Sudah beberapa tulisan di Kompasiana saya baca dan banyak komentar di media online menanggapi peristiwa itu dengan nadanya yang hampir sama: kecelakaan yang dialami Dahlan Iskan dengan Ferrari bertenaga listriknya karena ruwatan. Arahnya kesitu. Pesannya hendak mengatakan: bahwa karena ruwatan menyalahi ajaran agama, Allah memberikan teguran dengan insiden itu.
Opini bebas-bebas saja. Mau mengaitkan ke mana, mau mencari sebabnya apa, silahkan. Tapi sudah jelas diberitakan bahwa remnya blong. Kenapa remnya blong? Kan masih diselidiki. Yang saya heran, dari mana munculnya kesimpulan bahwa kecelakaan itu adalah penyebabnya ruwatan? Heran seheran-herannya. Saya sendiri bukan yang hobi ruwatan, tetapi jika mengaitkan suatu insiden kecelakaan bahwa penyebabnya adalah itu, nanti dulu.
Iqbal, pemikir Muslim asal Pakistan, pernah mengatakan bahwa manusia di balik kelemahan fisiknya tersimpan kekuatan yang super. Ia menyebutnya dengan istilah “manusia super” (perfect man/insan kamil), konsep yang hampir mirip dengan konsep manusia super-nya Nietzche. Hanya berbeda jika konsep Nietzche mengenai manusia sebagai superman mengharuskan membunuh Tuhannya, sedangkan menurut Iqbal justru manusia disebut sebagai “superman” yaitu pada saat manusia hanya tunduk kepada Tuhan dan memanifestasikannya dalam gerak.
Pemikiran Iqbal sering disebut “Humanisme”, di mana manusia adalah poros. Manusia bisa mengetahui sebab-akibat yang terjadi di dunia ini. Ia juga memprotes berbagai kebiasaan masyarakat yang selalu “God oriented”. Bahasa gampangnya: sedikit-sedikit Tuhan, sedikit-sedikit Tuhan, padahal manusia itu super. Berbagai fenomena selalu langsung dikaitkan dengan Tuhan tanpa mencari sebab-akibatnya. Tapi, itu bukan berarti harus melupakan Tuhan, justru dalam berusaha mengetahui sebab-akibat di alam ini (yang ia sebut gerak) adalah kedekatannya pada Tuhan.
Al-Farabi dan Ibn Sina (pemikir dan filosof Muslim terkemuka) bahkan lebih ekstrim lagi, dalam teori emanasi, Tuhan tidak ikut dalam masalah-masalah parsial. Tuhan tidak mengurusi masalah-masalah parsial yang terjadi di dunia ini. Tuhan pencipta hukum sebab-akibat. Dalam menciptakan dunia pun Tuhan melalui proses yang ia sebut dari gradasi akal pertama sampai ke akal kesepuluh. Dari akal kesepuluhlah mengalir berbagai hal-hal yang bersifat materi. Bukan berarti Tuhan tidak mampu mencipta langsung tanpa proses, tapi makhluknya yang tak akan kuat.
Nah, dari berbagai pemikiran di atas, sangat naif jika menggunakan frame “kehendak Tuhan” dalam menilai fenomena suatu kecelakaan. Seringkali kita memotong kompas bahwa semua yang terjadi adalah kehendak-Nya. Betul, bahwa dalam semua peristiwa pasti ada peran Tuhan di situ, meskipun secara tidak langsung. Tapi menafikan sebab-akibat utamanya justru akan menjadikan kekerdilan cara berpikir. Manusia menjadi tidak pro pada bidang-bidang sains. Jika semua urusan dikembalikan ke Tuhan apa gunanya ilmu pengetahuan? Apa gunanya ilmu teknik? Apa gunanya ilmu kedokteran? Apa gunanya ilmu fisika? Inilah yang ditentang oleh para pemikir: kekerdilan cara berpikir. Karena ketika semua dilabeli “Tuhan yang berkehendak” selesai sudah. Inilah juga yang ditentang oleh para pembaharu seperti Muhammad Abduh dan Rasyid Ridha, bahwa ajaran-ajaran yang jumud, tidak pro pada ilmu pengetahuan yang mematikan akal kreatif manusia.
Dalam setiap peristiwa, pasti ada sebabnya. Ini logika dan hukum alam (sunatullah) yang diterima oleh setiap orang. Tapi sebabnya apa? Ini perlu disiplin ilmu lain, bukan ilmu logika lagi. Perlu disiplin ilmu teknik, fisika, dan yang terkait dengan peristiwa itu.
Ada contoh menarik. Seseorang membuka pintu hendak keluar rumah, terus di depan teras rumahnya ada kecelakaan mobil. Apakah bisa dikatakan kecelakaan itu karena orang tersebut membuka pintu? Satu runtunan peristiwa yang seakan-akan nyambung padahal tak ada kaitannya, atau bukan pada rangkaian sebab-akibat.**[harja saputra]