Panggung politik itu lucu. Penuh dagelan-dagelan yang bisa bikin ketawa. Bagaimana tidak, ketika jagoannya ada kelemahan dicarikanlah justifikasi dengan berbagai cara.
Contohnya tentang pernyataan: “lebih baik punya pemimpin yang mampu bekerja daripada yang lihai berbicara”, “pemimpin yang jago debat belum tentu jago bekerja”, dan banyak lagi pernyataan lain yang sejenis.
Pembenaran semacam itu sifatnya sangat subjektif. Hanya mengambil satu kemungkinan di antara banyak kemungkinan. Sekarang mari kita lihat.
Benarkah susunan logika yang digunakan dalam statemen di atas? Benar. Tapi ada kejanggalan. Apa itu?
Ketika kita membuat probabilitas, harusnya yang muncul bukan hanya satu probabilitas, tapi empat probabilitas. Dari sini nanti akan terlihat subjektivitasnya di mana. Maksud saya begini. Mari kita bikin probabilitasnya:
Jika “yang ahli bicara” itu kita simbolkan dengan X; yang “tidak ahli bicara” dengan simbol Y.
Lalu “mampu bekerja” kita simbolkan dengan A, dan “tidak mampu bekerja” dengan B. Maka probabilitasnya berarti:
X – A (ahli bicara dan mampu bekerja)
X – B (ahli bicara tapi tidak mampu bekerja)
Y – A (tidak ahli bicara tapi mampu bekerja)
Y – B (tidak ahli bicara dan tidak mampu bekerja)
Kalimat di atas, “lebih baik punya pemimpin yang mampu bekerja daripada yang lihai berbicara” adalah logis di satu sisi, tapi ada kepentingan di situ, yaitu “justifikasi” atau pembenaran. Karena hanya mengambil probabilitas ekstrim, yaitu Y-A. Namun menutup mata dari 3 probabilitas yang lain. Di sinilah subjektivitasnya.
Perbedaan justifikasi inilah yang sering memunculkan perdebatan.
Adakah probabilitas X – A di dunia nyata? Faktanya sangat banyak. Adakah probabilitas X-B di dunia nyata? Faktanya juga banyak, tapi dari mana kita bisa menjamin bahwa si Z misalnya cenderung memiliki probabilitas ini? Karena tidak ada satu pun dari capres yang sudah menjadi presiden. Adakah Y-B di dunia nyata? Faktanya banyak juga. Kenapa probabilitas ini dikesampingkan? Ini pertanyaan besar.
Itulah bukti bahwa dalam menilai kapasitas seseorang kita seringkali terjebak pada subjektivisme akut: fanatik buta.
Selain itu, antara bekerja dan berbicara adalah dua hal yang berbeda. Jika ingin menilai secara kualitas, sandingkan dengan yang sejenisnya. Yaitu: lebih baik mana orang yang bagus dalam berbicara dengan orang yang tidak bagus dalam berbicara. Sudah sampai di situ saja. Baru setelah itu lihat lagi: bagusan mana orang yang mampu bekerja dengan tidak mampu bekerja. Dengannya perbandingannya setara: apple to apple. Jika kemudian harus membandingkan antara kedua jenis itu, libatkan 4 probabilitas di atas, baru itu obyektif.**[harjasaputra]