sementara sekarang berada di kisaran di atas 200 ribu suara. Di NTB, nilai BPP (harga satu kursi) dari perhitungan real count KPUD adalah di angka 228 ribu lebih. Itu karena partai politik yang sedikit jumlahnya sehingga suara yang hangus oleh Parliamentery Threshold juga sedikit.
Harga kursi inilah yang menyebabkan banyak calon incumbent berguguran. Di Pemilu lalu banyak caleg yang dapat menembus harga BPP. Suaranya lebih banyak dari harga 1 kursi. Sekarang hampir mustahil ada caleg yang dapat menembus angka BPP.
Inilah kenyataan demokrasi kita. Pesta yang benar-benar pesta: ada makanan dan uang sebagai penghiasnya. Dan itu juga nyata di lapangan: pada malam jelang pencoblosan banyak masyarakat berpesta. Stok amplop di NTB tiba-tiba habis. Ke mana semua amplop-amplop itu? Berkeliaran ke rumah-rumah warga. Masyarakat juga tak bisa disalahkan penuh. Mereka mikirnya, “Lima tahun sekali, kapan lagi banyak dapat amplop.”
Pemilu 2014 memberikan banyak pelajaran berarti: pelajaran bagaimana suara bisa disulap, pelajaran bagaimana sosok yang baik kalah hanya oleh uang receh, pelajaran bagaimana memanipulasi suara di TPS, dan banyak lagi pelajaran lain. Tapi itu bukan pelajaran yang baik. Pelajaran baiknya adalah bagaimanapun usaha manusia pasti ada batasnya, hanya Tuhan yang dapat menentukan. Ambil hikmah di balik semua ini.**[harjasaputra]